Salam

UUPA Pascaputusan MK

USAI sudah sidang permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu)

Editor: bakri
SERAMBINEWS.COM/FIKAR W EDA
Mendagri saat memberikan penjelasan terkait gugatan judicial review terhadap UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi, Senin (25/9/2017). 

Oleh Zahlul Pasha

USAI sudah sidang permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang selama ini ditunggu-tunggu oleh warga Aceh. Putusan tersebut dibacakan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) bersidang selama beberapa bulan yang lalu dengan menghadirkan sejumlah ahli, baik dari pihak pemohon, pemerintah maupun DPR. Jika diperhatikan secara saksama, sesungguhnya putusan tersebut amat menarik karena memuat pandangan yang sarat nilai filsafat ketatanegearaan dari para hakim MK dalam menafsirkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Selama ini, para hakim MK memang bertindak sebagai penjaga dan penafsir tunggal Undang-Undang Dasar (UUD). Oleh karena itu, MK seringkali disebut sebagai the guardian and the interpretator of the constitution. Para hakimnya dipersyaratkan pula seorang negarawan, sebab harus mampu memahami dan menafsirkan nilai-nilai konstitusi, agar setiap peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD tetap sesuai dengan semangat konstitusi. Putusannya pun bersifat final dan mengikat (final and binding), sehingga tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh untuk menilai validitas putusannya.

Berbagai putusan MK selama ini mendapat perhatian serius dari akademisi, terutama yang bergelut di bidang hukum, umumnya terhadap putusan yang dianggap kontroversial karena dinilai melampaui batas kewenangan MK dan masuk ke ranah legislatif, seperti putusan MK tentang pelaksanaan pemilu serentak 2019 yang dinilai telah mengubah sistem ketatanegaraan kita. Hal ini berdasarkan prinsip, bahwa pada dasarnya MK bukanlah lembaga legislatif yang berwenang membuat norma baru, kewenangan MK hanya sebatas membatalkan suatu norma pasal. Sebab itu, sejak dibentuk pada 2003, lembaga ini telah menjadi kiblat dalam masalah-masalah konstitusi (Mahfud MD, 2010).

Ada banyak sekali tulisan, studi dan karya ilmiah yang dihasilkan untuk menilai dan menganalisis putusan-putusan MK tersebut. Tak terkecuali tulisan ini yang mencoba mengulas sudut pandang para hakim MK dalam menafsirkan UUPA sebagaimana termuat dalam Putusan MK No. 61/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh duan Anggota DPRA Kautsar dan Samsul Bahri. Putusan tersebut memberikan pemahaman baru bagi kita akan eksistensi UUPA dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Penjelasan MK
Hal menarik dari putusan tersebut yakni penjelasan MK terhadap keberadaan UUPA. Menurut MK, benar bahwa UUPA merupakan aturan yang mengatur Aceh sebagai provinsi yang bersifat khusus dan istimewa, akan tetapi tidak semua hal yang diatur dalam UUPA merupakan kekhususan Aceh. Istilah “khusus” bagi MK bukan dalam pengertian bahwa UUPA lebih khusus dengan UU lain yang mengatur materi muatan yang berhimpitan dengan materi muatan dalam UUPA, melainkan “khusus” bahwa UUPA hanya berlaku secara khusus untuk daerah Aceh. Oleh karena itu, jika di masa yang akan datang terdapat kebutuhan yang mendesak dan menuntut untuk mengubah UUPA, maka perubahan tetap bisa dilakukan, namun dengan cara dan prosedur yang diatur dalam UUPA, yakni melalui konsultasi dan pertimbangan DPRA.

Dari penjelasan itu, sesungguhnya MK hendak menyampaikan dua hal: Pertama, penjelasan tersebut sekaligus meruntuhkan persepsi “sakralitas” yang terbangun atau sengaja dibangun terhadap UUPA selama ini. Bahwa UU tersebut tidak dapat diubah oleh siapa pun, karena menyangkut kekhususan Aceh secara keseluruhan. Pandangan semacam ini meyakini seolah-olah ketentuan dalam UUPA hanya mengatur kewenangan Pemerintah Aceh semata-mata, tanpa boleh dicampuri sama sekali oleh pemerintah pusat. Sehingga semua ketentuan dalam UUPA harus dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh sendiri dan jika ada upaya intervensi dari pemerintah pusat, terutama dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan suatu aturan, niscaya harus dicurigai dan dianggap bahwa pemerintah pusat telah mencampuri kewenangan khusus yang dimiliki Aceh.

Ada juga persepsi yang lebih ekstrem, bahwa perubahan UUPA yang dilakukan pemerintah pusat merupakan bentuk pengkhianatan terhadap perdamaian Aceh, terutama terhadap butir-butir dalam MoU Helsinki. Pandangan demikian, tampaknya terlalu menaruh kecurigaan berlebihan kepada pemerintah pusat, seolah-olah semua upaya pemerintah yang sedikit saja mengusik UUPA dinilai mengkhianati. Pandangan semacam ini juga menunjukkan sifat eksklusivisme, yakni menutup diri dari ragam perkembangan dan dinamika yang terjadi. Padahal UUPA sebagai sebuah dokumen hukum harus diperlakukan sebagaimana dokumen hukum lainnya, yakni ketentuan di dalamnya bisa jadi benar pada saat disusun, tetapi keliru di saat yang akan datang ataupun sarat dengan kepentingan para pembentuknya atau bahkan tidak sanggup menjangkau perkembangan yang berlangsung begitu cepat, terutama perkembangan sistem ketatanegaraan.

Kedua, MK juga mengatakan, karena tidak semua materi muatan yang terdapat dalam UUPA merupakan kekhususan Aceh, maka sangat mungkin juga diterapkan ketentuan yang terdapat UUPA ke dalam undang-undang yang secara umum berlaku nasional, atau sebaliknya, ketentuan dalam undang-undang nasional juga diadopsi ke dalam UUPA. Misalnya, berkenaan dengan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah yang mula-mula diterapkan dalam UUPA kemudian dijadikan rujukan dalam mengadopsi calon perseorangan kepala daerah di daerah lain. Atau putusan MK perihal penyelesaian sengketa hasil Pemilukada Aceh yang dalam UUPA merupakan wewenang Mahkamah Agung (MA), akan tetapi menjadi kewenangan MK setelah adanya Putusan MK No.97/PUU-XI/2013. Dalam hal ini, patut diingat bahwa prinsip putusan MK adalah sama dengan UU, sehingga pascaputusan tersebut semua hasil Pemilukada semua daerah di Indoneisa, tak terkecuali Aceh diselesaikan oleh MK, bukan lagi kewenangan MA.

Hal yang tak kalah pentingnya dari putusan MK yang diajukan Kautsar dan Samsul Bahri adalah penegasan MK bahwa kewenangan pelaksanaan Pemilukada di Aceh bukanlah kewenangan khusus Aceh. Tampaknya, MK konsisten dengan pendapat mereka yang sebelumnya saat mengadili sengketa hasil Pemilukada Muzakir Manaf-TA Khalid beberapa waktu lalu dan menyampaikan hal yang sama, bahwa pelaksanaan Pemilukada di Aceh merupakan kewenangan pemerintah secara Nasional.

Keistimewaan Aceh
Argumen tersebut digunakan kembali oleh MK dalam memutus pengujian UU Pemilu terhadap eksistensi Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) sebagai lembaga pelaksana pemilu di Aceh. Menurut MK, sekalipun kedua lembaga tersebut dibentuk sesuai dengan UUPA, namun keberadaannya bukanlah bagian dari lembaga yang menjalankan keistimewaan Aceh. Memang MK mengakui KIP dan Panwaslih memiliki nama, komposisi dan tata cara pengisian keanggotaan yang berbeda dengan penyelenggara pemilu di daerah lain, akan tetapi hal itu bukanlah bagian dari keistimewaan Aceh. Keistimewan Aceh menurut MK hanya terbatas pada empat hal, yaitu: penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan penetapan kebijakan daerah.

Perbedaannya terletak karena KIP dibentuk terlebih dulu dengan UU No.18 Tahun 2001 yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh UUPA. Kala itu, KIP memang satu-satunya lembaga penyelenggara Pemilu di daerah dibandingkan provinsi lainnya. Setelah KPU yang bersifat Nasional dibentuk, KIP kemudian ditempatkan sebagai bagian dari KPU, di mana KIP diberi kewenangan sesuai dengan UUPA untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada di Aceh. Kewenangan yang demikian, sama dengan KPU di berbagai provinsi lain di seluruh Indonesia.

Dari penjelasan tersebut, MK sebenarnya hendak mengatakan bahwa KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota memiliki hubungan hierarkis dengan KPU. KIP di Aceh merupakan lembaga yang kewenangannya diperoleh dari KPU, bukan dari UUPA. Karena jika tidak, maka KIP di Aceh tentu tidak akan memiliki kewenangan konstitusional, sebab konstitusi hanya mengakui KPU sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia. Sebab itu, perbedaan yang dimiliki oleh KIP Aceh berkaitan dengan nama, komposisi dan pengisian anggotanya hanya sebatas bahwa lembaga tersebut secara historis telah lebih dulu ada, dan kemudian oleh pembentuk undang-undang (UUPA) kewenangan tersebut diberikan kepada KIP di Aceh untuk tidak melupakan aspek sejarah itu.

Dalam konteks demikian, karena secara historis KIP di Aceh lahir lebih awal, maka beberapa aspek yang melekat dengan konteks kesejarahan itu harus tetap dihormati dan diberi tempat, yaitu dalam hal ini aspek-aspek yang berkenaan dengan nama, komposisi dan pengisian anggotanya. Sehingga, jika ada hal-hal perubahan terhadap aspek-aspek, maka perubahan itu memerlukan pelibatan dalam bentuk konsultasi dan pertimbangan DPRA. Dalam hal ini, konteks pencabutan dua pasal UUPA dalam UU Pemilu menurut MK, DPR memang tidak berkonsultasi dengan DPRA, buktinya DPR tidak menghadirkan barang bukti berupa hasil konsultasi tersebut.

Oleh karena itu, pengujian terhadap UU Pemilu yang dilakukan oleh sejumlah tokoh di Aceh itu memberi perspektif baru dalam meilihat UUPA: Pertama, UUPA bukanlah “dokumen suci” yang tidak boleh dijamah, baik dengan perubahan maupun dengan pengujian ke MK. Kedua, kewenangan pelaksanaan pemilukada di Aceh bukanlah kewenangan khusus pemerintah Aceh, melainkan kewenangan pusat secara Nasional. Dan, ketiga, perubahan terhadap UUPA oleh DPR atau pemerintah pusat harus dengan konsultasi dan pertimbangan dari DPRA.

* Zahlul Pasha, alumnus Hukum Pidana Islam UIN Ar-Raniry, saat ini sebagai Mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dan anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh. Email: pashaelkarim@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved