Opini

‘Smong’ Kearifan Lokal Mitigasi Tradisional

MINGGU, 26 Desember 2004, mentari bersinar seperti biasa menyapa penghuni bumi

Editor: bakri

Oleh Faizal Adriansyah

MINGGU, 26 Desember 2004, mentari bersinar seperti biasa menyapa penghuni bumi. Pagi itu tepatnya pukul 07:58':53" saat masyarakat sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, tiba-tiba dikejutkan oleh getaran bumi yang dahsyat. Gempa 9,1 Skala Richter (SR) menimbulkan rasa takut dan kepanikan terjadi di mana-mana. Banyak rumah warga yang rusak, serta bangunan gedung perkantoran dan pertokoan yang roboh.  

Sesaat kemudian, alam pun memberikan isyarat ganjil, laut mendadak surut, ikan menggelepar, perahu nelayan yang sandar tiba-tiba kandas, burung camar, burung bangau putih terbang menuju darat dalam kepanikan. Tapi sebagian kita tidak pandai membaca tanda-tanda alam seperti saudara-saudara kita di pulau Simeulue mereka banyak selamat dari hantaman gelombang pasang tsunami karena kearifan lokal smong.

Rupanya itulah isyarat akan datangnya gelombang dahsyat tsunami, gelombang maut yang menakutkan. Dahsyat sekali kecepatan gelombang tsunami itu, dari pusat gempa 700 Km per jam secepat pesawat jet, tsunami datang semakin mendekati daratan semakin tinggi menggunung ibarat “karpet yang digulung”. Jeritan ketakutan, kesakitan, kematian menggema, takbir, tasbih, tahlil menyertai kepergian sebagian syuhada tsunami.

Hanya dalam hitungan menit ribuan mayat bergelimpangan, mendadak ribuan anak-anak menjadi yatim piatu, ribuan perempuan menjadi janda. Ribuan bangunan kebanggaan manusia hancur berkeping kecuali sebagian besar rumah tempat manusia sujud masih berdiri kokoh dan tegar itulah Masjid “rumah Allah”, seakan memberi pesan dari langit.

Tsunami tidak hanya menghancurkan Aceh dan Nias, gelombang maut ini terus ke utara menghantam Kepulauan Andaman 30 menit kemudian, tsunami juga meporak-porandakan Thailand 90 menit kemudian dan merambah ke Srilangka dan India 2 jam setelah gempa bahkan 7 jam setelah gempa tsunami masih datang menerjang pantai timur Afrika di daerah Somalia.

Korban manusia berjatuhan di mana-mana, lebih seperempat juta orang meninggal dunia, yang terbesar adalah di Aceh dan Nias mencapai 126 ribu jiwa, 45 ribu jiwa di Srilangka, 12 ribu jiwa di Andaman dan Nikobar, 4.500 jiwa di Thailand, puluhan korban di Malaysia dan Maladewa bahkan ada 100 korban jiwa di Somalia nun jauh di sana ribuan kilometer dari Aceh.

Begitu dahsyatnya tsunami, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), korban akibat tsunami keseluruhan adalah 229.826 orang hilang dan 186.983 tewas. Kerugian material untuk Indonesia, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), sekitar Rp 41,4 triliun atau sekitar 2,7 persen dari kegiatan ekonomi nasional.

 Indonesia menangis
Tsunami 26 Desember 2004 tidak hanya menimbulkan duka yang mendalam bagi Aceh, tapi Indonesia menangis dan dunia pun berduka. Maka kita telah menyaksikan solidaritas dunia tertuju ke Aceh. Tsunami mempersatukan umat manusia dan telah meruntuhkan sekat-sekat kesukuan, kebangsaan, geografis, ras dan agama.

Maha benarlah Allah dengan firmanNya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Bencana adalah sesuatu yang tak terpisahkan dalam sejarah manusia. Untuk itu manusia bergumul dan terus bergumul agar bebas dari bencana (free from disaster). Ternyata untuk bebas dari bencana bagi kita yang hidup dengan “takdir” di wilayah tumbukan tiga lempeng besar dunia adalah hal yang hampir tidak mungkin. Paradigma yang harus kita bangun adalah hidup bersama bencana (living with disaster), karena bencana tidak dapat ditiadakan, tetapi dapat dikurangi resikonya dengan cara kita selalu siaga terhadap bencana.

Kesiagaan terhadap bencana dengan mengenali bencana tersebut, memahami apa yang harus dilakukan ketika bencana terjadi sehingga risiko bisa diminimalisir. Hal inilah yang disebut mitigasi. Upaya membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana melalui kearifan lokal adalah suatu keniscayaan. Kita tidak bisa tergantung semata-mata dengan teknologi walaupun saat ini di bidang early warning system sudah canggih.

Faktanya, masyarakat khususnya di Aceh pernah menjadi bingung seperti peristiwa Senin, 4 Juni 2007 sirene tsunami di Kajhu berbunyi sendiri. Sehingga penduduk yang berada di sekitar Aceh Besar dan Banda Aceh menjadi panik dan lari ketakutan menjauhi pantai. Padahal saat itu masyarakat baru sembuh dari trauma tsunami, namun menjadi terusik kembali dengan raungan sirena tsunami yang berbunyi karena error system.

Peristiwa menakutkan lain adalah pada Rabu, 11 April 2012, Aceh  menghadapi gempa yang besar, dua kali gempanya pertama 8,6 SR kemudian 8,2 SR, gempa itu dahsyat para ahli menyebutnya gempa kembar, Sirene tsunami tidak kunjung meraung, masyarakat bingung dan sekitar sejam kemudian baru berbunyi itu pun konon kabarnya dibunyikan secara manual. Kita tidak bisa membayangkan seandainya saat itu terjadi tsunami, maka korban bisa akan sangat banyak karena tergantung dengan alat.  

 Menjadi legenda
Belajar dari tsunami 1907 yang melanda Aceh, termasuk masyarakat di Pulau Simeulue, mereka menyebutnya smong. Peristiwa ini oleh masyarakat Simeulue dikisahkan turun-temurun yang disebut sebagai nafi-nafi. Kisah ini menjadi legenda masyarakat yang terus diceritakan oleh orang tua kepada anak-anaknya pada waktu senggang atau sebagai pengantar tidur.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved