Opini

Reposisi Ajaran Islam dalam Berpolitik

MENJELANG pemilihan umum (pemilu) legislatif 2014 ini, eskalasi konflik antara Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PA)

Editor: bakri

Oleh Teuku Zulkhairi

MENJELANG pemilihan umum (pemilu) legislatif 2014 ini, eskalasi konflik antara Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PA) nampaknya semakin tak terbendung lagi. Bahkan telah sampai pada tingkat penghilangan nyawa manusia seperti kasus penganiyaan yang menyebabkan meninggalkan seorang kader PNA di Aceh Utara (Serambi, 7/2/2014). Berikutnya juga intimidasi yang menimpa caleg Partai Nasdem juga di Aceh Utara (16/2/2014).

Padahal, penghilangan nyawa manusia adalah sesuatu yang diharamkan Allah Swt. Dengan realitas seperti ini, eksistensi partai politik yang jika meminjam istilah Anis Matta (2013) berperan sebagai “industri pemikiran”, tapi kini justru berperan sebagai “produsen kekerasan”. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka politik lokal di Aceh bukan saja akan gagal berperan dalam menawarkan ide-ide kebangkitan dan peradaban, namun justru akan terjebak dalam penghancuran sendi-sendi bangunan peradaban yang masih goyah.

Di satu sisi, konflik sesama manusia mungkin menjadi sesuatu yang sulit untuk dihindari. Buktinya, konflik terus saja terjadi, sejak dari kasus putra Nabi Adam hingga saat ini, di Aceh dan di berbagai belahan dunia lainnya. Kendati demikian, sebagai makhluk beradab dan memiliki nurani dan pikiran, lebih-lebih lagi sebagai Muslim yang terikat oleh dua kalimah syahadat yang sering kita ucapkan, meyakini dan mengimplementasikan ayat-ayat Alquran sebagai petunjuk bagi kehidupan (way of life), termasuk petunjuk dalam resolusi konflik adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

 Alquran dan hadis
Kembali kepada Alquran dan hadis akan menjadi pembuktian atas kejujuran dua kalimah syahadat yang sering kita ucapkan. Rasulullah mengatakan, “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan sesat selama-lamanya yaitu: Kitabullah (Alquran) dan sunnah NabiNya.” (Al-Muwatha, juz 2, hal. 999). Oleh sebab itu, konflik partai politik di Aceh, khususnya dalam rangka meraih kekuasaan sesungguhnya hanya bisa diselesaikan jika mereka kembali kepada Alquran dan hadis. Permusuhan sesama Islam, dengan alasan apa pun, tidak akan pernah memberikan kontribusi apa pun untuk kebangkitan Aceh.

Sementara itu, jika kita melihat PA dan PNA khususnya yang belum punya inisiatif sendiri untuk kembali kepada Alquran dalam menyelesaikan konflik di antara mereka, maka tugas kelompok ketiga untuk mengajak mereka agar sejenak merujuk kepada Alquran dengan men-tadabburi dan mengimplementasikan ayat-ayatNya. Jika salah satu kelompok atau kedua tidak bersedia, maka lihatlah ancaman Allah berikut ini: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad) sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115).

Dalam Alquran, terdapat ayat-ayat menyeru kita untuk mendamaikan dua kelompok yang sedang berkonflik. Firman Allah Swt: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 9-10).

Artinya, dua kelompok yang berkonflik tidak seharusnya dibiarkan dalam konflik di antara mereka. Ayat, “maka damaikanlah antara keduanya” ditujukan bagi kita semua. Oleh sebab itu, pemerintah dan elemen sipil di Aceh harus bangkit mendamaikan partai politik yang berkonflik di Aceh sebelum konflik berlarut-larut sehingga akan membawa Aceh kembali dalam lorong gelap konflik.

Maka, mendamaikan partai politik sekaligus mengarahkan mereka agar kembali ke jalan Islam adalah tugas pemerintah, ulama, akademisi, wartawan, mahasiswa, santri dan sebagainya. Semua harus bergerak. Kita sadar bahwa konflik mereka adalah konflik Aceh, konflik kita semuanya. Ikrar pemilu damai yang telah diselenggarakan beberapa waktu lalu, pun nampaknya belum mampu mendamaikan PA dan PNA sebagai pihak yang paling menguasai kalangan akar rumput di Aceh. Lebih dari itu, faktanya persoalan di Aceh sepertinya hanya meruncing pada PA-PNA.

 Pemikiran Abu Panton
Dalam merealisasikan resolusi konflik berbasis Islam, secara praktis pemikiran almarhum Abu Panton dalam bukunya Resolusi Konfik dalam Islam (2008), tampaknya bisa dijadikan sebagai buku pedoman langsung bagi PA dan PNA dan parpol lainnya. Untuk menghindari konflik, Abu Panton misalnya dalam menafsirkan Surat al-Hujurat ayat 13 agar kita saling mengenali keunikan dan kekhasan karakter setiap orang (atau sekolompok orang, pen) agar dapat menyikapinya secara tepat. Pengenalan seperti ini akan membawa seseorang untuk berlaku arif dalam menghadapi perbedaan-perbedaan di antara manusia (Halaman 5).

Lalu, lihat pula bagaimana Rasulullah melakukan sejumlah kebijakan dalam mencegah konflik seperti: Pertama, mempersatukan umat Islam dalam sebuah jalinan dan ikatan persaudaraan yang kuat, karena sesunngguhnya orang beriman itu adalah bersaudara (QS. al-Hujarat: 10); Kedua, mengangkat tokoh-tokoh yang akan mengawali proses penyelesaian masalah; Ketiga, membentuk jiwa pemaaf, dan; Keempat, mengajak orang yang bersengketa untuk kembali pada kebenaran yang diajarkan Alquran (hal. 20-21).

Ditegaskan juga oleh Abu Panton, bahwa dalam ajaran Islam terdapat larangan yang sangat tegas terhadap segala bentuk perilaku yang menyinggung perasaan orang lain, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Larangan dimaksud berlaku bagi semua orang, baik secara personal maupun kelompok (partai, pen). Dijelaskan juga, bahwa ada lima perkara yang mesti diperlihara dan dijaga, yaitu agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Apabila kelima hal pokok ini diganggu, maka disinilah biasanya konflik bermula (hal. 5).

Demikianlah tulisan ini untuk sekadar mengingatkan kita semuanya, sekaligus untuk menjadi pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt di akhirat kelak. Kiranya mendapat respons yang berarti dari para elite parpol yang sedang berseteru, khususnya PA dan PNA. Juga bagi pemerintah dan seluruh elemen sipil di Aceh. Diperlukan kesediaan mereka untuk ishlah dan diperlukan kerja-kerja masyarakat Aceh untuk mengishlahkan mereka. Karena biar bagaimanapun, konflik dua kelompok ini adalah konflik masyarakat Aceh dan Indonesia seluruhnya.

“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk karena prasangka butuk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi dan saling membenci. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim). Begitulah pesan Rasulullah saw kepada kita umat Islam saat beliau masih hidup. Wallahu musta’an.

* Teuku Zulkhairi, MA, Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara dan Wakil Sekjend Rabithah Thaliban Aceh (RTA). Saat ini bekerja di Kanwil Kemenag Aceh. Email: khairipanglima@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved