Salam
Kemiskinan Bertambah, Dana Desa “Menganggur”
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (PMG) Aceh, Prof Dr Amhar Abubakar MSc memperlihatkan
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (PMG) Aceh, Prof Dr Amhar Abubakar MSc memperlihatkan kegusarannya atas lambatnya pencairan dana desa. Sampai akhir pekan kemarin masih ada Rp 1,7 trliun lebih masih menumpuk di bank. Artinya, dari total dana Rp 1,95 triliun, baru ditarik sekitar 10 persen oleh tiga kabupaten.
Amhar mengimbau para bupati dan wali kota se-Aceh yang belum mencairkan dana bantuan desa tahap II segera bersikap. Apabila sampai 31 Desember 2017 tidak ditarik, maka dana itu akan mati dan dikembalikan ke kas umum negara.
Total alokasi dana desa untuk Aceh 2017, senilai Rp 4,892 triliun. Penyaluran kepada 23 kabupaten/kota di Aceh, dibagi dua tahap. Tahap I sebesar 60 persen, nilainya Rp 2,935 triliun, dan semua kabupaten/kota sudah mencairkannya.
Sejak bulan lalu, sudah masuk pencairan tahap II. Tapi sampai 17 November 2017 baru tiga kabupaten/kota yang mencairkan dana bantuan desa tahap II, yaitu Kota Langsa Rp 21,668 miliar, Aceh Tengah Rp 88,430 miliar, dan Aceh Selatan Rp 78,818 miliar. Sedangkan 20 kabupaten/kota lainnya belum menarik dana tahap II.
Memang, ada persyaratan untuk bisa mencairkan dana tahap II. Yakni, para bupati/wali kota harus melaporkan lebih dulu (ke Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal serta kepada Kementerian Keuangan) penggunaan dana tahap I. Jika tidak, pencairan dana tahap II belum bisa dicairkan.
Bagi perangkat desa, mengelola dana besar dengan segala macam rambu-rambu dan keharusan mempertanggungjawabkan secara real dan administratif, bukan hal yang gampang. Selain belum terbiasa, keharusan-keharusan itu juga tidak bisa “dikarang-karang”. Karenanya, proses pertanggungjawaban dana tahap I yang belum beres menjadi alasan utama belum bisa dicairkannya dana tahap II.
Tadinya, kita berharap 1.570 pendamping lokal desa yang sudah terlatih dapat membantu para aparat desa untuk membuat laporan pertanggungjawaban dana. Tapi, ternyata keberadaan para pendamping belum cukup melancarkan urusan penggunaan dana desa. Bahkan, menurut laporan yang diterima Prof Amhar Abubakar, ada sejumlah oknum pendamping yang menjadi “pemain” dalam program dan kegiatan dana desa. Dan, sebagian mereka sudah dipecat.
Di antara kejahatan yang mereka lalukan adalah memungut uang dari kepala desa Rp 3 sampai 3,5 juta ongkos membuat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong (RAPBG). Ada juga
yang menjadi agen, konsultan, atau kontraktor dalam pekerjaan pembangunan infrastruktur desa. “Ini sangat dilarang dan itu bukan tupoksinya pendamping lokal desa,” kata Amhar.
Dengan kenyataan semacam ini, tentu tugas pemerintah adalam peningkatkan bimbingan kepada aparat desa dan masyarakat dalam hal penggunaan dana desa. Selain itu tugas pemerintah termasuk aparat penegak hukum adalah memperketat pengawasan penggunaan dana desa. Sebab, kita mencatat sudah terlalu banyak dana desa yang diselewengkan atau disalahgunakan. Malah ada yang dibawa kabur.
Jadi masalah ini harus segera dibereskan. Kita kasihan, di tengah kemsikinan warga desa yang kian bertambah, dana desa yang mencapai Rp 1,7 triliun lebih malah “menganggur”.