Breaking News

Opini

‘Benalu’ dalam Sistem Kesehatan Nasional

KITA baru saja memperingati dan merayakan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-50, pada 12 November 2014. Adapun filosofi setengah abad HKN ini

Editor: hasyim

Oleh Tita Menawati Liansyah

KITA baru saja memperingati dan merayakan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-50, pada 12 November 2014. Adapun filosofi setengah abad HKN ini merupakan penegasan bahwasanya upaya mewujudkan bangsa Indonesia yang sehat sejahtera merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat. Pada saat ini, kita berada pada tahap di mana akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas mulai berkembang dan meningkat, terutama sejak diberlakukannya sistem kesehatan nasional yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai 1 Januari 2014 lalu.

Hal tersebut tentu membawa angin segar bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Aceh. Bagi kita di Aceh, adanya BPJS yang merupakan implementasi dari universal health coverage ini sudah tidak asing lagi. Sebab, sebelum sistem ini diberlakukan, sejak 1 Juni 2010 kita sudah merasakan manfaat JKRA (Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh). Bahkan, pada awal pelaksanaannya yang waktu itu bernama JKA (Jaminan Kesehatan Aceh), dimana alokasi dana kesehatan dari pemerintah Aceh masih sangat melimpah, peserta JKRA berhak mendapatkan obat-obatan paten dari produsen obat ternama. Beda dengan peserta Askes PNS maupun TNI/Polri yang kala itu hanya mendapatkan obat generik.

Bukan hanya itu saja, untuk kasus-kasus tertentu, penyakit yang tidak dapat ditangani oleh dokter di Aceh, dapat dilakukan perujukan bahkan ke luar negeri dengan biaya yang ditanggung oleh pemerintah Aceh. Diawali masa-masa inilah terjadi ledakan rujukan dari RSU kabupaten/kota di Aceh ke Rumah Sakit Zainoel Abidin (RSUZA) di Banda Aceh. Sehingga membuat para tenaga kesehatannya kewalahan dengan animo masyarakat yang luar biasa untuk memeriksakan diri ke pusat layanan kesehatan.

Sejak saat itu, istilah yang lazim berkumandang di masyarakat bahwa “orang miskin dilarang sakit” pupus sudah. Selama ini, jaminan kesehatan di Aceh semuanya di-cover oleh dana pemerintah pusat dan daerah. Sementara bagi masyarakat yang tidak mampu oleh Jamkesmas, kemudian di luar itu dana APBA diperuntukkan bagi program JKRA.

 Jaminan kesehatan
Berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), disebutkan bahwa pemerintah Aceh memiliki kewajiban memberikan jaminan kesehatan kepada rakyatnya. Senyawa dengan itu, UU BPJS juga menentukan bahwa BPJS Kesehatan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Adapun di era sistem BPJS ini, di mana terjadi peleburan antara peserta Askes PNS dan Pensiunan PNS, TNI/Polri, Pegawai Swasta/BUMD/BUMN, Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN), Jamkesmas dan JKRA, maka tidak ada rasa takut lagi bagi masyarakat untuk memeriksakan kesehatannya, karena tentu saja seluruh beban pembiayaannya akan ditanggung oleh pemerintah. Namun itu bukan berarti masyarakat kemudian menjadi tidak peduli dengan upaya menjaga kesehatannya, karena mereka cenderung berharap bahwa pemerintah pasti akan menalangi semua biaya pengobatannya.

Jika dulu, sebelum sistem universal health coverage diberlakukan, masyarakat kita menjadi lebih mawas diri dalam menjaga gaya hidupnya agar jangan sampai jatuh sakit, karena mereka sadar bahwa jika mereka sampai jatuh sakit maka biaya yang harus dikeluarkannya tidaklah sedikit. Dan apabila mereka menderita sakit yang ringan, yang seumpama dapat sembuh sendiri dengan meningkatnya daya tahan tubuh, maka ia tidak akan cepat-cepat berobat ke pusat layanan kesehatan primer ataupun meminta dirujuk kepada sistem pelayanan kesehatan sekunder meskipun sebenarnya penyakitnya tersebut masih dapat ditangani oleh tenaga kesehatan di pusat layanan primer.

Pada akhirnya memang akan selalu ada sisi positif dan negatif dari setiap kebijakan yang diberlakukan, terutama dengan adanya sistem kesehatan yang menjamin semua lapisan masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintah. Jika peran promotif dan preventif yang diamanatkan kepada dokter keluarga sebagai ujung tombak dalam pelayanan ini tidak berjalan dengan maksimal, ditambah lagi dengan mentalitas sebagian masyarakat kita yang cenderung mengabaikan prinsip hidup sehat karena merasa bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab atas kesehatannya, maka tidak mustahil jika suatu saat nanti beban anggaran negara hanya akan habis untuk menangani masalah kesehatan saja, sementara aspek-aspek lainnya di luar masalah kesehatan akan terbengkalai.

Kini perlu kiranya masyarakat disadarkan dari mimpi indahnya. Bahwa yang bertanggung jawab akan kesehatanya bukanlah pemerintah saja, melainkan juga dirinya sendiri. Sebagai contoh kecil yaitu berdasarkan survei terbaru yang dilakukan oleh GATS, Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok aktif terbanyak di dunia, dan Provinsi Aceh merupakan daerah dengan jumlah perokok aktif terbanyak se Indonesia.

 Berisiko tinggi
Begitu banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk menekan jumlah perokok di Indonesia melalui iklan bahaya merokok di media massa (media cetak maupun elektronik). Melalui penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan di tingkat sekolah maupun di masyarakat umum, penyebaran leaflet dan poster, serta peringatan di depan bungkus rokok, maka mestinya perokok menyadari bahwa kebiasaan buruknya ini berisiko tinggi terhadap kesakitan, kecacatan dan kematian. Bahaya tersebut bukan hanya bagi dirinya sendiri sebagai perokok aktif, namun juga berimplikasi bagi kesehatan orang-orang yang berada di sekitarnya (sebagai perokok pasif).

Selain menimbulkan dampak bagi kesehatan, merokok juga berdampak pada perekonomian keluarga terutama bagi mereka yang berpendapatan menengah ke bawah. Hal-hal seperti ini harusnya menjadi PR bagi pemerintah. Para perokok ini cepat atau lambat akan menderita penyakit-penyakit degeneratif dan kronik, yang tentunya dengan sistem kesehatan BPJS ini akan menjadi beban tersendiri bagi pemerintah. Karena biaya untuk pelayanan kesehatannya di kemudian hari akan ditanggung oleh pemerintah.

Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah menjamin kesehatan masyarakatnya, namun apakah ini merupakan sesuatu yang logis tatkala mereka sudah sadar bahwa merokok dapat berakibat buruk bagi kesehatannya maupun orang lain namun mereka tetap tidak meninggalkan kebiasaan buruknya itu bahkan selanjutnya beban biaya pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan pemerintah guna mengobati para perokok di masa depan.

Mungkin suatu hari nanti, patut difikirkan oleh pemerintah dalam membuat gebrakan baru untuk mengeksklusi jaminan kesehatan para perokok aktif dari beban belanja negara dan mengalokasikan dana tersebut kepada bidang lain yang lebih bermanfaat seperti pendidikan, sebagai upaya syok terapi agar jumlah perokok aktif tidak bertambah lagi.

Untuk mewujudkan sistem pelayanan kesehatan yang bermutu harus ada kerjasama yang harmonis antara pemerintah, SDM kesehatan (termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya), farmasi dan alat kedokteran serta masyarakat sebagai pengguna jasa medis. Tanpa adanya kesinergisan antara keempat hal tersebut maka akan terjadi ketimpangan dalam pelayanan kesehatan kita.

dr. Tita Menawati Liansyah, M.Kes., Konsultan Kedokteran Keluarga dan Staf Pengajar, Bagian Family Medicine Fakultas Kedokteran,
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Email: titamenawati@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Adu Sakti

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved