Opini
Dilema TOEFL
TOEFL (Test of English as a Foreign Language) adalah satu sistem pengujian kemampuan Bahasa Inggris yang telah diakui secara internasional
Oleh Rita Khathir
TOEFL (Test of English as a Foreign Language) adalah satu sistem pengujian kemampuan Bahasa Inggris yang telah diakui secara internasional, sehingga banyak digunakan sebagai syarat untuk dapat sekolah ke luar negeri. Score yang dipersyaratkan bervariasi antara 500-550. Dalam rangka meningkatkan kompetensi lulusannya, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) sudah mempersyaratkan score TOEFL 475 untuk mahasiswa angkatan 2010 ke atas yang mengajukan ujian sidang. Sementara untuk angkatan sebelumnya, nilai score yang menjadi prasyarat ujian sidang adalah 450.
Tidak ada yang meragukan tentang manfaat yang diharapkan dari kebijakan TOEFL ini. Bahasa Inggris adalah satu bahasa dunia yang sudah sepatutnya kita kuasai, terutama sekali dalam menyongsong pasar bebas ASEAN 2015. Unsyiah akan turut bangga apabila para lulusannya dapat melanjutkan pendidikan pada strata yang lebih tinggi ke luar negeri, mendapatkan pekerjaan yang layak, ataupun menjadi entrepreneur muda yang sukses.
Namun demikian, dampak implementasi kebijakan TOEFL ini belum dianalisis secara mendalam, sehingga kebijakan tersebut dapat dilanjutkan dengan bijaksana. Bagaimana kondisi riil di lapangan? Bagaimana teknis pelaksanaannya? Yang dikhawatirkan adalah tidak tercapainya tujuan pencanangan kebijakan ini ketika praktek di lapangan terorientasi kepada hasil (result oriented), bukan berbasis kepada proses pendidikan (process oriented).
Sertifikat pemutihan
Selama ini, seorang mahasiswa yang memang belum sempat belajar Bahasa Inggris dengan baik harus mengikuti tes TOEFL berulang kali (antara 5-7 kali), lalu kemudian pusat bahasa (language center) Unsyiah akan mengeluarkan sebuah sertifikat pemutihan dengan mencantumkan score minimum 450. Biaya ujian TOEFL tersebut adalah Rp 25.000. Sudah tentu kita perlu kritis bahwa sertifikat yang keluar dengan sistem pemutihan tidak berdampak apa pun pada peningkatan kualitas berbahasa Inggris lulusan.
Unsyiah telah membuka kelas persiapan TOEFL gratis, namun dengan kapasitas yang terbatas sehingga tidak dapat menampung seluruh mahasiswa. Efektifitas kelas-kelas tersebut juga perlu dievaluasi, misalnya dengan melihat persentase kelulusan TOEFL dari mahasiswa yang telah mengikuti kelas persiapan itu. Sekiranya kelas TOEFL ini sudah efektif, maka langkah selanjutnya yang dapat ditempuh adalah dengan menambahkan jumlah kelas, sehingga seluruh mahasiswa dapat tertampung.
Kebijakan Rektorat Unsyiah menaikkan batas minimum score TOEFL yang harus dicapai dari 450 menjadi 475 telah dilakukan tanpa memperhatikan data lapangan. Fakta pertama adalah rendahnya angka mahasiswa yang dapat mencapai score 450 secara riil (tanpa pemutihan), dan fakta kedua adalah belum tertampungnya semua mahasiswa dalam kelas persiapan TOEFL. Dengan kenyataan seperti ini, apakah kebijakan menaikkan score TOEFL minimum ini sudah tepat sasaran? Apakah kita ingin meningkatkan frekuensi tes TOEFL mahasiswa menjadi lebih dari 10 kali? Hal ini tidak hanya menjadi duka mahasiswa, namun juga duka kami sebagai dosen pembimbing mahasiswa tersebut.
Pada saat ini hanya sekitar 4% (3 orang) dari mahasiswa angkatan 2010 Program Studi Teknik Pertanian (PSTP) yang sudah lulus TOEFL dengan score 475. Hal yang sama juga dialami oleh program-program studi lain di Fakultas Pertanian (berdasarkan presentasi para ketua program studi dalam rapat kerja Fakultas Pertanian pada 13 Januari 2015).
Sementara itu pada saat ini (2015), jumlah mahasiswa yang sudah layak sidang dan bahkan sudah ada yang disidangkan dengan catatan (tidak dapat mengikuti yudisium sampai bisa mencapai score TOEFL 475) ada sekitar 25 orang (28%). Dari angka tersebut dapat dirinci sebanyak 12% lulus toefl dengan 1 kali tes, 36% lulus TOEFL dengan tes berulang kali, dan 52% belum mendapatkan izin yudisium karena belum lulus TOEFL walaupun sudah tes berulang kali. Jelas sekali yang dirasakan adalah bahwa kebijakan TOEFL ini telah menjadi satu faktor yang memperpanjang masa studi mahasiswa. Hal ini sangat kontradiktif dengan upaya kita dalam mencapai akreditasi terbaik, di antaranya adalah pencapaian masa studi ideal seorang mahasiswa yaitu 8 semester (4 tahun).
Peningkatan kompetensi berbahasa Inggris dapat dilakukan dengan berbagai strategi, bukan hanya dengan selembar sertifikat TOEFL. Strategi yang dapat dilakukan hendaknya yang bersifat process oriented dan logic. Unsyiah misalnya dapat mengeluarkan rekomendasi kepada para staf dosen untuk dapat memberikan sebagian materi kuliah dalam Bahasa Inggris. Dengan pengembangan begitu banyak program pascasarjana dan kerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi luar negeri, Unsyiah perlu mempersiapkan diri untuk membuka beberapa mata kuliah berbahasa Inggris ataupun membuka satu program pascasarjana internasional (International program) yang diberikan dalam Bahasa Inggris.
Sebagai alternatif, Unsyiah dapat memotivasi mahasiswa dengan memberikan award TOEFL kepada yang dapat mencapai score 550. Hal konkrit lainnya yang dapat dilakukan adalah pemetaan kemampuan TOEFL untuk mahasiswa baru segera setelah pengumuman kelulusan SNMPTN mereka, sehingga 3,5 tahun masa studi dapat digunakan secara efesien untuk persiapan TOEFL.
Belum ada upaya
Selain itu, dalam kurikulum PSTP, terdapat modul Bahasa Inggris 1 dan Bahasa Inggris 2, dimana selama ini belum ada upaya mengintegrasikan TOEFL ke dalam materi perkuliahan tersebut. Akibatnya seorang mahasiswa yang telah lulus 2 level modul Bahasa Inggris ini belum tentu dapat sukses dalam ujian TOEFL-nya. Mahasiswa yang lulus TOEFL (1 kali tes) dengan score 450 dapat diberi penghargaan dengan pengakuan sertifikat TOEFL-nya sebagai pengganti Bahasa Inggris 1. Materi mata kuliah Bahasa Inggris 1 dapat segera disesuaikan menjadi materi persiapan TOEFL. Terlalu banyak kreatifitas yang dapat dikembangkan oleh Unsyiah berdasarkan data yang ada (data based), kondisi kekinian (evidence based), dan logika yang pro-mahasiswa.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya, belajar bahasa tidak dapat dilakukan di bawah tekanan. Kemampuan penguasaan bahasa harus sempurna terkait aspek mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Secara psikologis, apabila mahasiswa yang mengikuti ujian TOEFL berada dalam keadaan tertekan, hal ini kemudian berdampak kepada rendah dan tidak stabilnya score yang dicapai.
Adapun score yang telah dicapai memang merefleksikan kemampuan si mahasiswa pada saat itu. Lebih buruk lagi, keadaan terpaksa ini telah memicu terjadi beberapa hal negatif seperti pemalsuan sertifikat TOEFL. Mahasiswa yang putus asa setelah berulang kali mengikuti tes TOEFL namun menemui kegagalan, akhirnya menempuh jalan salah tersebut. Intelektualitas generasi menjadi rusak serta merta adalah akibat sebuah kebijakan yang tidak bijak.
Kesulitan lain yang timbul adalah begitu panjangnya antrian peserta test toefl di lembaga bahasa sehingga pendaftaran harus dilakukan 1 bulan sebelum test berlangsung atau harus lebih awal lagi. Jadi apakah kebijakan TOEFL seperti ini akan terus dipertahankan? Kita sangat berharap agar Unsyiah dapat meninjau kembali kebijakan TOEFL yang telah ditetapkan dengan tujuan kepada tercapainya cita-cita mulia, menghasilkan lulusan berkualitas secara keilmuan dan intelektualnya, bukan by instant, namun by process. Semoga!
Dr. Rita Khathir, S.TP., M.Sc., Dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: rkhathir79@gmail.com