Opini
‘Peunyaket Politek’
UNGKAPAN tersebut rasanya pas jika dikaitkan dengan situasi perpolitikan di Aceh saat ini. Ketika orang baik diam
Oleh Syamsul Bahri
“The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing (Satu-satunya yang diperlukan untuk kemenangan kejahatan adalah untuk orang-orang baik tak melakukan apapun).”
--Edmud Burke (1729-1797) - Nagarawan Irlandia
UNGKAPAN tersebut rasanya pas jika dikaitkan dengan situasi perpolitikan di Aceh saat ini. Ketika orang baik diam tak melakukan apapun untuk daerahnya, saat itu pula kejahatan terjadi di daerahnya itu. Saat ini, wajah perpolitikan di Aceh sedang tidak sehat. Diakui atau tidak, Aceh dalam kondisi runyam, payah, sehingga perlu dibawa ke rumah sakit untuk didiagnosa ‘penyakit’ yang diidapnya. Kemudian, tentu perlu ‘therapi’ yang tepat untuk menyembuhkannya.
Serentetan kejahatan terjadi di beberapa daerah di Aceh mengatasnamakan kepentingan politik ini telah terjadi, belum bisa diperiksa apa penyakit yang dialaminya. Sebut saja kasus penurunan bendera partai, pemukulan, pengroyokan, penculikan yang terjadi baru-baru ini karena basis egosentris partai. Media telah mempublisnya sehingga semua kita tahu partai-partai itu.
Kalau ada yang mengatakan Aceh dalam kondisi aman, saya kira itu sebagai kata-kata damai atau penyejuk hati saja. Artinya agar tidak membesar-besarkan masalah. Tetapi banyak orang luar Aceh mengatakan sebaliknya. Perlu diketahui, apa yang kita alami di Aceh menjadi opini masyarakat luar, mereka kerap saja mengatakan di Aceh banyak terjadi kekerasan. Kekerasan sesama orang Aceh sendiri. Informasi itu saya dapatkan dari beberapa komunikasi dengan dengan keluarga dan teman yang sedang/dari luar daerah. Karena mereka mengikuti berita saja tak memperhatikan langsung. Memang kalau perasaan waswas dan selalu khawatir, itu tandanya tidak aman.
Terkena ‘penyakit aneh’
Opini demikian menyebabkan Aceh akan dinilai oleh orang lain sebagai daerah “suka perang”, “doyan membunuh” dan lain sebagainya yang tentunya sama sekali tak kita inginkan dilabelkan pada Aceh kita ini. Lihat saja, misalnya, gara-gara menaikkan bendera partai, orang lain marah, kemudian main hantam-hantaman dan main keroyok-keroyokan. Terus karena tak mau bendera partainya diturunkan, mereka balik menurunkan bendera partai rivalnya itu. Akhirnya saling menurunkan bendera. Kelakuan seperti ini menandakan pelakunya sedang terkena “penyakit aneh”. Dikatakan penyakit aneh karena saya tak tahu apa nama penyakit yang mengidap orang-orang tersebut. Begitu media menyebutkan kasus-kasus yang terjadi saat ini berhubung pemilihan raya (pemilu legislatif) yang puncaknya akan berlangsung pada 9 April 2014 mendatang.
Nah, bagi kita yang menyaksikan perilaku itu cukup berkata, itu orang sinting dan tak beradab. Karena orang beradab selalu melakukan yang baik-baik, kalaupun ada orang yang tak sepaham dengannya, ia menghargainya. Kalau ada orang beda partai dengannya, ia sabar dan saling mengerti. Kalau ada orang yang menaikkan bendera partai, ia paham bahwa menaikkan bendera itu bagian dari kampanye dan ia akan melakukan hal serupa dengan menaikkan benderanya juga, jika perlu tepat di samping bendera rivalnya. Bukan menurunkan bendera partai lain dan menggantikan dengan benderanya apalagi main keroyokan dan hantaman. Coba pembaca sebutkan penyakit apa ini?
Kurang lebih itulah “peunyakit politek” yang mendera bangsa yang “belum sehat”. Memang tidak semua kita tidak sehat. Tapi sebagian kita masih belum sehat atau kurang sehat. Orang yang kurang sehat ini yang sulit dideteksi dan disembuhkan. Kalau jelas sakit dan penyakitnya mudah saja dirujuk ke rumah sakit dan diopname. Tapi tidak tahu penyakit mau dibawa ke mana? Ke rumah sakit jiwa? Di sana bukan tempat mereka.
Penyakit politik ini memang sulit disembuhkan. Tak salah kalau ada yang bilang, kepentingan partai melebihi segala kepentingan, perlu pengorbanan, perlu menurunkan partai orang lain, perlu diintimidasi, diteror dan perlu dihalalkan segala cara agar lawannya tak eksis bersuara dan ‘mati suri’ ketakutan. Ada-ada saja!
Kalau sama-sama kuat, saling menurunkan partai, saling keroyokan, saling teror, apa boleh dikata, kalau ada senjata justru itu akan meledak. Maka jadi khawatir juga kita sebagai masyarakat sipil yang tidak ada kepentingan apa-apa akan kena imbas mereka. Jika sudah begini, lalu apa yang bisa diperjuangkan oleh partai?
Rakyat Aceh sudah merasakan konflik yang berkepanjangan. Mulai dari peperangan DI/TII sampai kepada GAM. Konflik GAM dengan negara Kesatuan Republik Indonesia yang kurang lebih 30 tahun, kemudian “angin surga” berhembus pada 2005 lalu, tapi tentu masyarakatnya belum pulih. Mental kita masih merasakan imbas konflik. Damai kita belum terasa sampai kepada kesejahteraan rakyat yang merata. Pendidikan kita belum cukup berkualitas, kesehatan masyarakat belum cukup baik, ekonomi masyarakat belum bisa dibanggakan, kemiskinan dan pengangguran masih mewabah. Apa yang dikehendaki perjuangan partai kalau saling bertikai? Bukankah kesejahteraan itu yang diperjuangkan? Bukankah untuk memperjuangkan itu perlu kesatuan dan persatuan? Mengapa juga saling bertikai?
Miris bercampur kecewa
Miris hati bercampur kecewa kita mengamati kekerasan mewakili partai-partai yang terjadi belakangan ini. Memang tak jauh larinya oleh apa yang dikatakan oleh Edmund Burke di atas. Artinya, kaum yang menang adalah kaum yang bisa menutup mulut orang-orang baik. Kejahatan terjadi karena orang baik tak melakukan apa-apa. Oleh karena orang baik tak melakukan apa-apa sama saja ditutup mulutnya, diam itu justru membiarkan kejahatan terjadi. Membiarkan kejahatan terjadi akhirnya seperti melegalkan konflik.
Banyak orang baik yang diam saat ini. Kalangan akademisi ada bapak Rektor. Kalangan ulama ada di MPU dan dayah. Perhatikan apa yang dilakukan pak Rektor di Aceh terkait kisruh yang terjadi. Ada Rektor UIN Ar-Raniry, Rektor Unsyiah, Rektor Unimal, Rektor STAIN Malikussaleh, Rektor al-Muslim, dan lain-lain pada perguruan tinggi di Aceh ini. Adakah mereka peduli terhadap isu kekerasan yang sedang terjadi di Aceh? Begitu juga ulama, secara sederhana kita terjemahkan sosok yang paham agama dan pengayom masyarakat. Apa ada ulama Aceh saat ini yang peduli kepada kekerasan yang terjadi belakangan ini? Sampai sekarang saya kira belum.
Kita mengharapkan Pak Polisi bekerja lebih keras untuk mencegah dan menangkap pelaku kekerasan di Aceh. Kejahatan politik ini ditata dan dilestarikan sebagai kekuatan untuk meraup keuntungan kaumnya saja tanpa memperdulikan sisi-sisi kedamaian dan kemanusiaan. Para peutua partai perlu duduk mufakat secara kekeluargaan dan membuat kesepakatan damai, serta menyeru setiap saat kepada simpatisan dan kader partainya agar tidak melakukan tindak kekerasan.
Kita telah lama tak menata diri dengan baik. Baru satu windu (8 tahun) kita damai dan masih banyak yang perlu kita tata. Ketika orang lain ingin unggul dan menang, sebaiknya kita memiliki semangat yang sama. Jadi, supaya “peunyaket politek” ini bisa tersembuhkan, maka tak ada cara lain kecuali berpolitik dan bersaing secara baik, secara sehat, santun dan demokratis. Wallahu’alam.
* Syamsul Bahri, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: syamsulbahri167@ymail.com