KupiI beungoh
Undang Undang Pemerintahan Aceh Digoyang, Alam Aceh Pun Gelisah
Jika revisi ini keliru arah, maka yang paling dulu merasakan getirnya adalah ekosistem Aceh.
Oleh: Ir M Nasir, SHut, MSi *)
Di ruang-ruang rapat Senayan, draf revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) kembali menjadi perbincangan serius.
Beberapa pasal diusulkan berubah, sebagian ditambah, sementara publik Aceh mulai gelisah menjaga marwah MoU Helsinki agar tidak hilang arah.
Ruang senyap Aceh menjadi gaduh. Namun gaduhnya bukan sekadar bising politik.
Ada kegundahan yang jauh lebih halus namun nyata yaitu kegelisahan alam Aceh.
Dalam suasana seperti ini, Aceh membutuhkan bukan hanya suara politik, tetapi juga suara akal sehat suara yang lahir dari nurani sejarah dan kecintaan terhadap Bumi Serambi Mekah.
Bagi Aceh, UU ini bukan sekadar teks.
Ia adalah jejak panjang sebuah perjuangan, harga diri sebuah bangsa yang pernah menggetarkan dunia, dan kompas yang mengarahkan bangunan masa depan kita.
Baca juga: Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia, Apa Peran Dokter Hewan?
Namun hari ini, revisi UUPA membawa pesan ganda: peluang besar, tapi juga bayang-bayang risiko.
Di sinilah kita perlu jernih membaca arah.
Aceh, Kekhususan dan Hutan tak Tergantikan
Aceh dianugerahi kekayaan alam yang tak semua daerah miliki.
Mangrove kita membentang di pesisir, rawa gambut menyimpan jutaan ton karbon di pedalaman, gunung hutan menjadi rumah bagi ribuan spesies endemik.
Semua ini bukan sekadar “lahan”--tetapi penyangga kehidupan dan identitas ekologis Aceh.
Karena itu, setiap pasal yang disentuh dalam revisi UUPA--baik soal kewenangan, fiskal, migas, aset daerah, hingga aturan investasi--secara otomatis menyentuh soal lingkungan.
Tidak ada pembangunan tanpa dampak alam.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Ir-M-Nasir-kupas-revisi-UUPA.jpg)