Opini
Safwan Idris dan Gerakan Zakat Transformatif
ADALAH almarhum Prof Dr Safwan Idris MA (Rektor IAIN Ar-Raniry, 1996-2000) tokoh yang pertama sekali memperkenalkan gagasan zakat transformatif
Prof Dr Hafas Furqani MEc, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh
ADALAH almarhum Prof Dr Safwan Idris MA (Rektor IAIN Ar-Raniry, 1996-2000) tokoh yang pertama sekali memperkenalkan gagasan zakat transformatif dalam bukunya Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat: Pendekatan Transformatif. B
uku yang dilaunching tahun 1997 ini menggetarkan diskursus pengelolaan zakat di Indonesia yang waktu itu sedang hangat mencari formasi tepat dalam pengelolaan zakat. Baru pada tahun 1999, diterbitkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang menjadi dasar bagi pengaturan lembaga zakat yang resmi, yaitu BAZ (Badan Amil Zakat) dari pemerintah dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) dari masyarakat.Bagi Prof Safwan, pengelolaan zakat harus mengusung spirit yang dibawa al-Qur’an bahwa kewajiban zakat adalah bagian dari kerangka agama untuk perubahan sosial masyarakat.
Sebutan dhuafa (kelompok lemah), fuqara’ (kaum fakir) dan masakin (kelompok miskin) yang berulang kali dalam al-Qur’an, bukan sekadar untuk menarik simpati kepedulian kita, tetapi hendaknya menjadi kesadaran yang menggerakkan untuk mengubah kondisi ketidakmampuan dan kesenjangan menjadi mandiri, berdaya dan sejahtera.
Konsep zakat transformatif bagi Prof Safwan adalah sebuah pendekatan pengelolaan zakat yang diarahkan tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan dasar dalam bentuk konsumtif, tetapi juga untuk menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan melalui pemberdayaan dan perbaikan struktur ekonomi masyarakat. Konsep ini berangkat dari prinsip bahwa zakat mampu berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (social engineering) yang dapat mengatasi ketimpangan ekonomi dan sosial secara sistematis.
Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di Aceh telah berlangsung dalam waktu yang panjang. Kondisi ini tampak relatif stagnan dan tidak menunjukkan perubahan berarti dari tahun ke tahun. Fenomena tersebut menandakan bahwa persoalan kemiskinan telah mengakar kuat dalam dinamika sosial dan ekonomi masyarakat. Situasi tersebut memperlihatkan bahwa kemiskinan di Aceh bukan hanya persoalan individu atau komunitas tertentu, tetapi sudah menjadi bagian dari struktur sosial-ekonomi yang lebih luas. Akibatnya, upaya pengentasan kemiskinan membutuhkan pendekatan yang lebih mendasar dan sistemik agar mampu menyentuh akar masalahnya.
Dalam konteks ini, penyaluran zakat memegang peran strategis sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada bagaimana zakat tersebut dirancang dan diimplementasikan oleh lembaga pengelola. Jika zakat hanya dibagikan sebagai ritual pemberian bantuan tanpa arah dan tujuan yang jelas, ada kekhawatiran bahwa hal tersebut justru memperkuat ketergantungan. Alih-alih menjadi sarana pemberdayaan, zakat yang tidak tepat sasaran dapat melanggengkan kondisi ketidakberdayaan dan ketidakmampuan kelompok miskin.
Instrumen perubahan
Peran dan fungsi zakat yang selama ini diwajibkan serta dikelola oleh Baitul Mal Aceh kembali menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat. Dalam konteks itu, penelitian terbaru yang dilakukan oleh tim peneliti FEBI UIN Ar-Raniry (2025) berupaya menelaah kembali secara sistematis gagasan yang pernah dikemukakan oleh Prof Safwan Idris. Konsep zakat transformatif lahir dari kesadaran bahwa bantuan konsumtif tidak cukup untuk mengangkat masyarakat dari kemiskinan yang struktural. Kemiskinan tidak hanya soal kebutuhan harian yang tidak terpenuhi, tetapi juga berakar pada akses pendidikan yang terbatas, rendahnya modal usaha, minimnya keterampilan dan peluang usaha yang menghambat seseorang keluar dari kemiskinan.
Zakat transformatif menempatkan mustahik sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar penerima bantuan. Pendekatan ini menekankan perubahan kondisi sosial-ekonomi mustahik melalui intervensi yang bersifat produktif, seperti pelatihan keterampilan, permodalan usaha, pendampingan kewirausahaan, serta akses terhadap pendidikan dan layanan sosial. Dengan demikian, zakat tidak berhenti pada aspek charity, tetapi menjadi mekanisme struktural untuk memperbaiki distribusi sumber daya dan memperkuat kemampuan ekonomi kelompok rentan (empowerment).
Dalam perspektif maqaṣid al-shariah, zakat transformatif berupaya menjaga dan mengembangkan harta (hifz al-mal), meningkatkan harkat manusia (hifz al-nafs dan hifz al-ird), serta menciptakan kemaslahatan publik melalui pemberdayaan ekonomi. Dengan cara ini, zakat dapat menjadi instrumen pembangunan manusia yang selaras dengan nilai-nilai etika Islam. Secara sosiologis, struktur sosial masyarakat dibentuk oleh distribusi akses terhadap sumber daya: modal, pendidikan, pekerjaan, dan kesempatan ekonomi. Ketimpangan akses ini melahirkan stratifikasi sosial yang kaku, di mana kelompok miskin terperangkap dalam lingkaran kemiskinan struktural. Zakat transformatif berperan memutus lingkaran tersebut melalui redistribusi yang bersifat produktif dan terukur.
Program-program transformasi berbasis zakat, seperti pemberdayaan UMKM, beasiswa pendidikan bagi keluarga miskin, pelatihan teknis untuk peningkatan skill, atau program penguatan ekonomi komunitas, memiliki efek berlapis. Intervensi ini meningkatkan kemampuan ekonomi mustahik, memperkuat posisi tawar mereka, serta meningkatkan mobilitas sosial vertikal. Ketika mustahik memperoleh akses dan peluang yang sebelumnya tertutup, struktur sosial yang timpang mulai bergeser menuju struktur yang lebih egaliter.
Penguatan kemandirian
Salah satu ukuran keberhasilan zakat transformatif adalah transformasi mustahik menjadi muzakki. Perubahan ini menunjukkan bahwa zakat mampu berfungsi tidak hanya dalam mengurangi kemiskinan, tetapi juga menciptakan kemandirian dan kapasitas ekonomi baru. Dalam perspektif pembangunan, hal ini menandai terbentuknya emerging middle class yang lahir dari intervensi sistem kesejahteraan Islam. Penciptaan kelas menengah baru memiliki implikasi struktural yang signifikan: memperkuat stabilitas sosial, meningkatkan partisipasi ekonomi, dan mengurangi ketergantungan terhadap bantuan negara. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals), terutama pengurangan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, dan pertumbuhan inklusif.
Zakat transformatif hanya dapat berfungsi optimal jika ditopang oleh tata kelola yang profesional dan berbasis data. Pendekatan sistemik mencakup pendataan mustahik dengan teknologi digital, integrasi program dengan setiap SKPA pemerintah Aceh, kolaborasi dengan lembaga pendidikan dan industri, serta akuntabilitas laporan pengelolaan. Dengan tata kelola yang modern, zakat dapat menjadi sistem kesejahteraan komplementer yang memperkuat desain social protection masyarakat Aceh.
