Opini

‘Menambang’ Keadilan di Tanah Aceh

Di ruang rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Kamis  (25/9/2025), pria sapaan Mualem itu berkomitmen menertibkan

Editor: mufti
For Serambinews.com
Ir Jafaruddin Husin MT, Anggota Tim Perumus UUPA 

Ir Jafaruddin Husin MT, Anggota Tim Perumus UUPA

ULTIMATUM Gubernur Aceh, Muzakir Manaf terkait pertambangan ilegal sempat menjadi perbincangan hangat di Aceh. Di ruang rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Kamis  (25/9/2025), pria sapaan Mualem itu berkomitmen menertibkan aktivitas tambang ilegal di seluruh wilayah Aceh. Ia mengultimatum kepada para pelaku tambang ilegal agar segera menarik seluruh alat berat dari kawasan hutan dalam waktu dua minggu.Mualem beralasan bahwa upaya penertiban dan penataan tambang ilegal dinilai akan berefek pada kerusakan lingkungan dan tidak memberi manfaat bagi keuangan daerah dan masyarakat Aceh. Bahkan, Pemerintah Aceh telah mendata sebanyak 1.630 sumur minyak yang tersebar di empat kabupaten, yaitu Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, dan Bireuen.

Keseriusan orang nomor satu di Aceh itu ditindaklanjuti dengan penyusunan roadmap penertiban tambang ilegal bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Forum ini dipimpin langsung oleh Sekretaris Daerah Aceh, M Nasir, S.IP, MPA, dan dihadiri Kapolda Aceh Irjen Pol Drs Marzuki Ali Basyah, MM, serta perwakilan lintas instansi terkait. Dalam roadmap ini nantinya akan mengatur penertiban yang mencakup jadwal operasi, pembagian wilayah, serta manajemen risiko, (Serambi Indonesia: Pemerintah Aceh bersama Forkopimda Susun Roadmap Penertiban Tambang Ilegal, Jumat, 24 Oktober 2025).

Namun penertiban bukan satu-satunya langkah. Pemerintah sejatinya juga menyiapkan pembinaan masyarakat tambang melalui pembentukan koperasi tambang rakyat, penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai memahami bahwa tambang rakyat tak bisa dipadamkan dengan pemadaman hukum semata, tetapi perlu diarahkan agar legal dan berkelanjutan.

Kekuasaan yang terkunci

Bicara tambang di Aceh bukan hal baru. Bahkan sebelum perdamaian antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), aktivitas tambang—baik legal maupun ilegal—sudah berlangsung di banyak wilayah. Pascadamai, Aceh mendapatkan lex spesialis atau kekhususan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal 156 UUPA menegaskan bahwa Aceh memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya alam, baik di darat maupun laut, untuk kemakmuran rakyat Aceh.

Namun, impian itu mulai pudar sejak disahkannya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 (Minerba). Regulasi baru ini menarik kembali kewenangan pertambangan ke tangan pemerintah pusat. Akibatnya, Aceh yang seharusnya dapat mengelola kekayaannya secara mandiri, kini terbelenggu oleh regulasi nasional yang seragam dan sering tak peka pada kondisi lokal.

Kementerian ESDM bahkan pernah mengirim surat kepada Gubernur Aceh (Nomor T-125/MB.05/SJN.H/2023, 19 Januari 2023) yang menyatakan bahwa penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Aceh tidak memenuhi prosedur sesuai UU Minerba, karena tidak melalui mekanisme lelang. Imbasnya, IUP yang diterbitkan oleh Pemerintah Aceh dianggap tidak sah secara hukum.
Situasi ini menciptakan kekacauan administratif: masyarakat menambang di wilayah yang secara sosial diakui sebagai tambang rakyat, tetapi secara hukum disebut ilegal. Sementara pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak, karena kewenangan mereka diambil alih oleh pusat. Ambiguitas ini adalah luka struktural otonomi Aceh, di atas kertas berdaulat, di lapangan terikat.

Ketika masyarakat menuntut legalisasi tambang rakyat melalui regulasi yaitu qanun, pemerintah daerah sering kali terkendala oleh regulasi pusat, UU Minerba. Sebaliknya, ketika pemerintah pusat mengeluarkan aturan teknis baru, implementasinya di Aceh sering tidak sinkron dengan konteks lokal.

Maraknya tambang ilegal sejatinya adalah gejala dari regulasi yang gagal memahami realitas sosial-ekonomi masyarakat. Ribuan warga Aceh menggantungkan hidup dari kegiatan tambang, dari operator alat berat hingga penjual makanan di lokasi galian. Ketika aparat turun dengan pendekatan represif tanpa solusi, yang terjadi adalah kriminalisasi rakyat kecil dan hilangnya sumber penghidupan keluarga mereka.

Pendekatan hukum yang kaku hanya memperpanjang penderitaan. Karena di sisi lain, banyak daerah di Aceh belum memiliki alternatif ekonomi yang layak. Maka, penertiban seharusnya berjalan seiring dengan pembinaan, bukan pemutusan mata rantai ekonomi rakyat yang sudah terbangun.

Jalan tengah

Kebijakan Mualem untuk menertibkan tambang ilegal dapat dikatakan langkah positif dan perlu didukung bersama, asalkan dibarengi solusi yang berpihak kepada rakyat. Penutupan total tanpa skema pengganti justru akan menambah angka kemiskinan dan potensi konflik sosial. Dalam konteks ini, pembentukan Koperasi Tambang Rakyat bisa menjadi jalan tengah yang realistis.

Apalagi, PP Nomor 39 Tahun 2025—perubahan kedua atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Usaha Pertambangan Minerba—secara tegas membuka ruang bagi koperasi untuk mengelola pertambangan mineral dan batubara, termasuk tambang rakyat. Namun, koperasi ini harus benar-benar dimiliki dan dikendalikan oleh masyarakat lokal, bukan sekadar kedok bagi kepentingan kapitalis.

Negara juga perlu memastikan kapasitas manajerial koperasi, sistem pengawasan yang kuat, dan jaminan keberlanjutan lingkungan. Jika hal ini dijalankan dengan benar, Pemerintah Aceh bisa memperoleh banyak manfaat: meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), pemberdayaan ekonomi rakyat, serta berkurangnya praktik pungutan liar oleh oknum di lapangan.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved