Opini

Aceh dalam Lakon Wayang dan Sandiwara

ARTIKEL ini bukan bermaksud untuk menguraikan benang kusut kehidupan rakyat Aceh pada 2014 ini

Editor: bakri

Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad

ARTIKEL ini bukan bermaksud untuk menguraikan benang kusut kehidupan rakyat Aceh pada 2014 ini. Sebab karut-marut kehidupan rakyat Aceh sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah provinsi ini. Kajian ini hanya sebagai sikap kehati-hatian bagi rakyat Aceh di perkampungan, ketika menghadapi balapan politik pada awal tahun ini. Di sini peserta balapan politik tidak akan melakukan proses seperti layaknya perlombaan lari atau sepeda motor, di mana peserta akan berlari pada jalur yang telah ditentukan.

Balapan politik di Aceh boleh jadi memakai jalur seperti padang pasir. Peserta balapan hanya dimonitor melalui GPS (Gerak Politik saling Sikat). Karena itu, kompas GPS ini akan tidak menghitung jumlah korban, baik harta maupun individu, dimana pada tahap finish, pemenangnya tidak akan pernah melihat ke belakang, atas apa yang pernah dilakukan ketika melakukan balapan politik.

Secara bahasa, skenario adalah lakon. Adapun aktor diistilahkan pelakon. Dalam seni sandiwara rakyat Aceh era 1980-an dan 1990-an, pelakon biasanya menginap di bawah panggung sandiwara. Dia mulai bermain lakon pada malam hari. Lakon dan pelakon hanya mengikuti arahan dari sang sutradara. Rakyat berdatangan ke panggung sandiwara pada malam hari, terkadang hanya untuk melihat tokoh lakon mereka. Lakon sandiwara rakyat Aceh memang mirip dengan lakon teater, opera atau telenovela di Barat.

Karena pelakon dan lakon yang dimainkan hanya untuk satu atau dua kecamatan, maka hampir semua pemain dikenali oleh rakyat, bukan orang yang tidak dikenali. Namun, mereka hanya mengingat nama lakon di atas panggung, ketimbang nama asli. Begitulah tamsilan sandiwara dalam seni budaya rakyat Aceh. Pertanyaannya adalah apakah balapan politik di Aceh dapat dikategorikan sebagai lakon sandiwara atau lakon perwayangan?

 Pemantik lakon
Di pulau Jawa, pola permainan seperti ini dikenal dengan istilah wayang. Adapun lakon yang dimainkan mengulang dari kitab-kitab perwayangan Jawa yang dipengaruhi oleh spirit Kejawen. Karena itu, melongok lakon wayang di Indonesia, harus mengajak kita memahami bagaimana karya-karya kebudayaan dalam masyarakat Jawa yang terkadang digunakan sebagai pemantik lakon atau skenario bangsa Indonesia. Intinya ramalan demi ramalan dari pujangga adalah harus disesuaikan dengan garis takdir sejarah bangsa Indonesia.

Untuk memahami lakon di Aceh 2014, harus dipadupadankan teori wayang dan sandiwara orang Aceh. Dalam teori wayang, semua aktor berjalan sesuai dengan peran atau nasib yang melingkup garis takdir. Dalam sandiwara, semua pelakon harus pintar bermain drama, bukan dikarenakan garis takdir atau nasib. Karena Aceh merupakan objek dari pada teori perwayangan, maka lakon (skenario) yang dijalankan ada berada di dua mata koin.

Pelakon sandiwara harus menentukan garis nasib sesuai dengan pola dalam wayang. Saat itu, dalang hanya mengambil pelakon sesuai dengan episode dan cerita wayang yang ditampilkan. Adapun di Aceh drama politik dimainkan dua kali saduran dari wayang ke sandiwara. Sementara drama politik di Jawa yang hanya memakai satu kali saduran politik menurut cerita perwayangan dengan falsafah bawang.

Tidak mengejutkan jika di Aceh akan terjadi tumpang tindih peran yang berujung pada benturan individu. Semua individu menjadi pelakon sesuai dengan arahan cerita yang dimainkan. Jika pelakon tersebut keluar dari jalur, maka balapan politik akan berujung pada kisruh atau huru hara sebagaimana diharapkan oleh dalang dalam perwayangan.

Kekisruhan tersebut akan menyebabkan para dalang kembali pada aturan pertama bahwa setiap manusia hanya menjalankan garis nasib atau takdir. Darah dan nyawa adalah tidak perlu dipertimbangkan sama sekali. Bagi mereka yang tidak memiliki garis nasib baik (sial), akan terkeluarkan dengan sendiri dari jalur balapan politik model perwayangan ini.

Pola kekisruhan yang terjadi di Aceh agaknya menggunakan falsafah BBM (bakar, binasa, dan mampus). Bakar akan dijadikan sebagai abu. Binasa dijadikan celaka atau mati. Mampus berarti harus dilenyapkan. Abu, mati, dan lenyap adalah untuk mengamini garis nasib orang Aceh, supaya tahu bahwa kekuatan dan kekuasaan tidak ada dalam falsafah sandiwara, melainkan hanya dalam falsafah perwayangan. Jadi, apapun sandiwara politik orang Aceh, kendalinya ada pada sang dalang.

Dalam tradisi perwayangan, pengaruh gaib pada diri dalang merasuki wayang yang diperankannya. Dalam tradisi sandiwara atau drama orang Aceh hanya ada dua yaitu: ketawa dan sedih. Karena itu, jarang dijumpai sandiwara orang Aceh ditampilkan kisah orang yang sedang menuju kematian. Karena mati tidak boleh disandiwarakan di Aceh. Sebaliknya, dalam teori perwayangan, huru-hara atau gara-gara dan kematian, harus dijalani sebagai takdir untuk hidup kembali atau moksa. Lantaran falsafah wayang yang digunakan, di Aceh, mati dan darah seolah-olah hal yang biasa.

Skenario 2014 di Aceh telah digunakan pola BBM (bakar, binasa, dan mampus). Hanya saja rakyat Aceh harus kuat menghadapi kemampuan dalang atau sutradara yang menggunakan BBM (bahan bakar manusia). Pemilik Alam sangat boleh jadi juga akan mengerahkan kekuatan BBM (bencana, banjir, dan malapetaka) di Indonesia. Jadi, ada tiga skenario yang terjadi di Aceh, sesuai dengan kondisi alam dan perilaku manusia, baik dalang maupun pelakon itu sendiri. Rakyat Aceh sudah pernah menghadapi ketiga model BBM tersebut.

Karena itu, apa pun skenario yang dijalankan di Aceh tidak perlu dilawan atau ditentang. Tentu saja semua BBM di atas sangat tergantung pada perilaku manusia yang sedang menjalani balapan politik di Aceh. Jika balapan politik terlalu diarahkan untuk menjadi abu, binasa, dan lenyap, maka BBM dari Pemilik Alam akan terjadi tidak hanya di Aceh, tetapi juga di luar Aceh. Tentu saja kita bukan sedang mengingatkan pelakon menghentikan wayang di Aceh, melainkan ingin mengatakan bahwa apa pun lakon yang dijalankan di Aceh akan sangat berdampak pada bangsa Indonesia secara keseluruhan.

 Skenario 2014
Karena itu, untuk menghadapi energi skenario 2014 di Aceh, pola yang harus dilakukan oleh rakyat Aceh adalah membiarkan hembusan energi konflik berdarah dan bakar-bakaran pada semua titik di Aceh. Dalang agaknya memiliki memiliki kekuatan spiritual untuk mengendalikan BBM-nya sendiri, begitu juga dengan para wayang. Dimensi spiritual, baik positif dan negatif, akan berhembus ke Aceh sampai akhir 2014. Pelakon sandiwara politik Aceh pun akan memainkan peran mereka, seperti layaknya acara sandiwara.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved