Opini

Demokrasi dan Kekerasan di Aceh

TERNYATA masih ada oknum kontestan caleg dari partai politik di Aceh masih menerapkan kekerasan sebagai alat meraih kekuasaan

Editor: bakri

Oleh Aryos Nivada   

TERNYATA masih ada oknum kontestan caleg dari partai politik di Aceh masih menerapkan kekerasan sebagai alat meraih kekuasaan. Sehingga marak terjadi tindakan kekerasan di setiap momentum pemilu (pemilukada dan legislatif). Cara kekerasan seharusnya sudah tidak zamannya lagi dalam era dan kondisi saat ini. Tapi tetap saja dilakukan oleh aktor politik di Aceh. Dibuktikan dengan data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, di mana pada 2013 lalu saja, misalnya, tidak kurang dari 19 kasus kekerasan bermuatan politis yang terjadi di Aceh.

Sementara itu, data Jaringan Survey Inisiatif yang menemukan 25 kasus dari 2012 hingga 2013 tentu membuat kita semakin nelangsa. Temuan itu terbagi menjadi pengemboman, penembakan, pemukulan, dan kekerasan fisik lainnya. Bahkan, baru-baru ini penembakan posko Partai Nasdem. Tentu tindakan kriminalitas politik ini harus tuntas diungkap.

Berangkat dari data di atas berarti masih lemahnya kualitas demokrasi. Mewujudkan kualitas harus memenuhi kriteria penghormatan terhadap hak personal orang lain, mengikuti aturan baku, memiliki sifat humanis, dan mendorong rakyat dalam berpartisipasi. Namun realitasnya kita mengalami kemunduran dalam berdemokrasi, bisa dilihat kurang lebih satu dekade kualitas demokrasi jauh dari harapan kita semua.

Ketika kekerasan politik menjadi strategi ampuh untuk memperoleh kekuasan, maka hal itu menjadi pembenaran terhadap pemikiran dari Niccolo Machiavelli dan John Stuart Mill yang mengatakan bahwa dalam meraih kekuasaan dihalalkan segala cara termasuk kekerasan, walaupun mengorbankan nyama sekali pun. Realitas ini juga sejalan dengan teori Deprivasi Relatif yang menyatakan perilaku agresif kelompok bisa dilakukan oleh kelompok kecil maupun besar yang berusaha mengambil dan atau mempertahankan kekuasaan.

 Aktor politik
Dalam amatan saya, trend peningkatan kriminalitas selalu bertambah ketika pelaksanaan momentum pesta pemilu, baik eksekutif maupun  legislatif. Hal ini menegaskan, kuat sekali indikasi pelaku kriminalitas tersebut adalah aktor politik (partai politik) yang berpartisipasi dalam pemilu. Kesimpulan itu berdasarkan pada penelusuran (tracking) media yang menunjukkan bahwa pelaku yang tertangkap polisi rata-rata berasal dari tim sukses partai politik tertentu.

Sangat relevan menganalisis temuan data di atas dengan tulisan saya sebelumnya, berjudul: Proyeksi Keamanan di Provinsi Aceh Jelang Pemilu 2014 (dipublikasi oleh LIPI pada 6/9/2013) pernah berkata, maraknya kekerasan pascakonflik sangat dipengaruhi oleh proses transisi dan kesiapan masyarakat sendiri dan partai politik.

Makna ketidaksiapan terletak pada karakter dan budaya personal orang yang bergabung dalam partai politik, di mana tidak siap berkompetisi secara beretika dan tunduk dengan aturan. Bukan malahan semakin menunjukan karakter militeristik dibandingkan berpedoman kepada nilai-nilai berdemokratis. Berpotensi besar menurunkan dukungan dari masyarakat Aceh jika kader partai politik tetap memproduksi budaya kekerasan dalam berpolitik di Pemilu 2014 ini.

Wajar saja kalau cita-cita dan harapan masyarakat Aceh maupun masyarakat Indonesia terhadap partai politik untuk perubahan dari segi pembangunan dan kesejahteran sirna (hilang). Tidak salah jika kepercayaan masyarakat mulai luntur dan menghilang kepada partai politik. Karena partai politik selalu memberikan taburan janji tanpa realisasi nyata. Bahkan semakin tidak rasional saja janji yang diberikan partai politik kepada masyarakat, khususnya masyarakat Aceh.

Misalnya dimulai dari Pilkada 2012, dimana satu kandidat gubernur/wakil gubernur Aceh berjanji memberikan 1 juta/kk, naik haji gratis, pengangkatan PNS honorer seluruh Aceh. Parahnya lagi, semakin tidak rasional hingga pemberian gaji bagi TNI/Polri sebanyak Rp 8 juta jika turut serta memenangkan Pemilu 2014. Bahkan janji-janji yang tidak pernah ditepati ini melahirkan fenomena fashion kaos bertuliskan 1 juta/kk di masyarakat. Fenomena itu semakin terlihat jelas sekali kualitas secara kapasitas dari aktor politik yang mengelola pemerintah. Tinggal tunggu saja kehancuran dari pemerintah Aceh, jika rakyat/masyarakat Aceh tidak memperhatikan aspek kapasitas orang yang dipilih nantinya.

 Konflik horizontal
Kembali lagi demokrasi kekerasan di Aceh bilamana selalu direproduksi oleh aktor politik, maka bisa dipastikan Aceh masuk kembali pada konflik horizontal. Ujung-ujungnya perdamaian yang sudah dirasakan saat ini hancur dan stabilitas keamanan terganggu, walhasil nilai-nilai demokrasi tidak berkembang serta ikut hancur juga. Yang berlaku hukum rimba siapa yang kuat dialah pemenangnya.

Terpenting harus dilakukan oleh caleg dan elite parpol di Aceh mengikuti rule of law (mematuhi aturan). Dimaksud di sini adalah caleg dan kader dari partai politik mematuhi aturan kampanye dan aturan hukum Indonesia yang dimandatkannya. Apabila tidak, berarti lemah kualitas kader atau caleg parpol tersebut. Misalnya kasus penyimpangan kampanye membawa unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).

Maraknya kasus kriminalitas bermuatan politis dan kasus penyimpangan kampanye bermuatan politis menjadi uji profesionalisme dari aparat penegak hukum yakni Polda Aceh. Di lain pihak menjadi tanggung jawab dari Bawaslu Aceh serta KIP Aceh untuk memberikan hukuman. Minimnya sosialisasi dari penyelenggara khususnya peraturan tentang kampanye turut memberikan andil dalam menciptakan konflik di akar rumput. Itu pun jika mereka berani dan sadar. Jika tidak, maka penilaian buruk dialamatkan untuk institusi tersebut, lebih jauh lagi akan mengatakan percuma keberadaan institusi tersebut dibentuk.

Terpenting bagi saya mengubah cara berpikir kekerasan terlebih dulu harus membentuk frame berpikir peace-building selanjutnya masuk ke peace-making. Cara berpikir itulah harus di jadikan fondasi kuat meminimalisir kekerasan yang selama ini terjadi di Aceh paksa konfik (perdamaian). Diharapkan nantinya sudah harus beranjak ke level peace-making dalam membangun pondasi demokrasi antikekerasan pada Pemilu 2014 ini di Aceh. Membangun peace-making harus dipersiapkan konsep pembangunan ekonomi. Itulah hakikinya demokrasi bisa memujudkan kesejahteraan rakyat. Mari kita tunjukkan Aceh memberikan contoh bagi nasional dan dunia bahwa demokrasi di Aceh sangat baik.

* Aryos Nivada, Penulis Buku Wajah Politik dan Keamanan Aceh. Email: aryos@acehinstitute.org

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved