Opini
Spirit Hijrah
SEBELUM hijrah --dari Mekkah ke madinah-- kondisi kaum muslimin sangat lemah dan teraniaya, namun keyakinan mereka
Oleh Agustin Hanafi
SEBELUM hijrah --dari Mekkah ke madinah-- kondisi kaum muslimin sangat lemah dan teraniaya, namun keyakinan mereka akan datangnya kemenangan tidak pernah sirna. Mereka berjuang dan berkorban dengan meninggalkan keluarga, kerabat, harta benda, kerena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah, sebagaimana ayat alquran yang kita kutip di atas, Allah Swt memuji kaum Muhajirin (orang-orang yang ikut berhijrah) serta menabalkan mereka dengan sifat-sifat yang terpuji dan istimewa.
Hijrah Rasulullah saw dari Mekkah ke Madinah itu, telah berlalu lebih dari 14 abad lamanya, namun banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Di antaranya, semangat pengorbanan dan sikap optimisme sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah sendiri. Ketika Rasul saw menyampaikan kepada Abu Bakar ra mengenai perintah untuk berhijrah, seketika itu juga Abu Bakar membeli dua ekor unta dan meminta Rasul saw untuk memilih yang dikehendakinya sebagai hadiah. Namun, Nabi saw menolak, dan pada akhirnya Abu Bakar setuju menjualnya kepada Nabi saw. Rasulullah ingin mengajarkan bahwa untuk mengabdi kepada Allah, jangan mengabaikan sedikit kemampuan pun, selama kita masih memiliki kemampuan itu. Tetapi harus mengerahkan segala daya yang dimiliki, tenaga, pikiran dan materi, bahkan dengan jiwa dan raga sekalipun.
Maka wajar Khalifah Umar ra ketika itu tidak memilih tahun kelahiran Nabi atau kemenangan umat dalam peperangan bagi penanggalan Islam sebagaimana usulan sahabat ketika itu. Karena kelahiran Nabi Muhammad saw dari segi hari dan peristiwanya adalah biasa-biasa saja. Beliau bukan sebagaimana Isa as yang lahir tanpa ayah. Sedangkan hari-hari kemenangan hanya bersifat sementara, sedangkan masyarakat bisa terbius dengan kesuksesan dan euforia masa lalu yang dapat melahirkan kebekuan dan kemandekan.
Penanggalan Islam
Dengan penetapan peristiwa hijrah sebagai penanggalan Islam diharapkan seorang muslim dapat menjiwai makna sebuah perjuangan dan optimisme ketika membuka lembaran baru untuk menyongsong hari esok. Ini terkadang kita begitu mudah putus asa dan menyerah dengan keadaan. Ketika Allah sedikit menguji kita dengan anggota tubuh yang tidak sempurna, begitu mudahnya mengambil jalan pintas dengan cara mengemis, padahal perbuatan ini sangat dicela oleh agama.
Kita juga sering mengingat Allah ketika hanya dalam kondisi sulit dan susah, tetapi begitu lepas dari kesulitan kembali tidak peduli dan lupa kepada Allah. Bahkan terkadang kurang begitu menghayati makna sebuah pengorbanan, misalnya sedikit hujan gerimis, lalu tidak begitu peduli dengan panggilan azan di masjid dan meunasah. Berbeda dengan urusan duniawi, meskipun dalam kondisi banjir, kurang fit sekalipun namun tetap saja berhasrat untuk memperolehnya.
Dalam peristiwa hijrah, ada subuah hadis Nabi saw yang cukup populer yaitu: “Setiap pekerjaan harus atau pasti disertai oleh niat. Maka barang siapa hijrahnya didorong oleh niat karena Allah, hijrahnya akan dinilai demikian. Dan barang siapa berhijrah didorong oleh keinginan mendapat keuntungan duniawi atau karena ingin mengawini seorang wanita, maka hijrahnya dinilai sesuai dengan tujuan tersebut.”
Dengan demikian, segala sesuatu tergantung niat seseorang apakah ingin menggapai ridha Allah atau ingin menuruti hawa nafsu semata. Maka ketika mencalonkan diri untuk menduduki sebuah jabatan, perlu bertanya dalam hati: “Tuluskah niat kita untuk memperbaiki kondisi umat atau hanya ingin memperkaya diri, dan menikmati fasilitas mewah sehingga menghalalkan segala cara tanpa peduli halal dan haram?”
Begitu juga setelah resmi menyandang status mahasiswa; Apakah menyadari betul bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban sehingga serius dalam belajar dengan sering-sering hadir di toko buku, pustaka, menghargai waktu, disiplin, mengedepankan sopan santun baik kepada guru dan sesama teman?
Memiliki budi pekerti yang luhur, tidak mengunjungi apalagi membawa yang bukan muhrimnya karena menyadari bahwa itu adalah perbuatan tercela dan dilarang dalam agama, kemudian tidak akan menyia-nyiakan harapan orang tua, sembari mendoakannya agar diberikan kesehatan dan kelapangan. Atau niatnya hanya ingin mendapatkan ijazah, gelar, mudah mendapatkan pekerjaan sehingga tidak jujur dalam akademik seperti memalsukan tanda tangan, nilai ujian, melakukan plagiat, dan lain-lain.
Mungkin saat ini hijrah tidak lagi dipahami secara fisik, tetapi bagaimana dengan spirit hijrah setiap individu muslim berusaha meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, dengan berusaha menjadikan hari ini lebih baik dari kemarin, dan besok lebih baik dari hari ini. Karena maksud hijrah itu ialah berpindahnya seseorang dari sesuatu yang baik kepada yang lebih baik, dan meninggalkan sesuatu yang membawa maksiat bagi dirinya.
Oleh karena itu, ketika kita menjadikan “guru” sebagai profesi, hendaknya mentransfer ilmu dengan penuh ikhlas, ramah dan penuh senyum. Tidak membusungkan dada karena sederet gelar akademik yang disandang. Begitu juga ketika bertugas di kantor, harus saling bertegur-sapa, dan mengucapkan salam, menebarkan senyuman, bukan menyebarkan fitnah dan berburuk sangka, sehingga susah melihat orang senang dan senang melihat orang lain susah. Kemudian memberikan pelayanan dengan baik dan ramah kepada siapa saja tanpa membedakan derajat seseorang.
Cermat dan teliti
Begitu juga ketika menjadi seorang pedagang, tidak hanya memikirkan untung rugi, tetapi ingat akan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu shalat lima waktu, berzakat, jujur, tidak mengurangi timbangan. Saat bertindak sebagai kasir, misalnya, harus cermat dan teliti. Bukan asal hitung yang merugikan orang lain, sehingga keberkahan yang diharapkan menjadi sirna karena telah memakan hak orang lain secara batil.
Begitu juga ketika memutuskan untuk menikahi seseorang, apakah niatnya betul-betul karena ingin melaksanakan perintah agama atau hanya sekedar melampiaskan nafsu biologis, tertarik karena bekal agama yang dimiliki sang calon atau karena ingin menguasai harta benda dan kecantikannya sehingga ikatan pernikahan mudah rapuh dan berakhir dengan perceraian. Kemudian dengan semangat hijrah, marilah kita berkorban dalam rumah tangga untuk mewujudkan keluarga sakinah, membahagiakan pasangan, selalu tersenyum dan saling memuji kelebihan masing-masing.
Jadilah seorang suami pengayom terhadap istri dan anak-anaknya, memikirkan nafkah istri dan anak, bukan menghabiskan waktu dengan sia-sia dengan duduk-duduk di warung dan di kafe dengan mengharap hujan turun dari langit tanpa mau berusaha. Begitu juga halnya dengan istri, tidak menuntut di luar kemampuan suami. Menyadari betul bahwa yang dihiasi itu bukan hanya jasmani, tetapi yang paling urgen adalah perhiasan rohani, yaitu menanamkan keimanan dan menghiasi kepala dengan ilmu pengetahuan.