Opini
Gunong Ujeun dan Tragedi Minamata
DISADARI atau tidak, kawasan Gunong Ujeun di Aceh Jaya --tempat ribuan orang melakukan penambangan emas
Oleh Mahfudh Harun
DISADARI atau tidak, kawasan Gunong Ujeun di Aceh Jaya --tempat ribuan orang melakukan penambangan emas dengan menggunakan merkuri setiap harinya-- kini sedang dibayang-bayangi tragedi Minamata. Merkuri telah digunakan baik oleh individu maupun perusahaan untuk menghancurkan ‘gunung emas’ yang menyilaukan mata. Namun, tragisnya gunung emas seperti Gunong Ujeun mengeluarkan toksik merkuri yang mengancam kehidupan. Lahan pertanian, sumber daya air, dan lingkungan hidup menjadi tercemar. Bahkan, korban manusia secara perlahan-lahan mulai berjatuhan (Serambi Indonesia, 18/2/2014).
Masih ingatkah kita bahwa Teluk Minamata di Jepang pernah tercemar oleh logam berat merkuri (Hg) yang terjadi sekitar 1953-1960. Pemerintahan Jepang melegalkan penggunaan merkuri saat itu di bidang industri tanpa adanya analisis dampak lingkungan yang akurat. Limbah industri tersebut yang mengadung merkuri dibuang ke Teluk Minamata. Apa yang terjadi?
Jepang dihebohkan oleh tragedi merkuri dan menjadi isu lingkungan yang besar dan mengerikan. Hal ini karena merkuri telah mencemarkan sumber daya laut. Hasil-hasil laut seperti ikan dikonsumsi oleh manusia yang menyebabkan terjadi kerucunan. Korban berjatuhan tak terhitung, mati dan ada yang cacat seumur hidup terkena penyakit yang kini lazim disebut sebagai penyakit Minamata atau sindrom Minamata. Dampaknya, perekonomian menjadi ambruk karena alokasi anggaran yang sangat besar untuk merehabilitasi dan menyembuhkan para korban.
Apakah kita hendak terpuruk lagi dalam tragedi yang serupa seperti keledai terperosok dalam lubang yang sama? Selain Jepang, wabah penyakit atau sindrom Minamata pernah pula terjangkit di beberapa negara lainnya, seperti Irak (1961), Pakistan barat (1963), Guatemala (1966), Nigata Jepang (1968), dan Indonesia juga pernah terjadi pada 2004 di Teluk Buyat Minahasa di Sulawesi, yang mengancam keragaman hayati (biodiversity).
Limbah merkuri
Pencemaran sungai, danau, dan laut biasanya karena limbah merkuri yang dibuang ke media tersebut. Akibatnya, ikan-ikan biota air lainnya seperti ganggang dan tanaman air terkontaminasi. Ikan-ikan kecil yang telah terkena toksik merkuri dimakan oleh ikan yang lebih besar dan pada gilirannya akan dikonsumsi oleh manusia dan terakumulasi dalam tubuh manusia. Perlu diingat bahwa tubuh kita (otak, ginjal, darah, hati) tidak dapat mengolah bentuk merkuri monometil, sehingga merkuri akan menetap lama dalam tubuh.
Inikah cara pemerintah mengangkat perekonomian rakyat dengan membiarkan rakyat bergelut hidup atau mati dengan merkuri? Menariknya, masyarakat awam saja demi mencari sesuap nasi untuk keluarga sudah “cerdas” menggunakan merkuri untuk mendapatkan emas. Mereka tidak peduli bahaya dan dampak lingkungan. Yang terpenting bagi masyarakat rupiah bisa mereka dapatkan.
Memang penggunaan merkuri di Aceh untuk mendapatkan emas baik oleh warga maupun perusahaan telah berlangsung lama. Penggunaan ini bukan hanya pada masa pemerintahan Zikir, namun jauh sebelumnya sudah dilakukan. Akan tetapi, penggunaan sekarang sudah sangat meningkat tajam. Peredarannya pun begitu mudah dilakukan secara ilegal. Bahkan, perusahaan juga tidak ada yang control dengan baik sehingga mereka bisa membuang limbah dengan kualitas dan kuantitas yang mengancam lingkungan.
Menurut kaca mata penulis bahwa ini sedikit atau banyaknya ada korelasi dengan sektor-sektor produktif yang menjadi sumber perekonomian bagi masyarakat. Minimnya sektor produktif yang menjadi andalan ekonomi rakyat awam, maka rakyat akan mengambil inisiatif sendiri-sendiri untuk mempertahankan kehidupan dengan tidak berpikir jauh pada risiko nyawa dan degradasi lingkungan hidup. Oleh karena itu, pemerintah dan stakeholders perlu mengevaluasi dan mengkaji kembali serta mengambil langkah yang tepat untuk menyelamatkan masyarakat dari bencana merkuri khususnya dengan menyediakan sarana dan prasarana perekonomian yang prospektif lainnya. Demikian juga kerusakan sumber daya lingkungan sesegera mungkin dapat dihindari. Intinya ekonomi masyarakat bangkit dan degradasi lingkungan dapat diminimalisir.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bercita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bumi, air, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, dikelola dengan sebaik-baiknya dan sejujurnya untuk kesejahteraan rakyat. Demikian juga UU Lingkungan Hidup perlu dilaksanakan dengan baik, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam secara benar demi keselamatan dan kesejahteraan hidup rakyat.
Dengan berpijak kepada itu, maka pemerintah dan stakeholders perlu mengambil langkah yang tepat dan tegas dalam management lingkungan dan pemanfaatan sumber daya untuk kepentingan rakyat. Jangan sampai terjadi kompetisi eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan masing-masing. Dengan kata lain, rakyat dibiarkan merangkak-rangkak sendiri untuk mempertahankan dirinya dan keluarganya dari derasnya arus kesulitan ekonomi.
Upaya konservatif
UU Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UU Lingkungan Hidup dan jauh sebelumnya adanya Deklarasi PBB di Stocholm pada 1972 tentang Pencemaran Lingkungan telah mengatur dengan baik untuk keberlanjutan kehidupan umat manusia dan lingkungan. Regulasi tersebut dimaksudkan agar perlu dilakukan upaya-upaya konservatif dalam pengelolaan eksploitasi sumber daya alam.
Maka dalam hal ini --khususnya Pemerintah Aceh-- perlu keseriusan dalam menciptakan program-program lingkungan yang berdampak positif baik terhadap lingkungan sendiri maupun kesejahteraan rakyat. Di samping itu, law enforcement mesti dijalankan dengan tegas dan environmental awareness bagi publik perlu edukasi yang kontinyu.
Kembali kita ke kasus merkuri. Masihkah pemerintah dan para stakeholder membiarkan atau duduk manis dan goyang kaki di tengah-tengah kondisi penggunaan, peredaran ilegal dan pencemaran merkuri berbahaya ini? Perlu respons cepat dan tepat. Ingat, jangan sampai anggaran kekayaan bangsa Aceh yang sebenarnya sudah mampu dinikmati oleh rakyat Aceh, justru lenyap tanpa pernah dirasakan oleh rakyat. Anggaran kekayaan tersebut tanpa bermakna sedikit pun lagi ketika tepaksa digunakan untuk melakukan rehabilitasi korban merkuri baik manusia maupun sumber daya lainnya. Mungkin saja kekayaan berubah menjadi kemiskinan jika kondisi-kondisi tersebut dibiarkan. Tentu, penulis yakin Pemerintahan Aceh di bawah kepemimpinan ‘Zikir’ sangat cerdas bagaimana mengelola kondisi yang sangat riskan yang sedang berlangsung di depan mata kita. Jangan biarkan tragedi Minamata terulang di Aceh!
* Mahfudh Harun, ST, MP, Staf Dinas Pertanian Aceh. Email: mahfudhmp@yahoo.com