Opini
Tantangan Pascapilkada
SATU momentum politik yang sangat penting bagi keberlanjutan perdamaian dan pembangunan Aceh, kembali diukir masyarakat Aceh
SATU momentum politik yang sangat penting bagi keberlanjutan perdamaian dan pembangunan Aceh, kembali diukir masyarakat Aceh dalam Pilkada 9 April 2012. Pilkada ini sudah berproses sejak penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005, perumusan dan advokasi pengesahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, Pilkada 2006 dan Pemilu 2009.
Selama tujuh tahun terakhir, proses perdamaian berlangsung dalam dinamika politik yang destruktif, sehingga fondasi pembangunan ekonomi, sosial dan budaya berkembang sangat lamban dan cenderung gagal. Buktinya, pemerintahan di bawah Irwandi-Nazar dan parlemen baru (2009-2014), sejauh ini belum mampu menetapkan dan mengesahkan qanun Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan Rencana Pembangan Jangka Panjang Aceh (RPJPA).
Seperti sama kita maklumi, lima kandidat gubernur/wagub yang telah dipilih oleh masyarakat Aceh dalam pilkada ini memiliki latarbelakang yang berbeda. Kelimanya, tentu, memiliki prestasi masing-masing, kelemahan, kekuatan maupun kapasitas dalam memimpin. Masyarakat Aceh pun menggantungkan harapan yang luar biasa di pundak mereka. Mudah-mudahan harapan yang terlalu besar tersebut tidak menjadi malapetaka ke depan, ketika pemimpin yang mereka pilih tidak memenuhi harapan tersebut.
Kecenderungan tumbuhnya perubahan di Aceh untuk lima tahun ke depan sangatlah kecil. Hal tersebut diindikasikan oleh proses politik menjelang pemilukada diwarnai oleh tarik menarik yang destruktif, buka tutup pendaftaran, qanun yang tak terselesaikan, dan masa kampanye dipenuhi oleh berbagai politik intimidatif.
Keadaan demikian bagaikan berlangsung dengan sendirinya, di-remote control oleh orang/kelompok yang tak berwujud, indikasi ini dilihat atas dasar ketidakamanan dirasakan oleh semua kandidat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Tapi, alhamdulillah, sampai selesainya prosesi pemilihan/pencoblosan yang dilakukan secara serentak pada 9 April 2012, belum terdengar adanya insiden atau peristiwa-peristiwa fatal yang bisa mencederai pesta demokrasi lima tahunan itu.
Kekhawatiran pascapemilihan
Adalah Tarmizi Karim yang menjadi Pj Gubernur Aceh, sebelumnya, melaporkan keadaan keamanan Aceh menjelang pencoblosan kepada Mendagri masih dapat dikendalikan, walaupun telah terjadi beberapa kekerasan pada masa kampanye. Ia juga mengkhawatirkan keadaan pascapencoblosan, di mana pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya secara lapang dada. Ini, tentunya, menjadi tantangan tersendiri bagi para kandidat supaya memobilisasi massanya untuk memahami posisi mereka pada saat mengalami kekalahan.
Begitu pula bagi pihak yang menang dalam prosesi pemilihan yang telah berlangsung pada 9 April 2012 lalu, jangan sampai terlalu arogan, sehingga menimbulkan provokasi bagi pihak yang kalah. Tradisi ini mesti diciptakan pada momentum pascapencoblosan, mengingat semua kita berada pada pihak yang sama, yaitu membangun Aceh yang lebih baik dan menempatkan Aceh pada posisi tawar yang tinggi di mata dunia.
Kekalahan dan kemenangan merupakan kekuatan dalam menatap masa depan Aceh, mengorientasikan kekuatannya untuk membangun platform Aceh baru yang berperadaban, di mana masyarakat dapat menikmati hasil sumber daya alam yang kita miliki. Untuk mewujudkan keadaan demikian, maka para pemimpin Aceh (2012-2017) harus mampu menumbuhkan paradigma politik yang pro-rakyat, begitu pula rakyat dapat mendukung kepemerintahan ke depan, supaya perdamaian dan pembangunan betul-betul dapat diwujudkan.
Pemimpin baru
Pemimpin baru Aceh (2012-2017), yang telah dipilih dalam Pilkada 2012, harus mengajak semua komponen sosial untuk menciptakan kesejukan kembali pascapilkada. Birokrasi harus terus dibenahi supaya keberadaannya menjadi aktor utama dalam melakukan pelayanan pada publik dan melaksanakan program-program pembangunan yang pro-kebutuhan masyarakat.
Program pro-rakyat tersebut dilakukan melalui kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pengembangan sektor ril karena sektor tersebut merupakan basis produksi masyarakat Aceh. Kebijakan ini dapat mendorong terjadi perbaikan kualitas hidup pada masyarakat pascakonflik.
Tentunya, semakin bagus pendapatan keluarga maka menjamin makanan yang bergizi bagi anak-anak, keluarga juga mampu memberikan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak, dan memberikan perlakuan kesehatan yang menyeluruh. Pada keadaan ini, keberadaan pemerintah adalah membuat kebijakan dan regulasi untuk mendukung fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat supaya menjamin stabilitas produksi.
Untuk mempercepat terwujudkan keadaan di atas, maka langkah strategis ke depan adalah memperkuat sumber daya manusia (SDM) di semua tingkat sosial. SDM tersebut menjadi kapital yang sangat besar dalam meningkatkan hasil produksi dari pengelolaan sumber daya alam Aceh.
Selanjutnya, membangun kembali institusi pasar untuk mendukung produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat.Pelaku pasar juga mesti diorientasikan supaya mampu mengakomodirkan kepentingan masyarakat supaya stabilitas produksi dapat di jaga.
Langkah strategis
Kemudian, pemerintah mesti mendorong intervensi teknologi dalam proses produksi masyarakat, mekanisasi pertanian dan industrialisasi bagi terjadinya pengolahan hasil produksi menjadi langkah strategis dalam menciptakan struktur ekonomi yang kuat.
Harapan dan cita-cita terwujud jika semua kita rakyat Aceh dapat membangun komitmen baru untuk menciptakan suasana politik yang mensejahterakan. Segala fragmentasi sosial yang penuh intrik dan sentimen direorientasikan pada tumbuhnya relasi sosial baru melalui beragaman pendekatan budaya yang telah diwariskan sebelumnya. Suasana inilah yang dapat mencerminkan akar budaya Aceh yang gemilang, memiliki masyarakat yang terbuka dan menghargai budaya dunia yang beragam.
* Juanda Djamal, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perdamaian.