Opini
Pernikahan Beda Agama
MANUSIA diciptakan berpasangan, adanya kecenderungan hati laki-laki untuk mencintai perempuan, begitu juga
Oleh Agustin Hanafi
MANUSIA diciptakan berpasangan, adanya kecenderungan hati laki-laki untuk mencintai perempuan, begitu juga sebaliknya. Islam menganjurkan umat manusia untuk menikah bagi yang telah mampu secara lahir dan batin sehingga dapat menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik. Nabi Muhammad saw menyinggung sedikit kriteria calon pasangan hidup sehingga tujuan dari sebuah pernikahan dapat tercapai dengan baik, sebagaimana sabdanya: “Perempuan dinikahi karena empat motivasi, karena hartanya, karena kedudukan atau kebangsawanannya, karena kecantikannya, dan karena keberagamaannya. Jatuhkan pilihanmu atas keberagamaannya, kamu akan mendapat keberuntungan.” (Diriwayatkan melalui Abu Hurayrah).
Pernikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral, oleh karena itu Alquran membatasi siapa saja yang tidak boleh dinikahi dari pihak keluarga yang biasa disebut dengan muhrim, dan Alquran juga tidak menghendaki pernikahan antarpemeluk agama yang berbeda, sebagaimana firman Allah Swt: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia sangat memikat hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia sangat memikat hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221).
Hubungan harmonis
Dalam ayat ini disebutkan bahwa budak yang beriman sungguh amat jauh lebih baik dari seseorang yang musyrik karena keimanan menyangkut soal agama, sedangkan harta, kecantikan, keturunan menyangkut masalah duniawi. Agama lebih baik dari dunia karena ia sesuatu yang paling mulia bagi setiap orang. Sekiranya agama telah sesuai maka rasa kasih sayang semakin sempurna, namun apabila keyakinan berbeda, secara otomatis rasa kasih sayang tidak bisa tercapai, maka kesenangan dunia pun tidak bisa terwujud. Alasan yang sangat mendasar, bahwa larangan perkawinan dengan nonmuslim adalah perbedaan iman, sedangkan tujuan dari sebuah perkawinan adalah terjalinnya hubungan yang harmonis, minimal antara pasangan suami istri dan anak-anaknya.
Namun keharmonisan sulit tercapai jika nilai-nilai yang dianut oleh suami berbeda, karena nilai akan mewarnai pikiran dan tingkah laku seseorang. Dalam pandangan Islam, nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai yang tertinggi, yang bagaimanapun tidak boleh dikorbankan. Ia harus dilestarikan dan diteruskan ke anak cucu. Dapatkah seseorang menoleransi inti kepercayaan atau bahkan mengorbankannya atas nama cinta, atau karena kekaguman pada kecantikan atau ketampanan, harta dan status sosial? Semua yang dikagumi itu akan sirna dan sulit mewujudkan sebuah perkawinan yang langgeng.
Alquran menolerir pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan yang dari golongan ahli kitab, sebagaimana disebutkan dalam Alquran (Surah Al-Maidah: 5). Namun siapa yang dimaksud dengan ahli kitab dalam ayat ini menjadi perbedaan di kalangan ulama, karena Alquran selalu menyebut mereka dengan komunitas agama Yahudi dan Nasrani. Ibn Umar misalnya berpendapat bahwa mereka yang boleh dinikahi hanya yang sudah memeluk agama Islam.
Ada juga sebagian ulama menilai kalau kebolehan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena menganggap ahli kitab sebagai golongan musyrik sehingga kebolehan yang ada telah di-nasakh oleh ayat yang mengharamkannya yang turun belakangan. Kemudian sebagian ulama menilai kebolehan tersebut berlaku hanya sebelum agama mereka mengalami perubahan, atau hanya dari keturunan bani Israil saja. Ada juga yang punya pandangan lain bahwa siapa saja selain perempuan musyrik baik punya kitab suci atau tidak, tetap halal dinikahi oleh pria muslim.
Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia juga telah dijelaskan bahwa pernikahan beda agama tidak dikehendaki, hal ini bisa dilihat dari pengertian pernikahan yang termaktub dalam UUP 1974 Pasal 1: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kemudian, Pasal 2 ayat 1: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan pria dan wanita yang sama akidah, akhlak dan tujuannya, di samping cinta dan ketulusan hati. Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami-isteri berpegang kepada agama yang sama. Keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika agama keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain-lain. Islam dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria nonmuslim, baik musyrik maupun ahli kitab.
Oleh karena itu, sebesar apapun alasan untuk membolehkan perempuan muslimah menikah dengan laki-laki ahli kitab, menurut penulis tidak mungkin bisa diterima karena Alquran dan al-Sunnah telah melarang dengan sangat tegas. Jadi, perempuan muslimah tetap tidak memiliki ruang untuk menikah dengan laki-laki yang bukan muslim li sad al-zari‘ah. Seharusnya layak untuk direnungkan apa yang ingin dicapai sehingga timbul wacana menikahkan perempuan muslimah dengan yang beda agama. Bukankah saat ini banyak laki-laki muslim yang berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia yang sama-sama bisa saling menasehati dalam kesabaran dan kebenaran, serta bisa mewujudkan keluarga sakinah seperti didambakan oleh semua orang?
Menjaga iman
Dalam agama apapun, menjaga iman merupakan kewajiban dasar, berbagai benteng syariat dirumuskan agar iman tidak sampai tererosi. Maka tidak heran Alquran melarang keras perempuan muslimah menikah dengan yang beda agama tanpa terkecuali pria yang ahli al-Kitab, namun fakta yang terjadi di lapangan ada saja kasus yang melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Alquran. Dari segi manfaatnya sangat merugikan umat Islam karena laki-laki lebih banyak berkuasa atas perempuan, apalagi pada kondisi tertentu perempuan sangat lemah. Namun bagaimana kalau seorang laki-laki mengumumkan dirinya sebagai muallaf, lantas di tengah jalan kembali lagi memeluk agamanya alias murtad, apakah perkawinannya bisa dibatalkan demi hukum?
Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan isteri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan isteri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan. Oleh karena itu kalau ada yang memeluk Islam secara tiba-tiba, maka hendaknya para wali mempelajari dan mencermatinya dengan seksama apakah niatnya tulus karena Allah atau karena faktor lain. Karena bisa saja ini merupakan siasat dari pengikut agama lain untuk mengikuti agama mereka. Wallahu a’lam.
* Dr. H. Agustin Hanafi, MA, Ketua Prodi Hukum Keluarga pada Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: agustinhanafi77@yahoo.com