Kupi Bengoh

'10k’, ‘Seribu’, dan Redenominasi yang Tak Kita Sadari

Tapi, sepertinya kita lupa bahwa masyarakat sudah lebih dulu praktik “penyederhanaan angka” dalam kehidupan sehari-hari. Lewat “10k”, “25k”, “1.2M”,

|
Editor: Nurul Hayati
SERAMBINEWS.COM/HO
Penulis Adalah Doktor Falsafah Bidang Development Planning & Management, Lulusan Universiti Sains Malaysia (USM), Penang, Malaysia. 

*Teuku Surya Darma

Pernah dengar orang bilang “kopi 10k” atau “gaji naik seribu”, padahal, bukankah '10k' maksudnya 10 ribu atau 1 ribu melainkan jutaan rupiah? Tren singkat-singkat harga seperti itu sudah jadi bagian kehidupan sehari-hari, dan saya melihat ini lebih dari sekadar “gaya ngobrol anak muda”. Ada sinyal kuat bahwa masyarakat sudah menjalani semacam redenominasi kecil-kecilan sendiri dan sekaligus menjadi kritik halus terhadap cara Bank Indonesia (BI) berpikir soal redenominasi resmi.

Bank Indonesia dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD RI pada hari Senin (17/11/2025) mengungkapkan bahwa redenominasi rupiah dengan mengubah Rp 1.000 menjadi Rp 1 misalnya, akan memakan waktu 5–6 tahun untuk dilaksanakan secara penuh. Menurut BI, diperlukan beberapa tahapan, seperti menyusun undang-undang (UU), membuat aturan transparansi harga, mendesain dan mencetak uang baru, kemudian menjalankan masa transisi di mana uang lama dan baru beredar bersama.

Tapi, sepertinya kita lupa bahwa masyarakat sudah lebih dulu praktik “penyederhanaan angka” dalam kehidupan sehari-hari. Lewat “10k”, “25k”, “1.2M”, hingga “seribu” untuk menyebut satu juta, yang artinya orang Indonesia saat ini sudah terbiasa membaca nilai tanpa ribuan nol yang panjang. Budaya digital, etalase kafe, dan obrolan pasar semuanya merefleksikan mental model bahwa nol bukanlah sesuatu yang harus selalu dituliskan atau diucapkan secara penuh.

Seakan tanpa disadari, publik telah berlatih cara berpikir layaknya redenominasi. Mereka paham bahwa meski digit “dipangkas” atau disembunyikan, namun nilainya tetap sama. Ini adalah kesiapan sosial dan kognitif yang sangat berharga, tetapi ironisnya dibiarkan sebagai tren bahasa semata, sementara BI menilai perlu waktu tahun demi tahun untuk menyelesaikan proses formulasi.

Pertanyaannya, kenapa BI membutuhkan waktu sampai enam tahun untuk menerapkan redenominasi, kalau publik sudah berjalan lebih dulu dengan praktik sederhananya? Bukankah ini seharusnya jadi modal kuat bagi bank sentral untuk mempercepat proses? Lagi pula, jika masyarakat sudah nyaman dengan “10k” atau “seribu” dalam konteks yang benar, masa transisi bisa lebih mulus.

BI sendiri menekankan pentingnya regulasi transparansi harga agar masyarakat tak bingung ketika versi lama dan baru uang beredar bersamaan. Tapi kita juga menyaksikan bahwa dalam praktik sehari-hari, pedagang dan konsumen sudah mengelola kerancuan format harga dengan santai ‘tanpa panik’, tanpa kebingungan besar. Sifat fleksibel budaya konsumen ini seakan menantang asumsi BI bahwa masyarakat perlu waktu panjang untuk adaptasi.

Meskipun kita menghargai kehati-hatian BI dalam menjaga stabilitas ekonomi, namun fokus yang berlebihan pada aspek teknis dan hukum bisa menutupi potensi leverage sosial yang nyata, karean senyatanya masyarakat sudah melakukan “redenominasi organik”. Jika BI memanfaatkan momentum ini, alih-alih mengurungkan niat karena khawatir risiko, mereka bisa melakukan pendekatan lebih agresif dalam edukasi dan perubahan sistem.

Redenominasi bukan hanya soal mencetak uang baru atau mengganti angka di struk, ini juga soal menyelaraskan kebijakan moneter dengan cara berpikir dan berkomunikasi masyarakat. Bila BI benar-benar serius, mereka bisa mempercepat proses, mengurangi beban sosial, dan menjadikan redenominasi bukan sekadar proyek teknis, tetapi transformasi budaya ekonomi.

Dalam sudut pandang yang demikian, boleh disimpulkan bahwa masyarakat sudah siap. “10k” dan “seribu” yang kita ucapkan setiap hari adalah bukti bahwa akar perubahan sudah tumbuh. BI tak perlu menunggu enam tahun penuh untuk mulai menanamkan sistem redenominasi yang sejalan dengan kebiasaan yang sudah ada. Pemerintah dan bank sentral sebaiknya membaca fenomena ini sebagai potensi, bukan risiko, dan menjadikannya fondasi nyata untuk mempercepat proses penyederhanaan rupiah yang lebih efisien dan modern.

*Penulis Adalah Doktor Falsafah Bidang Development Planning & Management, Lulusan Universiti Sains Malaysia (USM), Penang, Malaysia. 

email: teukusd@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved