Opini

Aceh Membunuh Mitos

SATU slogan primordial orang Aceh yang sejak dulu kerap terdengar adalah bangsa paleng jroh ateuh rueng donya

Editor: bakri

Oleh Tungang Iskandar

SATU slogan primordial orang Aceh yang sejak dulu kerap terdengar adalah bangsa paleng jroh ateuh rueng donya (bangsa paling baik di atas permukaan bumi). Sepintas, slogan ini menjadi penanda atau isyarat terhadap adanya kekhawatiran dan rasa tidak percaya diri pada masyarakat Aceh, baik secara fisik maupun mental.

Selain itu, adanya slogan tersebut dapat juga dilihat sebagai satu usaha membangkitkan semangat dan membangun rasa percaya diri yang kuat pada orang Aceh, dan terhadap kerajaan Aceh itu sendiri. Mitos Aceh paleng jroh juga menyimpan muatan ideologis yang pastinya juga dibarengi oleh nafsu kekuasaan.

Mengenai mitos, hampir setiap negara menciptakan slogan mitosnya untuk mempertahankan dan mengangkat bangsanya pada taraf yang diinginkan, seperti Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan”. Amerika sebagai negara yang percaya pada Tuhan dan salah satu negara yang muncul dari sekian banyak negara (In God we trust/Out of many, one). Demikian pula slogan Korea Utara sebagai “Negara makmur dan besar”, dan orang Israel pun mengatakan bahwa mereka adalah “kaum yang dijanjikan” di atas muka bumi.

Walaupun merujuk pada konsep historis, sebuah mitos sangatlah dipengaruhi oleh realitas. Begitu pula sebaliknya, keduanya akan saling mengintimidasi satu sama lain apabila tidak sejalan. Sebab, mitos bukanlah imajinasi atau ide yang bisa bertahan dengan sendirinya dalam zaman yang terus berubah. Ia butuh implementasi dan realitas dari orang-orang yang ada di dalamnya, untuk mendukung mitos tersebut agar tetap survive.

 Mitos positif
Aceh dengan berbagai mitos positif, seyogyanya bisa berkaca pada Negara lainnya di muka bumi, tentang bagaimana mereka menjaga mitos primordial dengan tetap mempercayainya sebagai cita-cita dan berusaha mewujudkannya dalam realitas masa kini, sehingga mereka bisa menjadi negara maju.

Tidak kalah dengan bangsa lain, Aceh juga memiliki slogan-slogan yang berhubungan dengan mitos. Seperti halnya Yahudi yang mempercayai dirinya sebagai kaum yang dijanjikan, orang Aceh juga mempercayai bahwa dirinya sebagai bangsa teuleubeh dan paleng jroh ateuh rueng donya, yang berarti bahwa orang Aceh itu sangat baik dan memiliki kelebihan di atas rata-rata di muka bumi.

Bangsa paleng jroh dan bangsa teuleubeh, tentunya bukanlah sekadar slogan semata. Ia menyimpan kenyataan historis, tentang Aceh yang pernah sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di muka bumi, seperti yang sering kita dengar dan kerap kita baca dalam lembaran sejarah.

Dewasa ini, mitos tersebut sepertinya benar-benar sedang diintimidasi oleh perilaku yang berlawanan dengannya. Perilaku sebagai realisasi dari cita-cita dalam mitos positif seakan hanya perlu dilawan untuk ditenggelamkan, bukan dipertahankan untuk menjadi kenyataan kembali.

Maka kita menyaksikan pembunuhan sesama saudara yang bahkan orang Yahudi pun tidak melakukannya, menyaksikan perilaku hedonisme yang bahkan orang Kaphe pun jijik melihatnya, dan menghamba semata pada kapitalisme yang bahkan orang-orang di Negara kapitalis sekalipun telah putus asa dan merasa ketinggalan karenanya.

Kata Aceh yang begitu akrabnya dengan kata Islam baik sebagai realitas masa lalu maupun pembentukan opini publik telah menempatkan bahasa dalam posisi sakral hingga sekarang, sehingga mau tidak mau Aceh telah menjadi Islam secara mitos.

Sebagai contoh, bolehlah kita saksikan reaksi orang Aceh ketika mendapati nama Aceh pada alas sandal, dan ketika orang Aceh dengan gampangnya mengklaim bahwa tindakan asusila dan berbagai keburukan yang terdapat di Aceh bukanlah dilakukan orang Aceh, melainkan para pendatang.

Sungguh hal tersebut ingin mengakui bahwa Aceh telah gagal mempertahankan mitosnya sebagai bangsa yang jroh dan leubeh, sehingga hanya menolak kenyataan buruk atasnya.

Populernya julukan Aceh sebagai Serambi Mekkah juga telah memperkuat mitos tentang Aceh yang islami, sehingga posisi Aceh telah menjadi beban bagi dirinya sendiri, apabila tidak dibarengi oleh bentuk-bentuk atau sikap untuknya.

Mengenai bersemangatnya orang luar Aceh ketika membicarakan masalah moral orang Aceh, yang tidak sesuai dengan mitos yang dibangunnya, merupakan bentuk kekecewaan terhadap mitos tanpa aksi maksimal itu sendiri.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved