Breaking News

Opini

Belajar dari Konflik Aceh

SULIT menjawab kapan suatu konflik bersenjata benar-benar berakhir. Bahkan, ketika senjata-senjata api telah

Editor: bakri

(Solusi Penyelesaian Kasus-kasus Kejahatan Masa Lalu)

Oleh Isabelle Arradon

SULIT menjawab kapan suatu konflik bersenjata benar-benar berakhir. Bahkan, ketika senjata-senjata api telah berhenti menembak dan korban berjatuhan tidak lagi menumpuk, luka masih menganga. Para anggota keluarga mereka tidak tahu apa yang terjadi terhadap orang-orang yang dicintainya itu, para pelaku kejahatan-kejahatan yang menyeramkan tidak terjangkau hukum, dan para korban yang bertahan mengalami kesulitan karena kehilangan rumah dan mata pencarian.

Kondisi serupa berlaku di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, terutama konflik berkepanjangan yang pernah terjadi di Aceh. Memang, kerusakan luar biasa konflik Aceh mungkin secara resmi telah berakhir dengan perjanjian damai 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. Tetapi para korban dan komunitas-komunitas lainnya masih menjalani dampak konsekwensinya hingga hari ini.

 Kasus Idi Cut
Sebagai contoh, kasus pembunuhan massal yang terjadi 15 tahun lalu, di Idi Cut, Aceh Timur. Peristiwa yang terjadi pada 3 Februari 1999 lalu itu, bermula ketika sesaat setelah tengah malam, sebuah unit militer mengeluarkan tembakan tanpa pandang bulu terhadap ribuan orang yang baru kembali pulang dari aksi unjuk rasa di kampung Matang Ulim di Idi Cut, Aceh Timur. Aksi penembakan ini dilakukan dengan dalih sebagai serangan balik atas diculiknya dan terbunuhnya sepuluh anggota personel militer sebulan sebelumnya.

Paling tidak tujuh orang tewas pada malam tersebut dan puluhan mengalami luka-luka. Untuk menutupi jejaknya, para anggota militer tersebut dilaporkan mengikat mayat-mayat tersebut dengan kawat, menaruhnya di dalam karung, dan melemparkannya ke sebuah sungai terdekat. Namun, hingga 15 tahun kemudian, tidak satu orang pun yang didiadili atas peristiwa pembunuhan tersebut di Idi Cut.

Sedihnya lagi, itu merupakan kasus emblematik dari konflik Aceh sebagai keseluruhan, dan banyak lagi dari konflik-konflik masa lalu Indonesia. Di Aceh, konflik ini masih menyediakan luka menganga. Nasib dari banyak korban yang terbunuh masih tidak diketahui, sementara para pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih melenggang bebas. Demikian pula upaya pemerintah untuk menyediakan reparasi kepada mereka yang terkena dampak konflik, terkesan hanya sepotong-sepotong dan terbatas.

Situasi ini yang disorot oleh Amnesty International dalam laporannya tahun lalu - Time to Face the Past (Saatnya Menghadapi Masa Lalu) - yang meneliti kegagalan pemerintah untuk menyediakan keadilan, kebenaran dan reparasi kepada para korban pelanggaran HAM selama konflik Aceh yang menjadi hak-haknya di bawah hukum internasional.

Sudah menjadi perjuangan yang berat bagi banyak aktivis dan kelompok hak asasi manusia yang telah memperjuangkan hak-hak dari ribuan korban dan keluarganya. Selama ini tidak ada kemauan politik yang jelas untuk mengatasi kejahatan-kejahatan masa lalu. Di tingkat nasional, masih minim kemajuan dalam upaya penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu, khususnya selama dua periode jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014).

Pemerintah pusat telah gagal mengadopsi sebuah undang-undang baru tentang komisi kebenaran nasional setelah yang lama dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu. Dan, sampai sekarang belum ada program reparasi yang komprehensif dan spesifik yang ditujukan untuk memulihkan kerugian yang diderita para korban dan anggota keluarganya dari kejahatan-kejahatan di bawah hukum internasional selama dekade terakhir. Sementara, banyak korban di Aceh merasa bahwa mereka telah ditinggalkan oleh komunitas internasional, khususnya Uni Eropa dan ASEAN, yang memainkan peran kunci dalam proses perdamaian.

Meski demikian, pada Desember 2013 lalu, ada sebuah terobosan bersejarah. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pada 27 Desember yang menyediakan pembentukan suatu komisi kebenaran. Meskipun produk legislasi ini masih jauh dari sempurna, ini menunjukkan bahwa melalui kemauan politik, dalam hal ini parlemen Aceh, bisa ada langkah nyata untuk menyelesaikan masalah masa lalu.

Komisi kebenaran Aceh ini bisa bergerak maju menuju pemahaman kondisi-kondisi yang menyebabkan pelanggaran HAM masa lalu, belajar dari masa lalu untuk memastikan bahwa kejahatan serupa tidak akan dilakukan kembali, dan menjamin bahwa pengalaman-pengalaman berbagi bersama diakui, diketahui, dan dirawat. Sekarang ini bergantung kepada pemerintah Aceh dan pusat untuk memastikan bahwa Qanun ini diimplementasikan pada kesempatan secepatnya dan bahwa komisi ini bekerja sesuai dengan standar-standar internasional. 

 Memberikan contoh
Parlemen Aceh telah memberikan contoh bahwa pihak-pihak lain di Indonesia harus mengambil catatan. Sebuah Undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi harus mengatasi agenda politik. Ratusan ribu orang masih menunggu kebenaran dan keadilan dari konflik-konflik masa lalu di Indonesia, seperti peristiwa 1965-1966, kerusuhan Mei 1998, serta konflik-konflik di Papua dan Timor Leste (dulunya Timor Timur).

Menyelesaikan kejahatan-kejahatan masa lalu ini tidak hanya akan berkontribusi pada penyembuhan luka terbuka dari penduduk sipil, tetapi juga akan bergerak maju menuju berakhirnya ketidakpercayaan umum masyarakat di seluruh negeri ini terhadap pemerintah dan pengadilan yang akan terus ada, selama impunitas penuh atas pelanggaran-pelanggaran HAM serius masih terjadi. 

Pada April dan Juni mendatang, rakyat Indonesia akan memilih anggota parlemen dan presiden yang baru - meski sementara kampanye telah berlangsung, upaya penyelesaian kejahatan-kejahatan masa lalu secara mengecewakan tidak hadir. Isu ini bukan sesuatu yang bisa ditutup-tutupi, tetapi justru yang harus diajukan ke depan dan diangkat ke panggung utama dalam perdebatan. Parlemen Aceh (DPRA) telah menunjukan bahwa mungkin inilah saatnya bagi pihak-pihak lain di Indonesia untuk mengikuti jejak serupa.

* Isabelle Arradon, Deputi Direktur Asia Pasifik Amnesty International. Artikel ini dikirim ke Redaksi Serambi Indonesia oleh Josef Roy Benedict, Campaigner Indonesia & Timor-Leste, Amnesty International Secretariat, 1 Easton Street, London WC1X 0DW, UK. Email: jbenedic@amnesty.org

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Adu Sakti

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved