Istilah Pelakor Makin Viral, Begini Pendapat Peneliti Linguistik

Ini sebutan bagi perempuan yang dianggap bertanggung jawab merusak hubungan pernikahan sepasang suami istri

Editor: Muhammad Hadi
Capture Video
Dua Wanita di Aceh Berkelahi Gara-gara Pelakor 

SERAMBINEWS.COM - Belakangan ini masyarakat Indonesia dibombardir cerita-cerita mengenai “ pelakor” (perebut (le)laki orang).

Ini sebutan bagi perempuan yang dianggap bertanggung jawab merusak hubungan pernikahan sepasang suami istri.

Kita terpapar cerita-cerita ini hampir setiap hari, baik di media sosial atau di saluran media tradisional.

Baca: Soal Rekaman Wanita Disiram Uang Karena Dituduh Pelakor, Begini Saran Pengacara Hotman Paris Hutapea

Banyak orang mengekspresikan kebencian mereka terhadap “pelakor” di media sosial.

Meski pernyataan yang netral dan cukup reflektif ada, sikap yang menunjukkan kebencian lebih mudah ditemukan, setidaknya di Instagram, platform media sosial berbasis gambar dan teks yang sering digunakan orang untuk berbagi berita.

Ujaran kebencian ini umumnya ditujukan pada perempuan tertuduh, dengan digunakannya istilah “pelakor”.

Sebagai peneliti linguistik saya ingin mengangkat satu masalah dari penggunaan istilah “pelakor” dalam percakapan mengenai perselingkuhan.

Baca: Tak Terima Suami Direbut Sahabat, Istri Sah Labrak Pelakor dan Lempari Uang Ratusan Juta Rupiah

Yakni istilah ini digunakan untuk menyalahkan dan mempermalukan perempuan dan sama-sekali tidak menyalahkan laki-laki yang melakukan perselingkuhan.

Dalam konteks ini, istilah pelakor perlu dianalisis secara kritis.

Retorika yang timpang Retorika pelakor timpang karena menempatkan perempuan sebagai “perebut”, seorang pelaku yang aktif dalam kegiatan perselingkuhan, dan menempatkan sang laki-laki seolah-olah sebagai pelaku yang tidak berdaya (barang yang dicuri, tak berkuasa).

Baca: VIRAL - Wanita Ini Pukul dan Tendang Selingkuhan Suaminya, Terjadi di Hotel di Banda Aceh

Terlebih, secara sosiolinguistik, istilah ini sangat berpihak pada laki-laki, karena seringkali muncul dalam wacana keseharian tanpa istilah pendamping untuk laki-laki dalam hubungan tersebut.

Dalam kebanyakan tulisan yang saya telusuri untuk pencarian data mengenai peredaran istilah pelakor, secara umum ia digunakan sendiri, atau sang laki-laki secara terang-terangan absen dalam cerita tersebut.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved