Opini

Merespons Jatuhnya Rupiah

SEORANG netizen menulis sebuah anekdot satir di media sosial: “Tidak usah kuatir, sebentar lagi rupiah akan

Editor: bakri

Oleh Hanif Sofyan

SEORANG netizen menulis sebuah anekdot satir di media sosial: “Tidak usah kuatir, sebentar lagi rupiah akan menguat. Berikutnya kata ‘menguat’ dilengkapi kalimatnya menjadi menguatirkan!”. Gonjang-ganjing pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS yang terkesan “dibiarkan” oleh pemerintah, menimbulkan kekhawatiran yang meluas dan menyebabkan gangguan hingga ke wilayah domestik-regional.

Kebijakan devaluasi pemerintah Tiongkok terhadap mata uang yuan menjadi salah satu pemicu pelemahan mata uang rupiah. Pasalnya devaluasi itu memicu perang antar mata uang (currency war) di negara-negara kawasan Asia. Bahkan solusi yang dikeluarkan People’s Bank of China (PBOC) dengan memangkas tingkat suku bunga untuk perbaikan ekonomi Tiongkok belum berdampak positif. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong menguatnya nilai rupiah, karena Indonesia adalah satu mitra dagangnya. Sementara posisi dolar yang masih diperlakukan sebagai safe haven currency masih tetap kuat dan di dalam negeri belum ada sentimen yang dapat menstimulasi pergerakan penguatan rupiah (Serambi, 27/8/2015).

Perlambatan ekonomi tidak hanya melanda Indonesia, namun juga ekonomi global. Imbasnya mempengaruhi gerak ekonomi hingga di wilayah domestik. Hingga minggu pertama September 2015 ini, nilai tukar rupiah di pasar spot belum beranjak dari level Rp 14.133 per dolar AS. Bagi pemerintahan Aceh, hal ini juga berdampak krusial, terlebih dalam masa efektif tiga bulan hingga Desember 2015 ini pemerintah sedang mengejar ketertinggalan realisasi proyek-proyek APBA. Dalam analisis para pengamat posesnya masih terkendala dan bakal masuk dalam ketegori lampu kuning dan merah seperti tahun sebelumnya. Pergerakan mata uang yang sukar diprediksi ini, kelak harus menjadi salah satu poin yang harus dicermati oleh Pemerintah Aceh yang pertumbuhan ekonominya masih sangat tergantung dana APBA terutama dalam merancang Strategi Pembangunannya.

Target vs krisis
Target pertumbuhan ekonomi 5,2% yang dicanangkan pemerintahan Jokowi sedang mengalami ujian yang berat. Sebagian yang skeptis melihat nyaris mustahil dapat tercapai, karena hingga Agustus pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di kisaran 4,67%, meskipun nilainya masih lebih tinggi dibanding sejumlah negara mitra dagang Indonesia lainnya. Namun perbedaan pondasi ekonomi mempengaruhi kekuatan masing-masing negara untuk bangkit.

Setidaknya melemahnya rupiah dan perlambatan ekonomi hingga saat ini telah berimbas pada 1.000 Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), sebagaimana dinyatakan oleh Braman Setyo, Deputi Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha Kemenkop UMKM. Total usaha mikro yang secara nasional mencapai 56,7 juta mengalami penurunan hingga 15%, karena kendala bahan baku (Serambi, 27/8/2015).

Usaha kecil menengah sebagai kekuatan penopang ekonomi kita saat ini masih lemah, hal ini pula yang menjadi salah satu sebab krisis ekonomi 1998 yang imbasnya secara simultan belum tersembuhkan hingga saat ini. Sehingga nyaris setiap terjadi penurunan nilai rupiah atau pergerakan harga minyak dunia, Indonesia mengalami shock ekonomi, inflasi bergerak naik, dan memainkan gejolak naik turun harga di pasaran domestik. Bahkan dalam kasus termutakhir pergerakan harga minyak dunia memporakporandakan kebijakan pemerintah dalam penetapan harga yang berpengaruh seperti efek domino pada seluruh lini ekonomi. Hingga saat ini, meskipun harga minyak turun, namun harga tebus eceran minyak dalam negeri tetap. Situasi ini mempengaruhi daya beli karena harga-harga yang cenderung naik.

Hingga kini harga minyak dunia terjun bebas hingga ke level terendah 38 dolar AS per barrel. Sementara harga eceran dalam negeri tetap, sekalipun subsidi sudah dicabut. Kurs yang tidak stabil menyebabkan industri susah membuat kalkulasi dan berada dalam situasi ketidakpastian, suku bunga tetap tinggi ditambah pengenaan pajak. Harga produksi barang di dalam negeri saat ini masih sangat mahal, di atas harga pasar. Hal ini diprediksi akan mempengaruhi stabilitas negara.

Kita menunggu sikap responsif pemerintah, sebagaimana disampaikan Said Abdullah, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI yang mengapresiasi kebijakan penurunan bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari 21% menjadi 12%, pembebasan visa bagi turis asing dari sejumlah negara dan penggunaan produk dalam negeri yang diyakini dapat menjadi stimulator menggeliatnya ekonomi domestik. Kebijakan penurun bunga KUR dapat menstimulasi ekonomi sektor UKM agar dapat bergerak kembali dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sementara pembebasan visa dapat mendorong bertambahnya wisatawan asing masuk untuk penambahan devisa (Serambi, 27/8/2015).

Ada dua sisi yang menjadi stimulan melemahnya rupiah dan melambatnya ekonomi yang juga dilematis. Pergerakan harga minyak dunia hingga 38 dolar AS per barrel, selain bisa menjadi berkah karena bisa menstimulasi turunnya harga-harga, namun di sisi lain menjadi ancaman serius bagi BUMN Migas tanah air. Karena penurunan ini berimbas pada penerimaan negara dan pencapaian target dari sektor migas. Ini akan berdampak serius bagi APBN yang saat ini juga sedang kritis, seperti ditegaskan Direktur Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean.

Kompleksitas masalah ini menjadi persoalan yang juga harus dicermati dengan baik oleh pemerintah Aceh yang hingga 2016 mendatang Tim Dana Otsus sedang menggondok grand strategy dan blue print hingga berakhir pada 2027 mendatang. Terutama alternatif solusi dengan mendorong potensi ekonomi domestik yang menjadi basis kekuatan pondasi ekonomi secara keseluruhan.

Kebijakan responsif
Jika kebijakan responsif tidak diambil secara cepat bukan tidak mungkin, matinya 1.000 UMKM bisa diikuti oleh ribuan UMKM lainnya. Saat ini kita harus mendorong pemerintah Aceh untuk lebih responsif mengawal kebijakan penguatan potensi ekonomi domestik. Terutama menghidupkan kembali sektor UMKM, para enterpreneur muda potensial, dengan menstimulasi melalui peningkatan SDM dan sumber daya modal. Kebijakan fiskal yang pro pengusaha kecil menengah untuk menggairahkan pertumbuhan ekonomi di akar rumput.

Penguatan basis melalui leading sector ketenagakerjaan Aceh harus diapresiasi dan disikapi positif. Peningkatan kualitas dan produkstivitas tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan yang flesksibel terhadap kebutuhan pasar kerja, diarahkan pada pembangunan pilar profesi dan kompetensi tenaga kerja Aceh. Menurut catatan Disnakermobduk Aceh, sepanjang 2012-2014 ada 1.946 SDM potensial Aceh yang sudah memanfaatkan fasilitas pelatihan kerja. Sumber dananya berasal dari Tambahan Dana Bagi Hasil Migas (TDBH-Migas) serta Dana Alokasi Umum (DAU/reguler provinsi dan kabupaten/kota) yang tertampung dalam Dokumen Pelaksana Anggaran Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) Disnakermobduk.

Sinergi dan sinkronisasi SDM berkualitas juga diarahkan pada Sistem Pelatihan Kerja nasional (Sislatkernas). Sistem ini untuk memenuhi kebutuhan membangun Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKN), Lembaga Pendidikan dan Pelatihan sera Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja. Penguatan ini menjadi basis terbukanya peluang kerja baru, apakah melalui kegiatan Padat Karya Infrastruktur yang bersifat temporary, atau yang terpenting mendorong tumbuhnya iklim usaha kecil menengah yang bersifat jangka panjang. Semoga!

* Hanif sofyan, SE., Aceh environmental justice, Tanjung Selamat, Aceh Besar. Email: acehdigest@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved