Opini
Guru Profesional dan Tantangan Global
TAHUN ini, tepatnya 25 November 2016, para guru di Indonesia kembali memperingati Hari Guru
Oleh Murni
TAHUN ini, tepatnya 25 November 2016, para guru di Indonesia kembali memperingati Hari Guru Nasional yang ke-71 dengan penuh sukacita. Bagaimana tidak, mengulas sejarah masa lalu perjuangan para pendidik bangsa untuk mencetak generasi yang akan datang ini diperoleh dengan tidak mudah demi mewujudkan satu organisasi yang bernama PGRI dan ini adalah sebuah perjuangan yang luar biasa. Pada saat itu, semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru bangsa Indonesia.
Organisasi perjuangan guru-guru pribumi pada zaman Belanda berdiri pada 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Pada 1932 (PGHB) berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan nama organisasi guru ini membuat pemerintah Belanda sangat terkejut, karena kata “Indonesia” mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya, para guru dan rakyat sangat mendambakan kata “Indonesia”.
Akan tetapi pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitasnya. Perjuangan guru di Indonesia terus berjuang berbekal semangat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, sehingga diadakan sebuah kongres pada 24-25 November 1945 di Surakarta, Jawa Tengah, yang melahirkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Guru masa kini
Apabila mencermati fenomena guru pada kini tentu jelas berbeda dengan guru pada masa zaman penjajahan. Sebagai penjelasannya, guru pada masa kini atau guru abad 21 ditantang untuk melakukan akselerasi terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pembelajaran di kelas dan pengelolaan kelas, pada abad ini harus disesuaikan dengan standar kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tersebut.
Menurut Susanto (2010), terdapat tujuh tantangan guru di abad 21, yaitu: (1) Teaching in multicultural society (mengajar di masyarakat yang memiliki beragam budaya dengan kompetensi multibahasa); (2) Teaching for the construction of meaning (mengajar untuk mengonstruksi makna/konsep); (3) Teaching for active learning (mengajar untuk pembelajaran aktif);
(4) Teaching and technology (mengajar dan teknologi). Sebagai contoh guru pada masa zaman kolonial Belanda mengajar dengan papan tulis hitam dan kapur tulis dengan segala keterbatasannya. Dementara saat ini, guru mengajar dengan menggunakan Laptop, infokus, flash disk, memory card, microphone, sound system dan dibantu dengan layar tanpa harus menulis di papan tulis. Tentunya ini sangat menghemat waktu dan juga guru tidak terlalu lelah, sehingga tetap fit dan penuh semangat.
Guru juga dapat memutar video pembelajaran sebagai media dan disesuaikan dengan tema. Guru juga dapat menjelaskan suatu situs bersejarah lewat video online tanpa harus pergi ke tempat tersebut jadi seolah-olah siswa sudah berada di lokasi yang aslinya. Misalnya siswa yang berada di Aceh bisa melihat, mendengar langsung Masjid Istiqlal secara online dengan dipandu oleh narasumber yang berada di Istiqlal tersebut dan dapat berkomunikasi langsung tanpa harus pergi ke Jakarta. Guru tidak boleh gaptek (gagap teknologi-red.) dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), karena itu adalah tantangan yang harus dihadapi secara global;
(5) Teaching with new view about abilities (mengajar dengan pandangan baru mengenai kemampuan; (6) Teaching and choice (mengajar dan pilihan), dan; (7) Teaching and accountability (mengajar dan akuntabilitas). Guru yang mampu menghadapi tantangan tersebut adalah guru yang profesional yang memiliki kualifikasi akademik yang baik dan memiliki kompetensi-kompetensi antara lain kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial yang qualified.
Pesan Imam Ghazali
Untuk menjadi seorang pendidik yang baik dan profesional, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum al-Din dengan menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang guru: Pertama, jika praktik mengajar merupakan keahlian dan profesi dari seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Kedua, seorang guru harus meniru Rasulullah saw yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat ber-taqarrub kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental dan jiwa.
Ketiga, seorang guru yang profesional hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt, dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniaan. Seorang guru tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Kelima, seorang guru yang profesional juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali menasihatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya. Ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya.
Ketujuh, seorang guru yang profesional adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabiat dan kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal ini dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang murid kepada guru, gelisah dan ragu-ragu. Dan, kedelapan, seorang guru yang profesional adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa.
Guru profesional
Guru profesional adalah guru yang mampu menyesuaikan dirinya dengan tantangan zaman sebagai pelopor kemajuan bangsa. Guru profesional abad 21 bukan lagi hanya sebagai penyampaian informasi dan pengetahuan, tetapi lebih sebagai pendamping yang memfasilitasi terjadinya proses penghayatan pengalaman. Proses penghayatan pengalaman sebagai proses penemuan makna kehidupan oleh murid sebagai pelajar, yang menuntut guru profesional sebagai model, fasilitator dan dinamisator.