Citizen Reporter

Di Washington DC pun Aceh Disebut-sebut

MENJADI perwakilan Indonesia dalam program Asia Pacific Leadership Program (APLP) di Amerika Serikat (AS)

Editor: bakri

OLEH ANDRIANSYAH MS.Ed, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh, melaporkan dari Washington DC, Amerika Serikat

MENJADI perwakilan Indonesia dalam program Asia Pacific Leadership Program (APLP) di Amerika Serikat (AS) memberikan saya banyak pengalaman luar biasa. Pengalaman dan ilmu yang sangat berharga itu bukan hanya saya dapatkan dari trainer, peserta lain dari 18 negara, tapi juga dari beberapa yayasan, organisasi, dan instansi pemerintah di beberapa negara Asia juga AS.

Setelah mendapatkan beberapa teori tentang kepemimpinan di East West Center, Hawaii, kami melakukan field study ke Thailand, Singapura, dan Mongolia. Lokasi field study terakhir kami adalah Washington DC sebagai pusat pemerintahan AS.

Selama di DC--begitu warga AS biasa menyebut Washington DC--kami melakukan pertemuan dengan beberapa instansi pemerintah dan organisasi swasta dari beberapa area berbeda. Di antaranya Dirksen Senate Office Building, gedung tempat anggota senat AS bertugas.

Setelah pertemuan itu, kami juga diberi kesempatan melihat langsung proses voting untuk sebuah kebijakan yang dibuat oleh anggota Parlemen AS. Setiap pengunjung dilarang membawa alat elektronik ke dalam ruang sidang, semuanya dititipkan pada penjaga di pintu masuk. Selama di dalam ruang itu kami juga tak boleh mencatat apa pun, berbicara, maupun berbisik.

Ruang sidang tersebut berlokasi di dalam Capitol Building yang juga menjadi tempat utama yang biasa didatangi para pengunjung selain Gedung Putih (White House) saat berada di Washington DC.

Pada hari berikutnya kami juga diberi kesempatan bertemu dengan perwakilan beberapa kementerian Pemerintah AS di US State Department Building. Untuk dapat masuk ke dalam gedung tersebut, kami melewati screening dan pemeriksaan keamanan superketat. Peserta dari luar negeri semuanya wajib menunjukkan paspor dan mendapatkan visitor card ataupun kartu pengunjung terlebih dulu. Kegiatan hari itu diakhiri dengan pertemuan dengan seorang penasihat senior parlemen dan Kementerian Luar Negeri AS, Michael Schiffer, Senior Adviser to the US Senate Committee on Foreign Affairs. Pertemuan dengan Schiffer di ruang kerjanya didesain dalam bentuk diskusi dan percakapan ringan. Pertemuan itu membuat saya surprise karena beberapa kali nama saya dipanggil dan ditanyakan perkembangan di Aceh setelah kejadian tsunami 26 Desember 2004. Kebetulan saya satu-satunya peserta dari Indonesia.

Selanjutnya, kami melakukan visitasi ke beberapa perusahaan media baik surat kabar maupun televisi. Saya sangat terkesan saat kami mengunjungi Kantor Redaksi Surat Kabar Politico di daerah downtown-nya DC. Politico lebih fokus kepada bidang politik dalam negeri AS dan isu-isu terkini politik luar negeri lainnya.

Dalam pertemuan yang diwakili langsung oleh empat jurnalis senior dan juga pimpinan divisi beberapa bidang di kantor tersebut, mereka memberi kesempatan bagi kami untuk bertanya apa saja mengenai jurnalis dan kegiatannya. Mereka sangat terbuka pada setiap pengunjung, khususnya yang ingin belajar dan magang. Ketika giliran saya memperkenalkan diri, salah seorang dari mereka langsung bertanya bagaimana perkembangan di Aceh setelah sebelas tahun tsunami? Di antara mereka mengaku pernah ke Aceh tahun 2005 untuk meliput langsung perkembangan beberapa bulan setelah tsunami. Dalam rangka memperingati sebelas tahun tsunami kali ini juga beberapa koran dan majalah di AS masih mengangkat kabar dan perkembangan Aceh bangkit setelah musibah tsunami.

Pengalaman terakhir yang sangat berkesan dalam kegiatan field study ini adalah menjadi salah seorang volunteer (relawan) di DC Central Kitchen. Kitchen yang berarti “dapur” berkontribusi luar biasa dalam menyalurkan makanan, khususnya bagi orang-orang homeless atau tunawisma di DC. DC juga memiliki masyarakat yang tak bertempat tinggal tetap dan berkehidupan susah untuk makan sehari-hari. Peran kami di DC Central Kitchen adalah membantu chefs ataupun tukang masak menyiapkan makanan 6.000 porsi untuk makan siang. Kebersihan adalah bagian yang sangat diperhatikan di dapur ini. Pernah ketika sedang memotong sayuran, sekeping kol yang saya potong terjatuh, lalu saya ambil dan masukkan ke tempat sampah, si bapak tukang masak langsung menegur saya. Katanya, tak perlu mengambil apa pun yang terjatuh, karena ada satu orang yang tugasnya hanya membersihkan semua sampah di lantai. Saya pun diminta mengganti sarung tangan, baru boleh melanjutkan lagi membantu menyiapkan makanan.

DC Central Kitchen ini bertahan karena banyaknya support dan sumbangan dari perusahaan, organisasi pemerintah, swasta, juga pribadi yang menyumbang bahan makanan maupun dana. Saya terbayang beginilah para relawan dulu bekerja dan membantu sukarela para korban dan pengungsi ketika tsunami melanda Aceh. Kejadian dahsyat tsunami sebelas tahun lalu selain membawa duka, juga telah mengangkat nama Aceh di mata dunia. Cerita tsunami Aceh bagai tak habis-habisnya diceritakan sampai kapan pun di mana pun. Inilah salah satu hikmah di balik bencana.

* Bila Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas Anda ke email: redaksi@serambinews.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved