Opini
Teladan Nabi SAW
ADA nuansa yang berbeda di Aceh apabila bulan maulid tiba dibandingkan dengan bulan-bulan
Oleh Agustin Hanafi
ADA nuansa yang berbeda di Aceh apabila bulan maulid tiba dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Karena ada sebagian masyarakat yang mengadakan kenduri khusus dengan mengundang sanak famili, keluarga, tetangga, kerabat dan handai taulan ke kediaman pribadi atau di meunasah gampong. Ada juga sebagian masyarakat mengadakan zikir secara berjamaah, membaca barzanji sebagai bentuk pujian kepada Nabi saw, atau juga mengundang penceramah untuk memberikan pencerahan agar masyarakat selalu mengingat jasa dan perjuangan Nabi Muhammad saw. Intinya bagi kalangan tertentu bulan maulid ini adalah bulan sakral untuk mengikat tali silaturrahmi, gotong royong antarsesama atau kepentingan lainnya.
Terlepas dari acara seremonial itu, mengingat jasa dan perjuangan, berselawat dan meneladani sifat-sifat Nabi saw, melakukan kebaikan, seyogyanya bukan hanya pada momen-momen tertentu tetapi kapan pun dan di manapun berada harus senantiasa meneladani beliau sehingga kita memperoleh kebahagiaan dan mendapat syafaat dari beliau kelak di yaumil mahsyar. Muhammad saw hadir ke pentas bumi ini dengan membawa risalah Ilahi sebagai pegangan hidup agar selamat di dunia maupun di akhirat. Sosok Muhammad saw merupakan manusia berkepribadian agung sebagaimana firman Allah swt: “Dan Sesungguhnya kamu wahai Muhammad benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam: 4).
Dengan demikian, segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw harus kita teladani dan diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan. Beliau dikenal sebagai sosok manusia yang sangat jujur sehingga masyarakat pada masa itu menjulukinya dengan al-amin. Maka sungguh sesuatu yang indah dalam hidup kita apabila meneladani sifat yang mulia ini. Dengan bersikap jujur dalam perkataan dan perbuatan, praktik korupsi, pencucian uang, mencontek ketika ujian, pemalsuan ijazah, pengkhianatan terhadap ikatan pernikahan, dan lain-lain dapat dihindari dengan baik.
Nabi Muhammad saw juga selalu menebarkan senyum dan mengucapkan salam, assalamu’alaikum yang mengandung arti keselamatan, kedamaian, dan kebaikan sebagai bentuk doa dan harapan yang tulus kepada Allah Swt. Beliau tidak pernah membedakan antara miskin dan kaya, siapa pun yang bertamu ke rumah Beliau disambut dan diterima dengan ramah, dan diajaknya bicara tanpa beban dan kesulitan. Bersalaman, tidak melepaskan tangan kecuali yang menjabat sendiri melepaskannya, tidak menjulurkan kaki ketika duduk bersama-sama, dan mengantarkan tamunya hingga ke pagar rumah ketika hendak pulang sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap tamu.
Menghapus kasta
Muhammad saw telah menghapus kasta, perbedaan warna kulit, suku, dan golongan. Mengakui semua kedudukan manusia, tidak ada yang lebih mulia antara yang satu dengan lainnya kecuali ketakwaan kepada Allah. Beliau sangat menyayangi sesama saudaranya yang muslim, tidak pernah mencaci, menyakiti, dan tidak membedakan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Berbeda dengan perlakuan kita kepada orang lain yang terkadang masih melihat bahasa dan daerah asal seseorang. Kalau memiliki bahasa yang sama atau daerah asal yang sama, maka urusannya akan dipermudah dan dibantu sedemikian rupa, tetapi berlaku diskriminasi terhadap yang tidak sama dengan kita.
Terkadang juga kita masih merasa lebih mulia lantaran memiliki tanah leluhur, sedangkan orang lain kita anggap hanya tamu. Ini terkadang sering diperparah pula dengan sikap tamu yang kurang menghargai tuan rumah, seolah-olah apa yang dibawanya semuanya baik dan benar, sehingga antara tuan rumah dan tamu tidak pernah terjadi hubungan baik karena saling mengklaim dan merasa paling baik. Padahal semua kita berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam dan Hawa yang semuanya dibebankan tugas menjadi khalifah di muka bumi ini. Jadi, sesungguhnya sesama manusia itu ialah bersaudara, yang semestinya harus saling asah asih dan asuh, sehingga kita dapat hidup dalam suasana damai, aman, nyaman yang merupakan bagian dari cita-cita suci agama Islam.
Muhammad saw sangat baik dan lemah lembut kepada budak maupun pembantu, dan tidak pernah berkata kasar kepada mereka. Sebaliknya, kita terkadang kita suka membebankan pembantu melebihi kemampuannya, menuntutnya untuk selalu bekerja berdasarkan keinginan dan selera kita, suka menghardik, mengancam dan mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh, bahkan terkadang membedakan pakaian dan menu yang kita punya sehingga dia benar-benar budak yang diperbudak tanpa ada unsur ukhuwah insaniah.
Nabi Muhammad saw sangat santun kepada isterinya, akrab, selalu tersenyum, tertawa, dan lemah lembut. Jika masuk ke keluarganya, beliau mengucap salam, wajahnya berseri memancarkan senyum. Rasulullah adalah suami yang ketika di rumah memberikan keteduhan, dan ketika pergi menyisakan kerinduan di hati. Beliau tak pernah berkata: “Kamu ini isteri seorang rasul, jadilah manusia sempurna, jadilah simbol keagungan dan kegagahan.”Nabi juga tak pernah meletakkan tangan ke mulut Aisyah untuk mencegahnya berbicara, membantah, atau marah. Bila ingin meluruskan sebagian keinginannya yang menyimpang, beliau melakukannya dengan metode pendampingan, memberikan nasihat, dan tidak sampai memaki-maki sedikitpun.
Nabi saw sama sekali tak pernah menunjukkan kebencian kepada isteri-isterinya, tak pernah melecehkan dan merendahkan, tak pernah beliau mengangkat tangan, atau tongkat untuk memberi pelajaran ataupun untuk bersenda gurau, tidak pernah marah atau jengkel atas sikap isterinya. Nabi tidak pernah memukul isterinya, bahkan beliau melarang, sebagaimana sabdanya “Apakah tidak malu kamu memukul isterimu? Siang kamu pukuli, malam kamu kumpuli”. Ketika di rumah, beliau melayani keluarga, menjahit baju, mengesol sandal, memerah susu, mengerjakan keperluan sendiri, dan menambal timba. Begitu tiba waktu shalat, beliau lalu shalat.
Meneladani Rasul
Oleh karena itu, mari kita meniru dan meneladani sikap Rasulullah yang demikian terpuji itu, sehingga kehidupan dalam keluarga kita menjadi indah dan bahagia. Hal itu akan dapat terwujud sekiranya suami maupun isteri tidak pernah menyakiti dan melukai perasaan pasangan, memahami dan menerima kekurangan yang dimilikinya, tidak pernah berteriak apalagi mencaci dan mencemooh kekeliruan yang dilakukannya, tidak pernah merendahkan status sosial yang dimilikinya, tetapi saling menghormati, menghargai, menanggalkan sifat kaku, menyapa dengan panggilan lembut dan sejuk, penuh senyum dan wajah berbinar sehingga selalu merindukan kehadirannya di sisinya. Maka ungkapan “rumah tanggaku surgaku” benar-benar menjadi kenyataan.
Kepribadian Rasulullah yang luhur itu harus kita jadikan panutan, salah satunya dengan berbuat baik kepada pasangan. Suami harus bersikap lemah lembut kepada isterinya. Dan sungguh naif kalau saat ini masih ada di antara kita yang bersikap kasar kepada isterinya. Isteri juga jangan mudah emosi, ngambek, acuh dan cuek, atau bersikap masabodo terhadap situasi atau kondisi rumah juga suami, tetapi hendaknya mampu dan mau menyelesaikan semua permasalahan dengan berdialog, bermusyawarah, dan masing-masing pihak mau untuk saling mendengarkan curahan hati (curhat) pasangannya tanpa bersikap menggurui, mengakui kesalahan diri kemudian mengevaluasi dan memperbaikinya dengan alasan kasih sayang dan tujuan pernikahan yang sakinah mawaddah warahmah.
Sikap pengertian, saling memahami, kematangan berfikir itulah jalan menuju kebahagiaan hidup berumah tangga, sebagaimana yang telah dipraktekkan Rasulullah yang tidak pernah menghina atau protes terhadap masakan dan hidangan isterinya. Kemudian masing-masing pihak harus perhatian kepada pasangannya, misalnya apa saja yang dia sukai, dan apa saja yang tidak dia senangi, jangan terlalu perhitungan, berusaha menyenangkannya dengan mengajak ke tempat yang dia sukai.
Apakah selama ini kita lebih peduli dan perhatian kepada teman dan rekan sejawat kita, sedangkan kepada isteri atau suami dan anak tidak mau tahu? Padahal bila ditakdirkan salah satunya dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa lebih awal, maka yang berkaitan dengan hutang piutang, warisan, dan lain-lain, yang pertama sekali ditanya oleh hakim adalah isteri atau suami yang ditinggalkan. Kemudian perlu disadari bahwa doa yang dikabukan Allah tanpa hijab bukan berasal dari orang lain, tetapi dari suami maupun isteri serta anak yang saleh.
Begitulah sosok kepribadian Nabi Muhammad saw yang sungguh agung dan mulia yang kehadirannya menjadi rahmatan lil ‘alamin, bahkan orientalis seperti Michael Hart menempatkan beliau di urutan pertama sebagai seorang tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Jadi alangkah ruginya hidup kita kalau yang diteladani dari Muhammad saw hanya sebatas jenggot dan surbannya saja. Maka momentum dan spirit bulan maulid ini jangan kita jadikan hanya sekadar untuk menghidangkan kuah beulangong, tetapi marilah kita meneladani kepribadian Rasulullah Saw yang begitu baik dan santun. Wallahu a'lam.
* Dr. H. Agustin Hanafi, MA., Ketua Prodi Hukum Keluarga pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT-Aceh). Email: agustinhanafi77@yahoo.com