Dianggap Merugikan, Sejumlah LSM Minta Qanun Jinayat Ditinjau Ulang
Mereka juga menganggap pengaturan di dalam Perda Syariat Islam di Aceh itu berpotensi pada "menguatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan".
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Totok Yulianto mengatakan, Mahkamah Agung (MA) berwenang untuk mengevaluasi Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh yang dianggap bertentangan dengan sejumlah undang-undang.
"MA harus mengambil posisi yudikatif, melihat apakah aturan-aturan (perda) itu bertentangan atau tidak. Kita mendorong MA untuk bertindak," kata Totok.
Peran evaluasi itu dapat diemban MA, lanjutnya, setelah Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) pada April lalu membatalkan kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah (perda).

Totok juga meminta pemerintah pusat dan pemerintah Aceh untuk mengevaluasi materi dan implementasi Qanun Jinayah di Aceh. "Di mana-mana suatu aturan itu tidak ada yang pasti. Artinya harus dievaluasi," kata Totok.
Menurutnya, Perda Syariat Islam itu bertentangan dengan dengan Konstitusi dan beberapa UU. "Seperti hukuman cambuk itu bertentangan dengan UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM," katanya.
Sementara, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengatakan keberadaan Qanun Jinayah (yaitu pasal 5 huruf C) mengakibatkan duplikasi tindak pidana yang sudah diatur dalam KUHP.
"Sehingga terjadi tumpang-tindih peraturan perundangan, termasuk perbedaan sanksi pidana," kata Asfinawati. Dualisme dan duplikasi ini, lanjutnya, bertentangan dengan asas ketertiban dan kepastian hukum seperti diatur dalam UU nomor 12 tahun 2011.
Kekerasan terhadap perempuan
Di hadapan wartawan, Koordinator Program Nasional Solidaritas Perempuan, Nisaa Yura mengatakan Qanun Jinayah tidak mampu melindungi perempuan di Aceh dari kekerasan, dan justru menguatkan potensi kriminalisasi dan diskriminasi.
"Hal itu dapat dilihat dari pasal-pasal yang diatur dalam qanun tersebut, misalnya, pasal 52 (1) yang mengatur mengenai korban perkosaan untuk memberikan bukti," kata Nisaa.

Padahal, lanjutnya, dalam kasus perkosaan, sulit untuk menyediakan alat bukti maupun saksi.
"Terlebih, korban perkosaan juga mengalami dampak psikologis dan trauma yang mengakibatkan mereka kesulitan mengungkapkan apa yang terjadi pada mereka," ungkapnya.
Kenyataan inilah yang menyebabkan korban perkosaan kesulitan untuk mendapatkan keadilan, tegasnya.
Dia kemudian memberikan contoh, kasus perkosaan yang dialami anak perempuan difabel di Kabupaten Bireun, Aceh. "Akibat pasal itu, korban dan keluarganya tidak berani melaporkan kasusnya kepada kepolisian, karena keterbatasan yang dimiliki korban."
Dalam laporannya, Institut Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat ada 339 putusan Jinayat yang dijatuhkan Mahkamah Syariat Aceh sejak 2015 awal hingga Desember 2016.