Hei, Bahasamu Menjelang Mati!
Saat ini bahasa-bahasa etnik di berbagai belahan dunia berada di ambang kematian, karena cenderung mengarah pada
Oleh Baun Thoib Soaloon Siregar
Saat ini bahasa-bahasa etnik di berbagai belahan dunia berada di ambang kematian, karena cenderung mengarah pada monolingualisme, yakni penggunaan bahasa-bahasa tertentu saja. Berdasarkan data Ethnologue (Barbara F. Grimes, 2000), Lauder dan Ayatrohaédi (2006) memperkirkan bahwa 100 bahasa daerah Indonesia berada dalam posisi tidak aman. Kelompok bahasa yang terancam ini menurut Karl Anderbeck (2012) mencapai178 bahasa. Anderbeck bahkan berani menyimpulkan bahwa mayoritas bahasa-bahasa lokal yang ada di Indonesia saat ini berada dalam bahaya.
Jika mengacu pada empat kategorisasi Anderbeck (aman, terancam, sekarat, dan punah), dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang ada di Aceh saat ini berada pada level kedua, terancam, dan terus bergerak menuju level ketiga, sekarat. Meskipun semua bahasa daerah Aceh diyakini masih tetap dituturkan oleh generasi tua maupun muda, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tahun demi tahun semakin banyak orangtua yang tidak lagi mengajarkan bahasa daerahnya kepada anak-anaknya sehingga dipastikan bahwa penutur setiap bahasa daerah di Aceh semakin hari jumlahnya akan terus berkurang.
Dewasa ini, ketidakmampuan maupun keengganan menggunakan bahasa daerah di kalangan generasi muda merupakan hal biasa dan dianggap lumrah. Selain itu, ruang penggunaan bahasa daerah terus menyempit. Beberapa ruang tempat bahasa daerah dituturkan, seperti keluarga, upacara adat, kegiatan budaya, komunikasi pertemanan kini terus menyusut, bahkan diambali alih oleh penggunaan bahasa Indonesia, kalau bukan bahasa Inggris jadi-jadian.
Sebagai media pewarisan nilai dan budaya,lembaga pendidikan publik yang dibiayai oleh pajak rakyatjustru melakukan pembantaian terencana dan sistematis (karena pendidikan merupakan aktivitas terorganisasi, terencana, dan sistematis) terhadap eksistensi bahasa-bahasa daerah.Sesat pikir di lembaga-lembaga pendidikan sudah demikian jauh, bahasa daerah dianggap terbelakang, menghambat kesuksesan seseorang, menyebabkan banyak generasi muda meninggal bahasa ibu mereka. Hal ini berdampak jauh, sebagaimana diingatkan oleh banyak ahli linguis, mengancam keseimbangan lingkungan serta keragaman hayati. Contoh kecil saja, tidak banyak anak-anak di Aceh yang tahu nama buah-buahan, pohon atau ikan dalam bahasa mereka ibu mereka.
Bagi banyak kalangan, perubahan bahasa merupakan peristiwa normal yang berlangsung secara alami. Padahal faktor-faktor kebahasaan (bahasa, pengguna, dan penggunaanya) sangat dipengaruhi bahkan acapkali ditentukan oleh ideologi, politik, pendidikan, keyakinan agama, dan ekonomi melalui berbagai kebijakan politik yang beroperasi dalam setiap level dan konteks yang seringkali tidak disadari.
Di sisi lain daya tahan bahasa-bahasa daerah, termasuk di Aceh, juga sangat lemah karena ketidakpedulian pemerintah dan masyarakatnya sendiri terhadap penting bahasa mereka. Sikap dan kebijakan ini jarang sekali menyisakan tempat bagi program-program kebahasaan dan budaya (daerah) dalam prioritas pembangunan.
Sampai saat ini, kita tidak memiliki data yang akurat dan memadai mengenai profil kebahasaan di daerah Aceh: jumlah bahasa, dialek (jenis bahasa), jumlah pengguna (penutur) dan penggunannya, peta demografis, level literasi, dan literatur mengenai setiap bahasa. Padahal informasi tersebut sangat dibutuhkan dalam menentukan kondisi dan kekuatan setiap bahasa. Saya khawatir, jangan-jangan data populasi gajah, harimau, mungkin babi hutan, atau bahkan profil batu giok jauh lebih lengkap daripada data dan profil kebahasaan kita di Aceh.
Namun demikian, saya tidak akan mengatakan bahwa tanpa itu semua kita tidak dapat melakukan apa pun untuk mempertahankan dan melindungi bahasa-bahasa daerah kita. Jika Anda beranggapan bahwa pengumpulan data dan informasi di atas merupakan pekerjaan yang sulit, maka Anda masih dapat berkontribusi dalam penyelamatan bahasa-bahasa daerah tersebut. Apabila Anda, saya dan kita semua masih tetap menggunakan bahasa kita masing-masing, maka bahasa-bahasa tersebut akan tetap lestari lintas generasi.
* Baun Thoib Soaloon Siregar, pegawai di Balai Bahasa Banda Aceh.