Opini
Goyang Tarian Politik Flamenco di Catalonia
SEBUAH negeri kecil di Spanyol yang berbatasan dengan Prancis bagian selatan Laut Mediterania, bertetangga
Oleh Yusra Habib Abdul Gani
SEBUAH negeri kecil di Spanyol yang berbatasan dengan Prancis bagian selatan Laut Mediterania, bertetangga dengan Provinsi Girona, Leida dan Tarragona. Itulah Catalonia --satu dari 17 provinsi di Spanyol-- mempunyai sejarah panjang memperjuangkan referendum guna menentukan status masa depan negeri itu, sekaligus mempertahankan kedaulatan bahasa dan budayanya.
Mengikut riwayatnya, Catalonia dipugar oleh Hamilcar Barca sejak 300 SM. Oleh karena itu, nama Hamilcar Barca kemudian disematkan menjadi Barcelona, ibu kota Catalonia. Dalam kurun abad ke-5 M, Catalonia dijajah oleh etnik Vasigoth asal Jerman, kemudian pada 712 M, pasukan Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair di bawah khalifah Bani Umayyah, berjaya menaklukkan Castilla, Aragon dan Catalonia; bahkan merambah masuk ke pegunungan Pyrennes, daerah perbatasan antara Spanyol-Prancis. Saat itu, Islam mempengaruhi dan mencorakkan peradaban Catalonia. Namun, setelah Louis de Pious mengalahkan kekuatan Islam pada 801 M, Catalonia diperintah rezim Frankish yang beragama Nasrani.
Bangsa Catalonia pernah dipaksa oleh penguasa Spanyol untuk hanya bertutur dalam bahasa Spanyol. Perjuangan mendaulatkan bahasa Catalonia sudah terjadi sejak kekalahan dalam perang Reaper’s War melawan Spanyol pada 1640, yang akhirnya menyeret Catalonia ke dalam wilayah berdaulat Spanyol. Perlawanan diteruskan, malangnya kekuatan militer Spanyol lebih unggul dan kembali berkuasa hingga 1714.
Sejak itu, Catalonia tidak lagi bebas menentukan haluan politik, ekonomi dan sosial budaya. Padahal dalam takaran ekonomi, Catalonia termasuk ranking kedua termaju dalam hal industri di Eropa, setelah Inggris pada kurun abad ke-18. Namun kejayaan ini tidak berarti apa-apa, karena segala kebijakan ditentukan oleh pemerintah pusat Spanyol yang tidak memberi ruang dan wewenang penuh. Kemesraan politik tidak pernah wujud di antara Catalonia dan Spanyol. Kehidupan sosial-politik dan ekonomi seakan-akan bebas, padahal dalam realitasnya dijajah.
Akan tetapi secara perlahan dan pasti, Catalonia terus melangkah untuk memastikan diri lepas dari koloni Spanyol. Walau pun mengalami masa suram saat Jenderal Francis Franco dan Primo de Rivero berkuasa (periode 1939-1975), yang mengharamkan bahasa Catalan dipakai sebagai pertuturan sehari-hari (linguafranca), larangan pengibaran bendera dan mementas karya-karya seni, budaya, resam berciri Catalonia, bahkan me-mansukh-kan paket Otonomi 1932. Harapan kembali cerah, setelah hak Otonomi dipulihkan semula pada 18 September 1979 melalui UU Statute of Autonomy. Sejak itu, Catalonia punya polisi lokal (Mossos d’Esquadra).
Melawan status-quo
Nasionalisme Spanyol di mata dan di hati bangsa Catalonia terasa tawar dan rapuh, karena beratus-ratus tahun mengalami paksaan dari penguasa Spanyol dan perhatian kepada Catalonia tidak sepenuh hati. Timbunan kekhawatiran akan masa depannya, sampai akhirnya mengkristal dalam bentuk gerakan politik melawan status-quo dan policy penguasa yang memaksa mengakui kedaulatan Spanyol terhadap Catalonia. Pada pandangan umum, sudah menjadi tradisi bahwa adanya suatu kemestian memahami negara sebagai institusi politik yang secara eksternal merupakan kekuatan independen dan secara internal adalah kekuasaan tertinggi --kekuatan dan kekuasaan bersifat absolut-- dengan memperalat rakyat untuk menjaga kedaulatan dan otoritasnya.
Tapi di Catalonia, terjadi pertarungan seru memperebutkan pengaruh nasionalisme Spanyol versus nasionalisme Catalonia, yang masing-masing berjuang merekonstruksi kekuatan diri. Catalonia bangkit dari status bangsa tanpa negara (nations without state), sementara pemerintah Spanyol selalu tidak ingat kalau kekalahan dan kemenangan merupakan dua perkara yang boleh bertukar tempat. Perebutan seperti itu sudah dan sedang bertarung di Basque, Flanders, Wallonie, Skotlandia, Quebec, Papua, Aceh, Bougainville, Palestina, Kashmir, Punjab, dan lain-lain. Entah menang atau kalah nantinya, itu soal lain.
Dalam batas-batas tertentu, kasus Catalonia berbeda dengan gejolak politik yang terjadi di kawasan Baltik yang berakhir dengan tamatnya riwayat negara USSR, yang merupakan klimaks dari kegagalan ideologi komunis dan doktrin bernegara yang dibangun. Akhirnya muncul gerakan bangsa-bangsa melawan negara (nations against state). Kasus serupa meletus di kawasan Balkan yang berakhir dengan runtuhnya dominasi kesatuan Yugoslavia. Ledakan-ledakan disintegrasi serupa ini pada saatnya akan muncul di belahan dunia lain yang melahirkan quasi-nation-states.
Demikian pula bangsa Catalonia berani berkiprah dalam pentas politik dan berhasil mendirikan partai politik lokal seperti PSAN (Partit Socialista d’Alliberament Nacional) di era 1960-an, yang berorientasi pro-Catalonia merdeka. Pada 1970-an, PSAN melebar menjadi beberapa faksi, termasuk membentuk satuan organisasi sayap militer, Terra Lliure. Organisasi inilah yang menjadi tiang seri pertahanan bangsa Catalonia, menyusul kemudian berdiri partai politik lokal, seperti ERC (Esquerra Republicana de Catalonia) dan LICS (Linguistic-national initiative Crida a la Solidaritat), yang juga pro merdeka.
Sementara itu, parlemen Catalonia secara mayoritas dikuasai oleh partai koalisi: Partai Republican Left of Catalonia (Esquerra) dan PUC (Popular Unity Candidacy) yang mengantongi 13.4% suara dalam pemilihan umum lokal pada 2012 lalu. Demikian pula CIU (Convergence and Union) dan ICVG (Initiative for Catalonia Greens) dua parlok pro-merdeka mengantongi 57.9% suara, hasil dari koalisi empat parlok yang menuntut diselenggarakan referendum 2014. Untuk dimaklumi, partai Esquerra sudah mendirikan cabang di merata daerah. Partai lokal lain yang mendukung kemerdekaan Catalona adalah CSI (Catalan Solidarity for Independence), EC (Estat Català), UNC (Unitat National de Catalunya), Endavant, PSAN, MDT, Reagrupament dan Arransuatu organisasi pemuda seperti The Union of Maulets, Coordinadora d’Assemblees de Joves de l’Esquerra Independentista, dan organisasi pelajar/mahasiswa seperti Student Unions SEPC dan FNEC.
Tidak juga dinafikan ada faksi yang menolak kemerdekaan, seperti PPC (People’s Party of Catalonia) dan CP (Ciutadans Party) yang mengantongi 14.4% dan 7.6% dalam pemilihan anggota parlemen 2012, tapi suara mereka tidak menentukan. Sebagai satu provinsi dengan status otonomi, Catalonia punya tiga orang wakil di parlemen pusat Spanyol. Bagaimanapun, pemerintah pusat Spanyol tetap berusaha memperkuat posisi Catalonia yang luasnya 32.108 km persegi dan berpenduduk 7,4 juta jiwa (pada 2009) dengan status otonomi.
Referendum
Suatu hal yang menarik adalah dilaksanakan ujian untuk mengukur tingkat kesadaran politik penduduk Catalonia. Untuk itu, referendum tidak resmi diselenggarakan di 167 kota dan ratusan kampung. Ternyata, lebih dari 700 ribu warga negara telah memberikan suara pada 13 Desember 2009. Referendum ini turut dipantau oleh Jill Evans (pemerhati asing dari Members of the European Parliament) dan Frieda Brepoels (utusan dari daerah Flanders), François Alfonsi (perwakilan dari daerah Corsica) dan Oriol Junqueras dari Catalonia. Pada 2012, Artur Mas (Presiden Catalonia) sudah menyatakan sikap bahwa sudah tiba saatnya Catalonia menentukan nasib diri-sendiri (merdeka).
Selain referendum tidak resmi, pooling pernah juga diadakan oleh beberapa institusi seperti (1). Center for Opinion Studies (Centre d’Estudis d’Opinió - CEO); (2). Social Research Centre (Centro de Investigaciones Sociales - CIS) milik pemerintah Spanyol dan (3). Social and Political Sciencies Institute of Barcelona (Institut de Ciències Polítiques i Socials - ICPS) dari University of Barcelona dan Diputation of Barcelona yang diselenggarakan awal 2011 lalu. Tujuannya untuk mengukur kadar kesadaran politik dan kesiapan rakyat menjadi negara merdeka satu ketika nanti.
Perjuangan bangsa Catalonia yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun, tampaknya akan berhasil mencapai kemerdekaan berkat kegigihan dan kesabaran demi meniti dan menggapai cita-cita merdeka. Sementara itu, referendum tidak resmi yang diadakan pada 9 November 2014, untuk menentukan status atau nasib masa depannya. Hasilnya, 80% mendukung kemerdekaan (BBC News/Eropa, 10/11/2014), sisanya menolak.