Opini

Jokowi, Aher, dan Aceh

MENARIK mencermati dinamika politik yang tengah berlangsung di berbagai tempat di Indonesia hari ini, terutama tentang Jokowi, sosok yang selalu

Editor: bakri
Oleh Hanif Sofyan

MENARIK mencermati dinamika politik yang tengah berlangsung di berbagai tempat di Indonesia hari ini, terutama tentang Jokowi, sosok yang selalu menjadi pengisi berita. Bukan karena “orang luar Jakarta” yang menguasai Ibukota negara. Namun sepak terjangnya yang “beda” dalam “kekalutan model perilaku kotor para politikus kita”. Kehadirannya menjadi magnet baru yang menyita perhatian. Sikap bersahaja dan apa adanya dianggap ekslusif di kekinian zaman pejabat bejat moral yang amburadul.

Padahal sesungguhnya itulah perilaku abdi rakyat yang sejati. Berhadapan dengan realitas metropolitan yang gegap gempita dengan kemacetan, banjir dan kompleksitas sosial yang mengerutkan nyali, hadir dengan kesahajaannya,” berblusukan” ke seantero Jakarta. Mengingatkan pada kisah para sahabat Nabi yang berkunjung di kekumuhan dan menyalami langsung tidak saja fisik, tapi juga hati rakyat. Karena Ini sesuatu yang langka dan aneh, hari ini.

 Pemandangan naif
Barangkali menjadi pemandangan yang naif, ketika kebaikan, kesahajaan, dianggap menjadi sesuatu yang aneh. Aneh ketika pejabat tinggi mengunjungi rakyat di pelosok (tidak termasuk dalam kapasitas kampanye dan penyaluran bantuan bencana dengan mengatasnamakan kelompok dan partai, karena hal itu dalam sebutan bahasa agama bermodus riya). Ketika pikiran kita menjadi aneh juga, maka kita sesungguhnya telah terkontaminasi oleh virus para pejabat kita yang menjungkirbalikkan fakta realitas menjadi komoditas politik, menjadikan sesuatu yang halal menjadi terlihat haram dan yang haram menjadi permisif dan halal. Bisma Yadhi Putra menyebutnya “imunitas oligarki”, kekuasaan yang dilengkapi dengan hak imunitas agar tetap eksis (Serambi, 6/3/2013).

Namun begitulah realitas hari ini, bagaimana dengan Aceh yang notabene menjadi kampium dalam pemberlakuan syariah? Apakah hal ini justru menjadi sesuatu yang memang seharusnya, atau kita perlu bercermin kembali karena ternyata kita setali tiga uang dengan model politik pejabat cuek rakyat, atau malah lebih parah? Padahal, seperti kata orang bijak, orang yang lebih memahami sebuah larangan dan tetap melakukannya akan mendapat bala yang lebih berat.

Sekali lagi mencermati tetangga kita, seperti Jakarta, Jawa Barat dibawah kepemimpinan baru Ahmad Hermawan dan Dedy Miswar, juga tengah bermain dengan arus positif. Meskipun tidak presisi mencontek, namun gaya kepemimpinan model blusukan adalah sebuah trend baru yang setidaknya dapat menjadi efek domino bagi wilayah lainnya untuk makin mendalami persoalan rakyat, merangkul rakyat tidak saja dalam janji cet langet namun lebih dalam perilaku dan usaha yang kongkrit. Kita memang melihatnya menjadi sebuah trend baru, yang memiliki dua mata sisi pisau yang bisa menimbulkan multitafsir, mudharat dan maslahat.

Mudharat ketika model pemimpin baik, ternyata hanya bagian dari strategi kampanye doang, sementara maksud “buruk”, kepentingan partai, dibalut bahasa manis mendayu-dayu untuk mendapat dukungan dan simpati. Maslahat karena perilaku ala Jokowi dan pariwara partai dan para politikus, mengajari rakyat untuk berbuat baik, peduli dan menjadi pemimpin sejati. Perhatikan bagaimana media visual menjadi semacam tempat berkompetisi membuat pariwara dengan sentuhan hati dan kebaikan, padahal yang tampil sebagai tokoh adalah, dalam sebutan bahasa yang tak awam, dipenuhi “para penjahat politik yang korup dan gelap”.

Bagaimana dengan Aceh kita? Meskipun mulai tumbuhnya gaya blusukan, namun masih belum menggembirakan, sekalipun kita bersyariah. Dan bukan didorong oleh rasa apatis dan pesimistis, namun kita jika menganut pada kaidah niat, ucapan dan perbuatan, kita masih berkutat dengan “niat dan ucapan”, namun belum sungguh-sungguh “berbuat”. Bahkan, menurut sebuah lembaga survey di Jakarta kita berada di peringkat atas dalam urusan korupsi, tentu saja ini paradok dengan realitas kesyariahan kita. Makin diangkat, makin diqanunkan, makin cetar membahana tingkat kejahatannya. Ini tentu saja menjadi fakta yang fantastis sekaligus juga absurd.

Namun bercermin pada sosok kesahajaan jokowi, menilik sepak terjang segelintir pejabat di nanggroe kita, setidaknya masih ada optimisme yang tersisa. Meskipun sebagian politikus lain menganggap norak dan berlebihan, namun sesungguhnya itu menyiratkan ada kelemahan yang ditutupi, ada modus permisif atas “kejahatan” yang telah menjadi virus tengah digilas oleh “model” pejabat prorakyat. Bagi mereka yang melakoni tindak jahat pastinya akan kebakaran jenggot dan berusaha menggilas sosok ala Jokowi yang membahayakan kedudukan mereka sekarang atau nanti.

Kita berharap dengan janji yang pernah diucapkan di masa kampanye pemilukada secara pelan tapi pasti akan diwujudkan. Sebagian orang melihat janji-janji sesuatu yang cet langet, namun dengan kekayaan yang Aceh miliki hari ini bukan sesuatu yang mustahil, selama itu dilakukan dengan benar, dengan niat baik.

 Runtuhnya moral
Sayangnya beberapa realitas baru, justru menunjukkan hampir mustahil menghapus perilaku jahat para pemimpin dan wakil pilihan rakyat sendiri. Berita terbaru tentang posisi Aceh dalam peringkat korupsi tak kalah membahana, termasuk soal molornya APBA yang telah berlangsung selama beberapa periode. Dan, lebih menyakitkan dan paradoks dengan kesyariatan kita, saat ini kita didera kasus runtuhnya moral, free sex yang makin tak terbendung.

Kita tidak dalam posisi oposisi atau memusuhi, namun berbagai kasus menjadi cermin untuk melihat diri kita sendiri. Karena seperti kata Plato, “sesungguhnya pertanyaan yang paling rumit dicari jawabannya adalah, ketika kita ditanya; siapa sesungguhnya kita?”. Karena kita harus melakukan otokritik atas tubuh sendiri, introspeksi dan kontemplasi atas apa yang kita lakukan bukan orang lain, yang diumpamakan sebagai melihat gajah di pelupuk mata tidak tampak sementara semut diseberang lautan begitu jelas. Dengan cermin itu kita dapat melihat bagian mana dari tubuh yang bopeng, borok, kritis, akut dan bagian mana yang bahkan harus diamputasi agar tidak menjalar kebagian lain. Ketika seorang pemimpin mampu melakukan internalisasi kebaikan ke dalam diri sendiri, maka mudah baginya untuk melakukan intervensi kepada orang lain dengan kekuasaan dan power yang dimilikinya sebagai pemimpin.

Melihat realitas yang beragam, kita berharap model kepemimpinan “blusukan” ala Jokowi dan Aher yang berani terang-terangan menjanjkan sesuatu yang logis dan sudah terealisir dalam masa kepemimpinan sebelumnya terasa lebih indah, kongkret dan membumi daripada berupaya mewujudkan jargon masyarakat adil dan makmur berdasarkan bla-bla, yang teoritis dan kuliahan, seperti sedang menghafal Pembukaan UUD 1945.

Kita berharap akan banyak pemimpin Aceh yang lahir hari ini ala Jokowi, tak berjarak, tak aneh-aneh, bersahaja dan harapan kita sosok model itu, akan diikuti oleh barisan yang makin panjang. Apalagi, kita nanggroe bersyariah, yang tidak hanya punya simbol tapi punya UU dan tata aturan yang mengikat dan berbeda. Karena hari ini kita tidak saja sedang mempersoalkan perilaku korup dan jahat saja, namun kita sedang mempertaruhkan pilihan kita menjadikan Aceh sebagai negeri islami dan madani.

* Hanif Sofyan, Penulis Freelance, berdomisili di Komplek Indiser, Tanjung Seulamat, Aceh Besar. Email: acehdigest@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved