Menyoal Independensi Komisioner KKR Aceh
BELUM setahun setelah tujuh komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dilantik oleh Gubernur Zaini Abdullah
Oleh Zahlul Pasha
BELUM setahun setelah tujuh komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dilantik oleh Gubernur Zaini Abdullah, nasib mengenaskan nampakanya sudah menghinggapi lembaga tersebut. Sebelumnya, tersiar kabar bahwa beberapa komisioner berniat mengembalikan SK pengangkatan kepada Gubernur akibat Pemerintah Aceh bersikap tidak serius kepada lembaga ini, terutama dalam pengadaan perangkat operasional lembaga tersebut, bahkan yang bersifat utama sekalipun. Namun, tidak jelas bagaimana kelanjutan rencana sejumlah komisioner itu dan tidak ada kabar pula mengenai respons Pemerintah Aceh terhadap rencana itu.
Di samping itu, satu hal lain kembali mengemuka dalam beberapa hari terakhir berkaitan dengan sifat independensi komisioner KKR Aceh seiring masuknya seorang komisionernya ke dalam satu partai politik lokal Aceh (Serambi, 13/6/17). Jika merujuk pada Qanun No.17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh, tentu tindakan tersebut “diharamkan” (Pasal 11). Selain melanggar ketentuan hukum dalam qanun, tindakan komisioner KKR Aceh ini juga “mengkhianati” KKR Aceh yang jelas-jelas dinyatakan sebagai lembaga independen. Masuknya seorang komisionernya ke dalam suatu parpol, dikhawatirkan kerja KKR Aceh berpotensi tidak independen dan setiap keputusan yang dihasilkan akan bertendensi politik.
Ditilik dari segi pembentukannya, sesungguhnya KKR adalah lembaga alternatif yang dihadirkan karena kesadaran akan adanya masalah yang serius yang melekat pada sistem peradilan umum dalam menyelesaikan kejahatan terhadap HAM. Kehadiran KKR sebenarnya merupakan pengakuan diam-diam bahwa sistem peradilan umum tak dapat diharapkan terlalu banyak untuk menyelesaikan berbagai kejahatan terhadap HAM yang pengoperasiannya berada dalam wilayah pengaruh politik. Masuknya pengaruh politik ke dalam KKR Aceh menjadikan lembaga tersebut sama saja dan tidak ada bedanya dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya.
Problematika independensi
Problematika independensi komisioner KKR Aceh, sesungguhnya tidak hanya terjadi pada kasus di atas. Jika kita membaca Qanun KKR Aceh dengan seksama, beberapa ketentuan dalam qanun tidak mengatur sifat independensi komisioner KKR Aceh secara detail. Setidaknya, ada dua poin utama yang luput diatur oleh qanun perihal independensi KKR Aceh: Pertama, prosedur pengambilan keputusan kelembagaan yang berkaitan dengan tugas dan fungsi komisi. Di dalam qanun KKR, jika dibaca secara cermat tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang tata cara pengambilan keputusan di dalam lembaga tersebut. Padahal sejatinya, pengaturan tentang pengambilan keputusan sangat penting dalam setiap lembaga untuk menghindari perselisihan dalam pengambilan keputusan, apalagi menyangkut urusan penegakan hukum layaknya urusan yang diemban KKR Aceh, seperti kasus mana yang harus terlebih dulu diprioritaskan dan ditangani maupun kasus mana yang dikesampingkan.
Suatu lembaga independen memiliki model pengambilan keputusan secara kolegial kolektif yang menjadi ciri eksistensinya. Karena sesungguhnya sulit untuk mengkategorisasikan suatu lembaga itu independen jika tidak memiliki ciri tersebut. Proses kolegial kolektif sesungguhnya dimaksudkan untuk saling kontrol antar komisioner, meski pada sisi lain dapat menghambat proses pengambilan keputusan, yang berakibat pada terhambatnya pekerjaan kelembagaan. Akan tetapi, bila dikesampingkan begitu saja, akan berpulang pada cacat prosedural yang dapat melahirkan gugatan atas pengambilan keputusan dimaksud.
Sistem kolegial-kolektif adalah satu cara demokritisasi proses dalam suatu lembaga independen. Dengan model pengumpulan keputusan yang demikian, harapannya setiap keputusan yang diambil, baik secara prosedural maupun akuntabilitas dan legitimasinya akan lebih terjaga. Bahkan jika seorang dari mereka tidak setuju keputusan yang diambil, mau tidak mau harus menerima sebagai suatu keputusan yang sah, karena diambil dengan cara yang dianggap adil. Berasal dari pengambilan keputusan yang terbuka dan inklusif, dengan proses yang transparan, setara dan musyawarah.
Kedua, perihal pengisian jabatan anggota komisi. Perihal tersebut tidak pula dicantumkan di dalam qanun. Qanun KKR Aceh hanya sebatas menentukan kualifikasi keanggotaan, seperti kriteria anggota, pemberhentian dan pergantian antarwaktu. Penggantian antarwaktu pun tidak lagi melalui proses seleksi panitia independen, melainkan diambil dari cadangan komisioner KKR Aceh berdasarkan nomor urut tertinggi pada waktu seleksi. Pergantian komisi yang telah berakhir masa jabatannya dilakukan secara berbarengan dalam jangka waktu lima tahun, bukan bertahap atau bergantian (staggered terms) sebagaimana lazimnya pergantian anggota komisi suatu lembaga independen.
Pengisian jabatan secara staggered terms dalam suatu lembaga independen dimaksudkan agar lembaga lainnya seperti eksekutif maupun legislatif tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga tersebut, karena periodesasinya tidak mengikuti periodesasi suatu lembaga politik tertentu. Dengan karakteristik yang demikian, suatu lembaga independen relatif memiliki posisi yang leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan mananpun secara mutlak. Apalagi bagi KKR Aceh yang melaksanakan tugas mengungkap kebenaran dugaan pelanggaran HAM berat.
Suatu lembaga independen, pada prinsipnya memiki beberapa ciri teoritik yang menjadi dasar lembaga tersebut (Mochtar, 2015). Pertama, lembaga yang lahir dan ditempatkan tidak menjadi bagian dari cabang kekuasaan yang ada, meskipun pada saat yang sama ia menjadi lembaga independen yang mengerjakan tugas yang dulunya dipegang oleh pemerintah; Kedua, proses pemilihannya melalui seleksi dan bukan oleh political appointee, yakni tidak melalui monopoli satu cabang kekuasaan tertentu; Ketiga, proses pemilihan dan pemberhentiannya hanya bisa dilakukan berdasar pada mekanisme yang ditentukan oleh aturan yang mendasarinya.
Keempat, proses deliberasinya sangat kuat, sehingga baik keanggotaan, proses pemilihan dan pelaporan akan kinerjanya didekatkan dengan rakyat selaku pemegang kedaulatan; Kelima, kepemimpinan yang bersifat kolegial dan kolektif dalam pengambilan setiap keputusan kelembagaan yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya; Keenam, bukan merupakan lembaga negara utama yang dalam kaidah tanpa keberadaannya negara mustahil berjalan. Tetapi bukan berarti tidak penting untuk ada. Keberadaannya tetap penting, karena tuntutan masa transisi maupun kebutuhan ketatanegaraan yang semakin kompleks; Ketujuh, bersifat self regulated dalam artian bisa mengeluarkan aturan sendiri yang juga berlaku secara umum, dan; Kedelapan, memiliki basis legitimasi di aturan baik konstitusi dan/atau UU.
Diatur dalam qanun
Dari delapan karakteristik lembaga independen di atas, sejumlah sifat keindependenan KKR Aceh berdasarkan karakteristik itu memang diatur secara jelas di dalam qanun, kecuali dua poin utama yang telah disebutkan di atas. Pengaturan yang jelas yakni mengenai jumlah anggotanya yang ganjil, proses pemilihannya melibatkan panitia seleksi yang independen, proses pemilihan dan pemberhentiannya serta memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri (self regulated bodies).
Pendapat Mochtar di atas pada dasarnya berkaitan dengan karakteristik lembaga negara independen, akan tetapi sifatnya tersebut dapat dijadikan alat untuk melihat sisi independensi KKR Aceh sebagai suatu lembaga di tingkat daerah. Perbedaannya hanya terletak dalam wilayah berlakunya saja, jika suatu lembaga negara ruang lingkup kerjanya dalam skala Nasional, sedangkan lembaga daerah seperti KKR Aceh terbatas dalam wilayah lokal (Asshiddiqie, 2006). Keberadaan lembaga di tingkat daerah bertujuan untuk menjamin ruang gerak daerah guna memenuhi kebutuhan yang bersifat khas daerah. Keberadaannya diatur oleh pemerintah daerah sendiri dengan peraturan daerah dan rambu-rambu normatifnya diatur dalam UU.
Berdasarkan karakteristik di atas, kehadiran KKR Aceh sebagai suatu lembaga independen nampaknya masih menyisakan persoalan dalam dua hal utama, yakni menyangkut prosedur pengambilan keputusan kelembagaan dan perihal pengisian jabatan anggota komisi.Memang, kedua hal masih merupakan potensi dan belum menunjukkan masalah bagi KKR Aceh, mengingat sejauh ini lembaga tersebut belum menunjukkan hasil kerja apapun yang dapat dinilai berdasarkan sifat independensinya itu.
Kecuali itu, terhadap komisioner KKR Aceh yang terlibat dalam struktur parpol sebagaimana dijelaskan di awal tulisan, secara nyata telah melanggar hukum (Qanun KKR) dan jika terbukti melakukannya, maka harus diberhentikan sebagai anggota KKR Aceh. Karena bagaimanapun, apabila suatu lembaga independen telah disusupi oleh kepentingan politik tertentu, hal yang paling mungkin terjadi adalah lumpuhnya pergerakan lembaga tersebut.