Opini
Intelijen Asing Incar ‘Baynah’ Aceh?
SUDAH menjadi rahasia umum bahwa operasi intelijen asing yang membidik dan mengincar hasil alam
Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
SUDAH menjadi rahasia umum bahwa operasi intelijen asing yang membidik dan mengincar hasil alam di Aceh, telah dilakukan sekian lama, terutama pascatsunami 2004. Ada yang berwajah resmi dan tidak sedikit yang ilegal (14/7/2009). Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir, kedatangan pihak asing dari Asia Timur ke Aceh, telah mengejutkan bahwa hasil bumi Aceh menjadi incaran negara-negara tersebut. Baru-baru ini, telah ditangkap lagi warga asing di Aceh Barat (Serambi, 7/2/2015). Tulisan ini coba mengupas bagaimana operasi intelijen asing tersebut berlangsung di Aceh.
Sejauh ini, warga asing bebas berkeliaran di Aceh. Ada juga yang mengangkut hasil bumi ke luar negeri, sepengetahuan pemerintah setempat. Dalam hal ini, istilah investasi adalah kata keramat yang sering dimunculkan di atas selimut operasi intelijen. Uniknya, hasil alam Aceh tidak diolah di Aceh, melainkan hasil mentah tersebut dibawa langsung ke luar negeri. Tidak ada kontrol dari pemerintah, mengenai pengambilan hasil bumi Aceh, menunjukkan bahwa pemerintah di Aceh, tidak menganggap penting energi bumi, sebagai bagian geo-strategi dan aset masa depan negeri ini. Kebiasaan yang terjadi adalah orang Aceh lebih suka diberikan sejumlah uang, kemudian sambil tersenyum mengatakan silahkan ambil hasil bumi kami!
Sejauh ini, orang Aceh sendiri tidak punya daya untuk mengambil hasil bumi di negara-negara Asia Timur. Adapun barang dari Asia Timur yang sampai ke Aceh adalah perangkat elektronik dan berbagai keperluan rumah tangga. Demikianlah tingkat berpikir masyarakat Aceh. Bangsa lain mengeruk hasil bumi kita, sementara uang mereka kita gunakan untuk membeli barang-barang impor dari negara-negara Asia Timur. Harus diakui bahwa semua perilaku ini merupakan operasi intelijen, yang juga marak dilakukan di negara-negara lain.
Modus operasi
Ada beberapa modus operasi intelijen yang biasa dilakukan, antara lain: Pertama, dengan mendatangkan tiga atau empat agen terlebih dulu ke Aceh. Mereka biasanya ada yang bertugas menanyakan hal apa pun mengenai Aceh, ada yang tugasnya melakukan foto-foto, dan ada yang bertugas sebagai pencatat. Mereka keliling Aceh, tanpa ada satu pun yang curiga. Dalam operasi intelijen tradisional, data mereka biasanya diserahkan pada pengguna (user) atau dijual kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Kedua, di negara-negara Asia Timur, setiap warga negara, baik sipil maupun militer, telah mengenyam pendidikan wajib militer. Istilah wajib militer merupakan bagian terpenting di dalam membentuk sel-sel intelijen mereka di seluruh dunia. Ada artis yang menjadi agen. Tidak sedikit yang berpura-pura sebagai pebisnis lintas negara. Ada juga yang berprofesi sebagai ilmuwan. Dengan berbagai profesi, mereka masuk ke Aceh, sebagai bagian dari operasi intelijen yang dikendalikan oleh pemerintah masing-masing. Karena itu, kemampuan bertahan di kawasan pegunungan Aceh dan beradaptasi warga lokal, sesungguhnya telah menunjukkan kualifikasi tingkat kebertahanan mereka, dengan alam dan orang Aceh sebagai seorang agen. Salah pengajaran utama sebelum masuk ke Aceh adalah apapun bisa diselesaikan dengan uang di provinsi ini.
Ketiga, melalui jalur diplomatik. Kunjungan persahabatan merupakan pembuka jalan untuk mengirim agen-agen terbaik ke Aceh. Harus diakui bahwa diplomat adalah agen-agen terbaik yang ditempatkan di seluruh dunia. Mereka mampu melakukan diplomasi dan memiliki kekuatan untuk menekan pemerintah pusat atau pemerintah lokal. Informasi dan pemetaan aset-aset individu di Aceh merupakan modal yang paling penting di dalam menggerakkan sel-sel operasi intelijen asing. Pengetahuan tentang keberadaan dan kelihaian diplomat memang belum menjadi bahan ilmu pengetahuan di Aceh, sebagai upaya pembelajaran operasi intelijen. Biasanya, deal-deal dengan individu inti lebih banyak dilakukan di luar Aceh, melalui janji-janji materi secara cash. Inilah satu gerbang pembuka jalan kedatangan agen-agen asing ke Aceh.
Melalui tiga jalur di atas, warga asing bebas bersuaka di rimba raya dan pegunungan di Aceh. Penangkapan terhadap warga asing tersebut tidak akan membuat jera mereka, untuk kembali ke hutan Aceh. Pascatsunami 2004, beberapa kali warga asing dari Asia Timur telah ditangkap atau dirazia. Namun jumlah mereka tidak berkurang di belantara Aceh. Sampai saat ini, jumlah warga asing, baik yang ingin mengeruk hasil bumi atau mengamati perkembangan sosial-keamanan terus bertambah. Dalam hal ini, tentu saja tidak perlu ditanyakan bagaimana peran dari lembaga terkait yang memonitor warga asing di Aceh. Sebab, jumlah yang tersebar di pegunungan dan belantara Aceh, menunjukkan bahwa pihak-pihak terkait tidak menganggap kehadiran mereka sebagai upaya untuk membawa lari (baca: mencuri) hasil bumi ke luar Aceh.
Adapun masalah lainnya adalah pemantauan saat warga asing masuk ke Aceh. Jika melalui udara, mereka tidak begitu banyak, karena dianggap sebagai wisatawan yang perlu disambut melalui peumulia jamee. Namun tidak sedikit yang masuk via darat dari provinsi tetangga. Karena wajah mereka sangat mirip dengan warga Indonesia, maka tidak ada kecurigaan, jika kendaraan mereka melesat ke tengah hutan. Tahun 2008, misalnya, ada wanita yang tidak bisa berbahasa Indonesia, berkeliling di kota Banda Aceh. Mereka menjual minyak wangi dan mengakui memiliki suami dari provinsi tetangga. Namun, ketika ditanyakan izin tinggal di Indonesia, sang wanita tersebut terus menghindar dan menghilang.
Pengeruk hasil bumi
Di sini agaknya, warga Aceh tidak pernah diberikan pemahaman mengenai early warning tsunami warga asing. Bagi mereka yang legal, tentu saja sudah mendapatkan izin tinggal. Sebaliknya, mereka yang datang secara ilegal, tentu saja memiliki cara tersendiri untuk menghindari perhatian publik. Misalnya, mereka jarang bersosialisasi dan berinteraksi dengan warga Aceh. Adapun yang mereka pegang adalah orang-orang lokal yang benar-benar dapat dipercayai. Model sindikasi ini terlihat misalnya di dalam jejaring bisnis walet di Aceh, dimana hampir semua hasilnya dijual ke provinsi tetangga, lalu diekspor ke negara tetangga atau ke Asia Timur. Sindikasi ini tidaklah serunyam sindikasi pengeruk hasil bumi Aceh di tengah-tengah hutan.
Aceh memang didesain oleh pemerintah sebagai daerah tujuan wisata. Namun, wisata ke Aceh, tampaknya bukanlah menghabiskan uang, tetapi sedapat mungkin untuk menghasilkan uang. Pola operasi intelijen ini sebenarnya perlu dicermati oleh pemerintah di Aceh. Energi bumi, walaupun belum mampu diolah, seperti pengalaman negara-negara maju, namun paling tidak, perlu dijaga untuk generasi berikutnya. Dewasa ini, perebutan hasil bumi merupakan satu strategi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Sekali lagi, jika kita belum memiliki kemampuan mengolah hasil bumi, janganlah sampai memberikan kesempatan bagi negara luar untuk mengeruknya. Di sinilah pemerintah perlu memikirkan bagaimana strategi berkelanjutan di dalam menjaga isi bumi Aceh.
Fenomena yang berkembang adalah harta dan tanah berada di Aceh, namun yang sejahtera malah orang yang datang dari luar Aceh. Hal ini disebabkan kemampuan sistem berpikir orang Aceh di dalam menata dunia pendidikan yang mampu bertahan dari segala kepungan negara asing, termasuk serangan terhadap titik-titik baynah di Aceh, belum begitu kuat. Sejatinya, investasi adalah bukan mengeruk dan membawa lari, tetapi membawa modal ke Aceh, untuk memberikan kesempatan terhadap transfer of knowledge dan transfer of technology, bukan transfer of money dan transfer individu yang ilegal ke Aceh.
Akhirnya, dalam tradisi orang Aceh, ada tiga baynah yang dijaga sampai anak cucu, yaitu harta dalam wujud tanah, ternak, dan emas. Jika ketiga hal tersebut tidak lagi dimiliki, orang Aceh akan dicap sebagai ureung hana sapeu na (orang tidak berpunya). Operasi intelijen asing membidik baynah orang Aceh. Karena itu, perlu kewaspadaan tingkat tinggi untuk menjaga baynah secara bersama-sama. Pada saat yang sama, kita berharap pemantauan terhadap warga asing perlu ditingkatkan, terutama di wilayah-wilayah pegunungan dan hutan. Sebab, di kawasan tersebut, baynah orang Aceh dititipkan oleh para endatu kita.
* Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Ph.D., Dosen pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: abah.shatilla@gmail.com
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |