Pojok Humam Hamid
COP Belem 2025: Hashim, Prabowo, dan Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Tengah Aceh
organisasi sipil menyoroti bahwa inisiatif ini mensyaratkan minimal 20 persen dana dialokasikan langsung kepada Masyarakat Adat.
Ringkasan Berita:COP30 berlangsung di tengah krisis kepemimpinan global karena absennya Amerika Serikat.Dampak absennya AS: pendanaan iklim tergantung, roadmap penghentian energi fosil kabur, konsensus transisi energi melemah.Brasil dan Uni Eropa mencoba mengisi kekosongan, sementara negara pemilik hutan tropis tampil sebagai alternatif.Indonesia hadir dengan posisi strategis: hutan tropis terbesar ketiga, namun masih bergantung pada energi fosil dan sawit.
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
COP-Confrence on the Parties 30 di Belém, Brazilia yang dibuka pada 10 November lalu dalam bayang-bayang kekosongan kepemimpinan global.
Konfrensi itu tak lain dari pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa-PBB tentang Perubahan Iklim,UNFCC- United Nations Framework Convention on Climate Change, yang sedang mengancam masa depan planet Bumi dan keberlanjutan manusia dan kemanusiaan.
Ketidakhadiran Amerika Serikat--negara dengan jejak emisi historis terbesar dan salah satu arsitek diplomasi iklim modern--menjadi simbol dari krisis yang lebih dalam.
Dunia bergerak menuju ambang pemanasan 1,5°C secara permanen, sementara negara kunci justru melemahkan kehadirannya di forum yang menentukan masa depan planet.
Absennya AS bukan sekadar hilangnya satu kursi penting, tetapi juga memicu implikasi geopolitik yang luas: pendanaan iklim global menggantung, peta jalan penghentian energi fosil kembali kabur, dan konsensus politik tentang transisi energi kehilangan salah satu penopang terbesarnya.
Brasil mencoba mengisi kekosongan itu, Uni Eropa mendorong ambisi baru, sementara negara-negara pemilik hutan tropis berupaya tampil sebagai kubu alternatif.
Namun kenyataannya tetap sama--tanpa AS, kecepatan dan skala perubahan yang dibutuhkan menjadi jauh lebih sulit dicapai.
Di tengah kevakuman ini, Indonesia tiba di Belém membawa harapan sekaligus pertanyaan besar.
Sebagai negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia dan ekonomi yang masih sangat bergantung pada energi fosil dan perkebunan kelapa sawit, Indonesia berada di titik strategis.
Pidato Ambisius Hashim Djojohadikusumo
Indonesia bisa menjadi pemain kunci solusi global, atau justru sumber stagnasi.
Maka pidato Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, menjadi sorotan internasional.
Dalam forum pendahuluan menuju COP30, Hashim membuka pidatonya dengan pernyataan ambisius.
Ia menyatakan Indonesia siap memperkuat komitmen iklim nasional, membangun kerja sama global yang inklusif, dan memasuki era “aksi nyata” setelah bertahun-tahun negosiasi panjang.
pojok humam hamid
KTT Perubahan Iklim
energi fosil
humam hamid aceh
Serambi Indonesia
berita aceh terkini
| Benny K Harman dan MoU Helsinki: Dari Empati ke Sinisme Sarkastik |
|
|---|
| Samudra Pasai dan Jalur Rempah: Pusat Dunia di Ujung Utara Sumatra - Bagian XVIII |
|
|---|
| Whoosh: Utang Politik, Utang Negara, dan Akal Sehat |
|
|---|
| Zohran Mamdani, Islamophobia, dan New York “Baru” |
|
|---|
| Samudera Pasai dalam Rihlah Ibnu Batutah, Catatan Sang Musafir dan Tafisran Orientalis – Bagian XVII |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Humam-Hamid-Rihlah-Ibnu-Batutah.jpg)