Breaking News

Opini

Anomali Hukum ‘Nomenklatur Aceh’

ADA pesan menggembirakan mengetahui pertemuan konsultasi pemerintahan Aceh dengan pemerintah pusat, berkaitan

Editor: bakri

Oleh Amrizal J. Prang

ADA pesan menggembirakan mengetahui pertemuan konsultasi pemerintahan Aceh dengan pemerintah pusat, berkaitan pembahasan peraturan pelaksana UUPA, di mana bisa saling menerima dan “melunak”. Sebagaimana disampaikan Wakil Ketua Sementara, Sulaiman Abda dan Anggota DPRA, Abdullah Saleh. Salah satunya, penyusunan Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) Pertanahan. Pemerintah pusat menyetujui ditetapkan menjadi perpres dan akan melimpahkan kewenangan kepada pemerintah Aceh (Serambi, 26/11/2014). Apalagi, Menteri Koordinator Perekonomian, Sofyan Djalil menegaskan regulasi turunan UUPA akan selesai sekaligus menjadi kado akhir tahun. Bahkan ia menjamin tidak akan mengecewakan masyarakat Aceh (Serambi, 2/12/2014).

Semoga apa yang disampaikan tersebut bukanlah lips service, mengingat sudah banyak pejabat pusat mengumbar janji manis, yang seharusnya dua tahun pascalahirnya UUPA sudah tuntas, malah sebaliknya. Memang, dari sembilan RPP dan tiga Ranperpres sebagian sudah menjadi PP dan Perpres. Namun, ada empat RPP dan Ranperpres yang belum ditetapkan, antara lain: 1) RPP pengelolaan bersama minyak dan gas (migas) di Aceh (Pasal 160); 2) RPP nama dan gelar Aceh, (Pasal 251); 3) RPP kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, (Pasal 270); dan, 4) Ranperpres Kantor Wilayah BPN di Aceh dan Kantor Pertanahan kabupaten/kota menjadi perangkat Aceh dan kabupaten/kota (Pasal 253).

 Seperti terlupakan
Keberadaan RPP Migas dan kewenangan, serta Ranpepres BPN yang belum ditetapkan telah menjadi sorotan dan kritikan di kalangan pemerintahan dan masyarakat Aceh. Namun, sampai sekarang terkesan seperti terlupakan adalah RPP tentang Nama dan Gelar Pejabat Pemerintahan Aceh, malah tidak pernah disinggung. Padahal, menurut Pasal 251 UUPA, “Nama Provinsi Aceh dan gelar pejabatnya” juga ditetapkan dengan PP. Di mana dalam pasal tersebut juga disebutkan “Nanggroe Aceh Darussalam” menjadi nama provinsi sampai Pemilu 2009. Secara yuridis formal, walaupun Pemilu 2009 telah dilewati tetapi sebelum ada PP, nomenklatur “Nanggroe Aceh Darussalam” masih menjadi nama “Provinsi Aceh”.

Ironisnya, RPP tersebut terkesan diabaikan oleh pemerintah pusat dan pemerintahan Aceh. Bahkan, usulan dari DPRA dan Gubernur sebagaimana delegasi UUPA nyaris tidak diketahui oleh masyarakat Aceh. Padahal, menurut saya RRP ini sangat urgen dan krusial terhadap eksistensi Aceh. Sehingga, adanya kepastian hukum terhadap nama Aceh. Apakah akan menggunakan nomenklatur “Aceh” atau “Nanggroe Aceh Darussalam?” Anehnya lagi, dalam implementasi administrasi pemerintahan selama ini, baik pemerintah pusat dan pemerintahan Aceh dalam pembentukan regulasi (regeling) atau keputusan (beschikkings) terbaru berkaitan Aceh, menggunakan dualisme nomenklatur nama Aceh.

Pemerintah Aceh penyebutan “Provinsi Aceh” menggunakan nomenklatur “Aceh”. Sedangkan, Pemerintah Pusat sebagian menggunakan “Nanggroe Aceh Darussalam” dan juga “Aceh”. Misalnya, dalam PP dan Perpres turunan UUPA dan UU lainnya menggunakan nomenklatur “Aceh”. Sementara, dalam Pasal 6 ayat (3) PP No.19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah, nomenklatur yang digunakan adalah “Nanggroe Aceh Darussalam”.

Sampai saat ini, Pemerintahan Aceh menggunakan dasar hukum nomenklatur “Aceh”, mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) No.46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh dan belum dicabut. Padahal, dalam konteks kewenangan pengaturan secara legal formal Pergub ini tidak berwenang mengatur, karena secara eksplisit UUPA mendelegasikan kewenangan pengaturannya (delegatie van bevoegdheid) kepada PP.

Melalui penyerahan kewenangan tersebut, seluruh kewenangan yang diserahkan menjadi tanggungjawab atau beralih kepada penerima kewenangan (delegataris). Sehingga, tidak ada penciptaan kewenangan baru. Meskipun, dimungkinkan dalam hukum perundang-undangan untuk mendelegasi kewenangan (delegatie van wetgevings) dari peraturan perundang-undangan tertentu kepada peraturan perundang-undangan lainnya, yang sederajat atau lebih rendah (I Gde Pantja Astawa dan Suprin, 2008:53-54).

Maksud memungkin untuk didelegasikan kepada peraturan yang sederajat atau lebih rendah, jika delegasi kewenagan dimaksud sudah dilaksanakan, selanjutnya didelegasikan kembali kepada peraturan lainnya. Misalnya, “Nama dan Gelar Pejabat Aceh”, sudah diatur dalam PP, lalu oleh PP mendelegasikan kembali pengaturannya dalam Qanun Aceh atau Pergub. Tetapi, jika tidak didelegasikan, maka Qanun atau Pergub tersebut tidak berwenang untuk mengaturnya sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan.

 Kepastian hukum
Istilah asas kepastian hukum dalam terminologi hukum biasanya ditemukan dalam dua pengertian yakni dalam bahasa Inggris disebut the principle of legal security dan bahasa Belanda disebut rechtszekerheid beginsel. Kedua terminologi ini memuat pengertian asas kepastian hukum yang sama yaitu asas untuk mengetahui dengan tepat aturan apa yang berlaku dan apa yang dikehendaki daripadanya. Dalam kamus istilah hukum Fockema Anderea ditemukan kata rechtszekerheid yang diartikan sebagai jaminan bagi anggota masyarakat bahwa ia akan diperlakukan oleh negara/penguasa berdasarkan aturan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

Sebagaimana juga dikatakan Solly Lubis, kepastian hukum yaitu kejelasan peraturan hukum mengenai hak, kewajiban dan status seseorang atau badan hukum untuk mendatangkan ketertiban, keteraturan, ketenangan bagi yang bersangkutan. Sehingga, mengetahui bagaimana status atau kedudukan, hak dan atau kewajibannya. Sebaliknya, kepastian hukum dianggap tidak ada atau kabur, jika: 1) tidak ada aturan mengenai sesuatu (null); 2) ada aturan hukumnya, tetapi tidak jelas pengertiannya dan mengakibatkan timbul penafsiran yang berbeda-beda; 3) terdapat pertentangan isi diantara sesama aturan hukumnya sendiri baik aturan yang setingkat maupun yang tidak sama tingkatannya, sehingga membingungkan masyarakat; dan, 4) belum ada peraturan pelaksanaan meskipun sudah ada peraturan pokoknya sehingga tidak memberi efek apa-apa (Solly Lubis, 2011:54-55).

Jika merujuk pendapat tersebut bahwa “Nama dan Gelar Pejabat di Aceh” belum ada peraturan pelaksanaan, sementara Pergub tidak berwenang, sehingga tidak adanya kepastian hukum. Meskipun terkesan biasa dan apalah arti sebuah nama? Namun, dalam konteks kepastian hukum nama suatu daerah hal ini menjadi sangat penting terutama dalam proses ketertiban administrasi. Apalagi jika ingin membuat perjanjian kerjasama antar daerah, atau nasional maupun internasional, sehingga tidak menimbulkan kebingungan bagi para pihak akibat tidak adanya kepastian hukum nama Aceh.

Agar adanya kepastian hukum dan ketertiban administrasi pemerintahan Aceh terhadap “Nama dan Gelar di Aceh, keniscayaan pemerintah pusat segera menetapkan PP-nya, serta PP dan Perpres lainnya. Sehingga, Aceh tidak terus dijadikan sebagai daerah keberlakuan anomali hukum (keanehan hukum), seperti pengalaman proses pembentukan Qanun Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun Lambang dan Bendera Aceh. Di mana seharusnya sudah dapat diimplementasikan dan kalau bertentangan dibatalkan, malah sebaliknya “digantung” tanpa kepastian.

* Amrizal J. Prang, SH., LL.M., Mahasiswa Program Doktor USU Medan dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. mail: j.prang73@gmail.com

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved