Opini
Menuju Birokrasi Berkualitas
PEMIMPIN Aceh telah berganti. Pelan tapi pasti, dimulai dari pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur pada 5 Juli 2017
Oleh Zarkasyi Yusuf
PEMIMPIN Aceh telah berganti. Pelan tapi pasti, dimulai dari pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur pada 5 Juli 2017 lalu oleh Mendagri. Secara perlahan, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf melantik satu persatu bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota terpilih periode 2017-2022. Ketika tampuk pimpinan dipegang oleh orang-orang baru, maka dapat dipastikan akan terjadi pembaruan (promosi, mutasi dan rotasi) jajaran di bawahnya.
Tulisan ini tidak untuk menyoal mutasi dan promosi dalam dunia birokrasi yang mungkin akan dilakukan oleh pemimpin baru Aceh, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Tulisan ini lebih pada membentangkan fenomena (peukateun) yang terjadi dalam dunia birokrasi di Negeri ini, serta berharap bahwa di bawah kendali pemimpin baru Aceh akan terwujud birokrasi berkualitas.
Delly Mustafa dalam buku Birokrasi Pemerintah (2013:124) mengatakan, sangat sulit menentukan penampilan birokrasi di Indonesia. Namun, jika dilihat dari kenyataan hari ini, dapat dikatagorikan dalam birokrasi patrimonial sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber, ciri birokrasi ini adalah; para pejabat disaring atas kinerja pribadi, jabatan dipandang sebagai sumber kekuasaan dan kekayaan, para pejabat mengontrol fungsi politik maupun administrasi dan setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Hal biasa
Sebenarnya, promosi, mutasi dan rotasi adalah hal biasa dalam dunia birokrasi, menurut Ricky W Griffin (2003;68), mutasi pejabat merupakan satu bentuk penggunaan kekuasaan oleh penguasa dalam menjalankan rencana kerja menuju hal yang positif, selama hal tersebut dilakukan mengikuti batas-batas yang dibenarkan dalam dunia kerja.
Satu sisi, mutasi adalah hal biasa. Tetapi Sisi lain, jabatan yang disandang seseorang dipandang sesuatu yang luar biasa, apalagi dengan kewenangan yang dimilikinya sebagai fungsi dari jabatannya itu. Siapa pun, tentu akan merasa khawatir jika “anugerah” luar biasa pergi darinya, untuk mempertahankan “anugerah” tersebut pasti akan diupayakan berbagai macam cara, bahkan kadang mengabaikan pesan-pesan dan petuah agama.
Dalam kondisi ini, para pejabat yang merasa akan tergantikan oleh pergantian pimpinan akan cenderung melakukan wait and see, sambil melakukan manuver (lobi-lobi) untuk mengamankan jabatannya. Para pejabat ini pun akan melakukan sesuatu yang dalam hal ini saya sebut dengan komunikasi birokrasi. Komunikasi ini bertujuan untuk mendekati pimpinan atau orang-orang dekatnya (timses dan tim ‘sah) dengan satu target utama yaitu menyelamatkan posisi (jabatan).
Dalam perspektif komunikasi, lobi dan dan manuver sah-sah saja dilakukan, namun tergantung cara menggunakan dan tujuan penggunaannya. Selama dipergunakan dengan cara-cara yang sopan dan beradab serta bertujuan untuk kemashlahatan bersama mungkin masih “bisa ditoleril”, sebaliknya jika digunakan hanya untuk menguntungkan diri sendiri dan kelompok tertentu maka komunikasi birokrasi hanya akan memperparah kerusakan dalam dunia birokrasi (patologi birokrasi).
Sementara itu, pimpinan yang baru akan “diserbu” oleh berbagai macam informasi dan bisikan, Intensitas dan kualitas bisikan akan berbading lurus dengan lamanya waktu pergantian. Tentu butuh sikap bijak untuk memindai segala jenis bisikan agar menjadi informasi akurat dan akuntabel. Jika kondisi ini mampu dilalui dengan baik dan menghasilkan keputusan tepat untuk memilih pejabat yang benar-benar memiliki kapasitas (capability) maka pimpinan akan mendapat penghargaan dan dukungan. Namun, bisa saja terjadi sebaliknya.
Dalam pandangan Islam, bekerja (ikhtiar) adalah suatu kewajiban bagi setiap insan, karena dengan bekerja seseorang memperoleh penghasilan yang dapat menompang kehidupan dan mendukung untuk penghambaan dirinnya kepada sang Pencipta, apalagi pekerjaan tersebut membawa manfaat (mashlahat) bagi masyarakat banyak, sebab manusia yang baik adalah manusia yang mampu memberikan manfaat bagi manusia lain. Islam juga mengatur etika dalam bekerja, sehingga apapun pekerjaan yang dilakukan akan selalu membawa kebaikan, termasuk juga bekerja dalam dunia birokrasi.
Di antara etika tersebut adalah; bekerja ikhlas karena Allah, tekun dan sungguh-sungguh, jujur dan amanah, serta tidak melanggar prinsip-prinsip syariah dan juga aturan-aturan yang telah diatur dalam menjaga kemaslahatan kerja itu sendiri. Di samping itu pula, ada beberapa hal yang harus dijauhi sebab akan merusak dan menebar bahaya dalam dunia kerja diantaranya; hasad (dengki), saling bermusuhan, berprasangka buruk, sombong dengan jabatan serta mengadu domba (namimah).
Bekerja profesional
Masih ingat dengan Presiden Hindia ke-11 Avul Pakir Jainulabden Abdul Kalam, satu pesannya berkaitan dengan dunia kerja adalah “cintailah pekerjaanmu, jangan mencintai perusahaan tempat kamu bekerja, karena kamu tidak pernah tahu kapan perusahaan itu akan mendepak dirimu”. Pesan tersebut bermakna, bekerjalah dengan profesional, jangan pernah terlibat dalam “politik birokrasi” yang tak pernah usai dan larut dalam kepentingan yang tidak bertepi.
Kaitan dengan dunia birokrasi, promosi dan mutasi tentu harus didasari pada aturan-aturan yang berlaku berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sejalan dengan aturan. Dalam dunia kerja, sesuatu itu tentu didasari pada beberapa indikator sebagai alat ukur, sehingga penilaian dan keputusan yang dihasilkan akan lebih objektif. Sehingga keputusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada Negera tetapi juga Allah Swt.
Harapan besar kita semua bahwa pimpinan yang baru cukup selektif dengan bisikan, serta melakukan seleksi yang ketat untuk menghasilkan pejabat yang berkualitas, tidak hanya bagus intelektualnya tetapi juga baik akhlaknya. Melalui sabdanya Rasulullah mengajarkan bahwa serahkanlah sesuatu urusan itu kepada ahlinya, jika tidak maka tunggulah kehancurannya (H. R Bukhari; no. 57). Oleh sebab itu, uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap pejabat baru tidak hanya sebagai formalitas belaka, tetapi menjadi salah satu metode untuk menyeleksi orang-orang terbaik yang akan diserahkan tanggung jawab besar.
Preseden buruk dunia birokrasi sudah lama berkembang, bahkan telah menjadi opini publik bahwa birokrasi adalah begitu berbelit, banyak aturan yang membuat keruwetan dan lain sebagainya. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah besar dalam rangka reformasi birokrasi, mewujudkan cleane government, serta pelayanan yang bermartabat bagi masyarakat Aceh, sehingga sesuailah dengan kaidah bahwa pemimpin itu melayani bukan dilayani (sayyidu al qaumi khadimuhum).