Opini
Mengambil ‘Ibrah’ Peristiwa Hijrah
SEBELUM penetapan peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw sebagai penanggalan tahun Islami, terjadi diskusi hangat
Oleh Agustin Hanafi
SEBELUM penetapan peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw sebagai penanggalan tahun Islami, terjadi diskusi hangat di kalangan sahabat. Sebagian mengusulkan penanggalannya dimulai dari hari kelahiran Nabi, atau hari kemenangan dalam peperangan. Tetapi khalifah Umar bin Khattab ra ketika itu menolaknya, karena kelahiran Nabi Muhammad saw dari segi hari dan peristiwanya adalah biasa-biasa saja. Beliau bukan sebagaimana Isa as yang lahir tanpa ayah. Sedangkan hari-hari kemenangan, walaupun setidaknya dapat menjaga kepribadian atau kepuasan suatu umat, namun semua itu hanya bersifat sementara, di samping dapat pula melahirkan kebekuan dan kemandekan. Umar kemudian memilih peristiwa hijrah Nabi saw yang merupakan simbol perjuangan dan optimisme, dengan harapan agar setiap muslim ketika membuka lembaran kalender atau menyongsong hari esok, dapat menyongsongnya dengan perjuangan dan optimisme.
Tampaknya Umar ra tidak ingin umat Islam terbius atau dibius dengan sukses dan dakwaan masa lalu. Memang mengenang dan mengingat sejarah merupakan sebuah keniscayaan untuk mengambil pelajaran berharga, sehingga jika ada peristiwa kelam di masa lalu, tidak akan terulang kembali di masa kini. Allah Swt memuji kaum Muhajirin serta menyifati mereka dengan sifat-sifat yang terpuji dan istimewa, sebagaimana firman-Nya: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. at-Taubah: 20).
Hal ini sangat wajar karena mereka telah mengorbankan segala daya yang dimilikinya, baik itu tenaga, pikiran, materi, serta jiwa dan raganya. Mereka kehilangan harta benda, sanak famili dan keluarga tetapi mereka tidak pernah mengeluh dan berputus asa, mereka ikhlas menjalankan perintah Allah. Hal ini harus kita teladani, bahwa jika itu perintah Allah maka harus kita laksanakan walaupun nyawa menjadi taruhannya. Patut kita bertanya dalam hati sejauh mana pengorbanan dan keikhlasan kita dalam menjalankan perintah Allah selama ini.
Terkadang demi mengejar materi, dalam kondisi dan situasi apapun kita rela melakukannya, tetapi upaya dan usaha kita itu tidak sebanding ketika melaksanakan perintah Allah. Terkadang kita tidak menggubris panggilan azan yang berkumandang, kita masih asyik bertransaksi, masih sibuk dengan ternak dan pakannya, masih sibuk menimang cucu dan mainannya, kita tidak merasa diseru untuk datang memenuhinya, padahal umumnya lokasi azan itu tidak jauh dari kediaman kita.
Patut dipertanyakan
Begitu juga dengan hal lain, seperti pakaian ketika melaksanakan ibadah, pakaian yang kita gunakan hanya pakaian yang biasa saja, tetapi ketika menghadap atasan dan pejabat kita berusaha untuk tampil dengan tampilan yang sangat rapih, malah terkadang harus berbelanja terlebih dulu ke toko baju demi kelihatan berwibawa dan lainnya. Jika demikian halnya, patut kita pertanyakan pengakuan kita selama ini sebagai pengikut setia Nabi Muhammad saw.
Begitu juga halnya ketika kita diamanahkan menjadi seorang pemimpin dan wakil rakyat, sejauhmana usaha kita dalam menampung aspirasi dan melahirkan regulasi yang pro rakyat? Sejauhmana usaha dan pengorbanan kita dalam menyejahterakan rakyat dan meringankan beban penderitaan mereka? Jangan-jangan kita tidak peduli dengan nasib mereka, tetapi sibuk memperkaya diri, meraup keuntungan pribadi dan mementingkan kelompok sendiri. Bukankah seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya kelak?
Sebelum hijrah, kaum muslim menghadapi cobaan yang maha dahsyat yaitu penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Namun mereka tetap tabah dan sabar namun tetap berkeyakinan akan datangnya kemenangan. Hal ini disebabkan oleh tebalnya iman mereka kepada Allah Yang Mahakuasa. Karena pokok pertama yang ditanamkan Rasul saw kepada sahabat-sahabatnya jauh sebelum berhijrah adalah prinsip keimanan, karena iman dapat membentengi manusia serta mengantarkan mereka kepada optimisme. Meyakini bahwa dalam hidup ini dia tidaklah sendirian tetapi ada Allah Yang Maha Kuasa, Maha Melihat, Maha Mendengar dan selalu memantau gerak gerik hamba-Nya.
Manusia yang memiliki keyakinan akan kekuatan Allah swt akan terdorong untuk semakin tekun dan khusyuk dalam beribadah, mampu menghindarkan diri dari maksiat. Karena semakin tinggi kualitas keimanan seseorang maka tentunya semakin shaleh kepribadiannya, ia mampu menjaga hubungan baik antara sesama makhluk Allah, sehingga timbul sifat sosial pada dirinya. Ia juga menyadari bahwa harta dan kekuasaan mutlak hanya milik Allah, sehingga ia dapat menjauhi dari sifat angkuh, kikir, dan sombong, jika ia semakin berilmu maka ia akan semakin tawadhu‘, jika ia berkuasa maka ia akan bersikap bijaksana, mampu mengayomi rakyat dan menampung keluh kesahnya, tidak bersikap arogan apalagi melecehkannya, karena ia menyadari bahwa jabatan adalah amanah Allah Swt.
Dia akan memberikan kekayaan dan kedudukan kepada siapa yang dikehendaki, sebaliknya mengambil dan mencabut dari siapa yang dikehendaki-Nya, sehingga manusia yang memahami ini, ia tidak akan memiliki sifat ambisius untuk memperoleh harta dan jabatan, apalagi dengan menghalalkan segala cara. Tetapi yang muncul adalah sifat qana‘ah, tidak berhura-hura, murah hati dan murah tangan. Kemudian mampu menggunakan harta dan jabatannya di jalan yang diridhai Allah, bukan di jalan maksiat yang menyebabkan murka-Nya.
Begitu juga halnya di perkantoran, karena memiliki iman yang kuat dia akan tahan terhadap rayuan dan godaan untuk tidak melakukan tindak korupsi, memakan yang bukan haknya, berselingkuh, dan lain sebagainya. Ketika bekerja, tidak berharap pujian dan sanjungan, ia kerap mengucapkan salam antarsesama, bersikap ramah, lemah lembut dan selalu menebarkan senyum. Mampu dan mau memberikan pelayanan maksimal yakni tidak menghambat, menghalangi apalagi menyulitkan ketika ada yang membutuhkannya, tanpa memandang apakah orang yang dilayani tersebut memakai jas, dasi, peci atau tidak, semuanya akan dilayaninya dengan sebaik mungkin.
Pelajaran hijrah
Adapun pelajaran lain yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah Nabi saw adalah kerja sama dan sinergisitas di setiap lini. Misalnya peran Ali bin Abi Thalib yang dengan suka rela bersedia tidur di pembaringan Rasul untuk mengelabui kaum musyrik. Kemudian, peran Abubakar yang jauh sebelumnya telah mempersiapkan unta dan seorang pemandu menuju Madinah. Hal ini dapat dimaknai bahwa visi besar dalam membangun negeri menuju gemah ripah loh jinawi dibutuhkan dukungan dan peran aktif semua pihak, serta sinergisitas antara eksekutif, legeslatif, yudikatif, rakyat dan unsur lainnya. Bukan mengedapankan ego sektoral dengan mempertontonkan power masing-masing.
Kemudian dalam hijrah Nabi tidak mengabaikan sebab akibat. Beliau melakukan perencanaan melangkah dengan segala perhitungan. Hal ini dapat dimaknai bahwa dalam hidup ini perlu kerja keras, bukan seperti mengharap hujan dari langit. Berjuang harus dengan sungguh-sungguh, bukan setengah-setengah, apalagi ada harapan untuk menanti hadiah dan imbalan atas perjuangan itu. Bahkan Umar pernah menegur seseorang yang kerjanya hanya beribadah tetapi tidak mau berusaha mencari nafkah sedangkan dia memiliki anak dan isteri.
Langkah penting dan strategis yang Rasulullah lakukan, membangun masjid, memberi perhatian kepada pasar, menjalin ukhuwah dan menggalang kerukunan. Hal ini menunjukkan bahwa masjid dan meunasah memiliki peran sentral dalam menyukseskan misi dan program dakwah. Kemudian yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kita sesama umat Islam adalah bersaudara tanpa membedakan warna kulit, suku, bahasa dan identitas lainnya. Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya. Barang siapa yang melapangkan dari seorang muslim suatu kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di hari kemudian. Barang siapa yang menutup aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kemudian.
Oleh karena itu, jadikanlah Tahun Baru 1437 Hijriyah ini sebagai momentum untuk mempertebal keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Swt. Sebab yang dimaksud hijrah itu ialah berpindahnya seseorang dari sesuatu yang membawa maksiat bagi dirinya. Jadi, apabila kita merasa mempunyai kekurangan dan melakukan perbuatan jelek pada tahun-tahun yang lalu, maka berusahalah agar dapat menebusnya dengan perbuatan baik pada tahun ini dan tahun-tahun yang akan datang. Inilah antara lain satu ibrah yang bisa kita ambil dari peristiwa hijrah. Selamat Tahun Baru 1437 Hijriyah, semoga kita lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Amin ya Rabbal ‘alamin.
* Dr. H. Agustin Hanafi, MA., Ketua Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh. Email: agustinhanafi77@yahoo.com