Opini
Aceh yang Berdaya Saing
UNGKAPAN Napoleon Bonaparte itu menjadi sesuatu yang kita harapkan pada para pemimpin di Aceh, agar menggunakan nurani masa lalu
Oleh Mohd. Heikal
UNGKAPAN Napoleon Bonaparte itu menjadi sesuatu yang kita harapkan pada para pemimpin di Aceh, agar menggunakan nurani masa lalu dan logika masa depan untuk menjadikan Aceh sebagai daerah yang memiliki keunggulan bersaing. Aceh telah mengukir dan lahir dari jalan sejarah yang unik dibandingkan dengan provinsi lain di Nusantara ini. Jadi, wajar ketika persoalan identitas adalah sesuatu yang mutlak mencerminkan jalan sejarah tersebut, karena Aceh memang beda dalam relasinya dengan Indonesia.
Setelah masa rekonstruksi dan rehabilitasi baik akibat konflik dan tsunami, maka melihat fase dari pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf ini cenderung sebagai stage of development (tahapan pembangunan). Karena sejatinya saat ini kita sangat mengharapkan proses pembangunan untuk mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera dapat berjalan secara optimal. Atas dasar tersebut maka pemerintahan ini harus mempu membangun Aceh dengan segenap potensi yang dimilikinya menjadi provinsi yang memiliki daya saing.
Michael Porter, seorang guru besar bidang strategi dan keunggulan bersaing dari Harvard Business School mengatakan, keunggulan daya saing yang berkelanjutan (sustainable) hanya dapat dicapai melalui aktivitas yang tidak dapat atau sulit ditiru oleh pesaing. Maka dalam hal ini Aceh sebagai daerah yang memiliki keunikan dalam hampir semua kehidupannya memiliki potensi akan keunggulan daya saing dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.
Syariat Islam
Sejak pemberlakukan syariat Islam di Aceh 13 tahun lalu, kita tidak melihat hal tersebut menjadi elan bagi proses transformasi menuju Aceh yang bermartabat. Persoalannya adalah karena syariat Islam terkungkung dalam wilayah sempit soal jilbab, khalwat, jenggot, dan terakhir soal himbauan tentang larangan ngangkang bagi wanita yang dibonceng sepada motor. Syariat Islam di Aceh sukses dalam tataran formal, namun mengecewakan dalam persoalan substansial. Padahal syariat Islam adalah sebuah sistem yang komprehensif mengatur tidak hanya persoalan akidah tapi juga muamalah.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam dan Madkhal li Diraasat al-Syariah al-Islamiyah sangat meyakini bahwa syariat Islam merupakan tata aturan yang sempurna dan mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Bagaimana mengeksploitasi syariat Islam dari sisi muamalah inilah menjadi hal penting dalam membangun keunggulan daya saing bagi Aceh. Di Indonesia hanya Aceh satu-satunya provinsi yang dibenarkan oleh undang-undang untuk menerapkan syariat Islam.
Kita lupa bahwa syariat Islam adalah intangible asset (kekayaan tak berwujud) yang sangat bernilai saat ini, hanya saja persoalannya adalah dangkalnya pemahaman kita tentang agama yang rahmatan lil ‘alamiin ini sekalipun kita terkenal sangat fanatik. Sesuatu yang lebih penting adalah bagaimana menerjemahkan aset berharga itu sebagai competitive advantage (keunggulan bersaing) dalam kebijakan dan keberpihakan pemerintah melalui pembangunan, baik sarana dan prasarana yang mendukung upaya tersebut.
Arah dari terwujudnya syariat Islam sebagai keunggulan bersaing adalah ada pada tiga sektor penting yang akan menjadi primadona masa depan. Yaitu bagaimana Aceh menjadi Centre of Islamic Finance, Islamic Food, and Islamic Fashion. Aceh dan Islam adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, jadi sebenarnya secara marketing Aceh telah menjadi sebuah brand (merek) yang memiliki ekuitas yang sangat tinggi.
Sektor unggulan
Pemerintah harus membuat pemetaan yang operasional dalam menjadikan tiga F ini sebagai sektor unggulan baru di Aceh, terutama dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015 nanti. Hal ini bukan tidak mungkin dapat diwujudkan jika masyarakat Aceh memiliki kesadaran kolektif untuk mengubah jiwa dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan menjadi etos untuk melakukan perubahan dalam membangun kemandirian ekonomi lokal.
Secara keuangan Aceh bukan provinsi terkaya di Indonesia, namun dapat menjadikan pusat riset ekonomi Islam untuk dunia. Ini bisa dilakukan dengan cara mendorong perguruan tinggi agar melahirkan sumber daya manusia yang berkaitan dengan hal tersebut. Universitas Malikussaleh (Unimal), misalnya, layak dijadikan sebagai institusi pendukung bagi terwujudnya Aceh sebagai center of Islamic Finance, karena letaknya di wilayah bekas kerajaan Samudera Pasai yang secara ekonomi pernah melahirkan mata uang emas yang bercirikan Islam dan dianggap sebagai mata uang tertua dalam kerajaan Islam di wilayah Asia Tenggara. Jadi spirit of palace itulah yang menjadi penguat utama, mengapa Unimal perlu mengambil peran dengan dukungan dari pemerintah Aceh.
Pada 1 Januari 2010 Indonesia resmi menandatangani berlakunya China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), maka produk-produk makanan dan minuman dari negeri tirai bambu tersebut sangat mudah kita dapatkan bahkan dengan harga yang relatif murah. Indonesia memang “sorga” bagi makanan dan minuman impor, terutama dari Cina yang sisi kehalalannya pantas untuk diragukan.
Melihat potensi pasar makanan halal yang begitu besar ditambah lagi dengan makanan halal saat ini telah menjadi kebutuhan dan trend di negara-negara nonmuslim, maka sudah seharusnya Aceh yang mayoritas penduduknya adalah muslim dan label Islam telah melekat kuat mestinya pemerintah dapat melakukan terobosan kreatif dengan mengundang investor untuk memproduksi makan dan minuman halal di Serambi Mekkah ini.
Aceh harus menjadi pusat industri penyediaan pangan halal yang secara nasional baru 0.07% industri tersertifikasi halal dari total industri yang ada di Indonesia. Kehadiran industri tersebut akan mempercepat pertumbuhan ekonomi Aceh yang hingga saat ini masih sangat bergantung pada sektor migas.
Sektor ketiga dengan menjadikan syariat Islam sebagai keunggulan bersaing adalah fashion (busana muslim). Pernahkah larangan penggunaan pakaian ketat kemudian kita jadikan sebagai stimulan untuk melahirkan industri garment busana muslim di Aceh? Kota Bandung adalah salah satu kota di Indonesia yang menjadi pusat busana muslim terbesar, banyaknya konveksi maupun garment telah membuat kota kembang tersebut melahirkan event-event yang berkaitan dengan busana muslim secara nasional.
Peluang besar
Munculnya hijabers community adalah peluang besar untuk memulai lahirnya pusat industri busana muslim di Aceh. Beberapa tahun lalu saya terkejut ketika melintasi sebuah kota kecil di Sumatera Barat antara Payakumbuh dan Kota Padang yang menjadi pusat grosir kerudung bahkan diekspor ke Malaysia. Memang tidak mudah untuk mewujudkan hal tersebut, saat ini ada beberapa konveksi yang semi garment hadir di Aceh, namun tidak berkembang dengan baik karena harganya yang tidak kompetitif dengan produk luar.
Ini disebabkan karena mahalnya ongkos produksi terutama bahan baku. Solusinya adalah menjadikan sabang sebagai pintu masuk raw material bagi industri-industri tersebut. Untuk menjadikan Aceh sebagai center of Islamic Fashion setidaknya harus didukung oleh tiga hal utama disamping ketersediaan bahan baku yang mudah dan murah (bukan murahan), yaitu design (desain), distribution (distribusi), dan event atau integrated marketing communication (komunikasi pemasaran terpadu).
Lihat saja keberhasilan Jember Fashion Carnaval di sebuah kota kecil yang menyedot perhatian ratusan ribu orang dari dalam dan luar negeri menyaksikan peragaan busana di jalan sepanjang 3,6 kilometer. Padahal busana yang ditampilkan tidak luar biasa, namun yang menjadikannya luar biasa adalah ide dan kreativitas serta inovasinya. Lalu, bandingkan dengan pawai 1 Muharram setiap tahun baru Hijriyah yang kita peringati dengan tidak membawa dampak signifikan serta hampa makna.