Citizen Reporter

Dua Tahun Revolusi Tunisia

PADA musim dingin yang terkadang mencapai 6 derjat Celcius, pukul 8 pagi bukanlah waktu yang tepat untuk ke luar rumah jika ingin sekadar

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Dua Tahun Revolusi Tunisia
SYARFINA S MALEM
OLEH SYARFINA S MALEM, alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia, melaporkan dari Tunisia

PADA musim dingin yang terkadang mencapai 6 derjat Celcius, pukul 8 pagi bukanlah waktu yang tepat untuk ke luar rumah jika ingin sekadar berjalan-jalan pagi. Suasana Kota Tunis, ibu kota Tunisia, biasanya masih sangat sepi pada jam-jam seperti itu. Hanya terlihat para pegawai kantor, pelajar, atau mahasiswa yang sedang bergerak ke tujuan masing-masing. Itu pun dengan menggunakan mobil pribadi maupun angkutan umum.

Namun, pagi itu, Senin, 14 Januari 2013, lintasan Kota Tunis sangat ramai, tidak seperti biasanya. Pada pukul 8 pagi di hari kerja ini, para warga telah menyelimuti Habib Bourgiba Avenue. Mereka bergerak melintasi jalan-jalan utama Kota Tunis.

Terlihat bendera Tunisia berkibar di setiap sudut kota. Mulai dari ukuran kecil 20 x 30 cm, hingga yang sangat besar. Di banyak tempat anak-anak memegang dan mengibar-ngibarkan bendera mungil serta menandai pipinya dengan lambang bulan sabit dan bintang berwarna merah, merujuk pada lambang bendera kebangsaan mereka. Ya, meski suasana sangat dingin, warga Tunis berbondong-bondong menggelar aksi dan melakukan pawai untuk memperingati dua tahun revolusi rakyat negeri itu.

Telah tercatat dalam sejarah bahwa revolusi Tunisia ini bermula dari seorang tukang sayur, Muhammad Bouazizi, berumur 26 tahun yang tertindas di wilayah Sidi Bouzid Sidi, 300 kilometer sebelah selatan ibu kota Tunisia. Bouazizi yang selama tujuh tahun berjibaku menjadi tukang sayur tiba-tiba didatangi oleh segerombolan polisi dan mereka menyita gerobak sayurnya dengan alasan bahwa ia berjualan tanpa izin. Bouazizi sudah coba membayar 10 dinar Tunisia, namun ia ditampar, diludahi, bahkan ayahnya yang sudah meninggal dihina.

Ia berusaha melapor ke markas provinsi, namun keluhannya sama sekali tak dihiraukan. Bouazizi pun mengambil langkah nekat: membakar dirinya. Ternyata tidak hanya Bouazizi yang terbakar, tetapi juga membakar amarah seluruh rakyat Tunisia atas kediktaktoran rezim yang berkuasa.

Dari sanalah gejolak bermula. Masih terkenang dulu tahun 2010, saya hanya mampu menyaksikan dari layar televisi bagaimana Tunisia berjuang dengan darah dan air mata untuk sebuah perubahan. Unjuk rasa pun terjadi sebagai bentuk protes atas kebijakan rezim Presiden Zine El Abidine Ben Ali, sang diktaktor Tunisia yang telah berkuasa selama 23 tahun.

Peristiwa yang bermula pada Desember 2010 itu termasuk gelombang pergolakan sosiopolitik yang paling dramatik di Tunisia dalam masa tiga dasawarsa. Peristiwa itu menyebabkan ramai warga yang menjadi korban atau cedera hingga akhirnya Ben Ali berhasil digulingkan pada 14 Januari 2011.

Kini, 14 Januari telah menjadi hari libur nasional Tunisia. Perjuangan revolusi Tunisia sangat membekas dalam jiwa setiap warga. Maka tidak heran ketika saya saksikan banyak sekali pengunjung, dari setiap lapisan masyarakat, ormas, instansi, dan sebagainya rela angin pagi menusuk tulang mereka berjam-jam lamanya demi memperingati dua tahun hengkangnya pemimpin diktator dari tampuk kepemimpinan negara mereka.

Sambil memperingati momen penting itu, rakyat Tunisia kemudian berharap agar hidup mereka nyaman dalam suasana damai dan bebas dari segala bentuk tekanan, terutama oleh penguasa yang seharusnya melindungi rakyatnya.
[email penulis: sm.syarfina@yahoo.com]

* Bila Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas Anda ke email: redaksi@serambinews.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved