Opini
Menyoal Prostitusi Online di Aceh
MIRIS sekali kejadian menimpa Ira (nama samaran). Istri baik hati yang jadi korban perselingkuhan suaminya
Oleh Amiruddin
MIRIS sekali kejadian menimpa Ira (nama samaran). Istri baik hati yang jadi korban perselingkuhan suaminya selama 10 tahun. Belum lagi ada duka dan derita yang ia tutupi demi menyelamatkan keluarganya dari broken home. Terutama pesan anak yang akan bunuh diri bila ayah dan ibunya pisah ranjang.
Pemerintah punya power melindungi setiap unit keluarga di Aceh dari lembah hitam prostitusi. Bisa dilakukan lewat regulasi pembinaan keluarga Islami. Bila ternyata mereka berstatus pegawai negeri sipil (PNS), bisa saja mewajibkan pengajian rutin di kantor-kantor pemerintahan. Seperti baru-baru ini dicetus oleh Wali Kota Langsa. Di mana semua pegawai pemerintah dan istri PNS wajib ikut pengajian tiap Jumat. Ini terobosan bagus untuk melindungi PNS dari nikah sirri, “jajan” di luar, kriminalitas, dan menghindari niat korupsi uang negara.
Kita sadar, program pengajian tak menjamin PNS, masyarakat, dan karyawan instansi lainnya bebas dari maksiat. Setidaknya sebagai pemimpin telah melakukan langkah nyata untuk keselamatan bersama. Hidup manusia, terutama lelaki selalu dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu jabatan, harta, dan wanita. Hal mencengangkan ketika disebutkan pejabat di Aceh doyan yang putih-putih (pelacur cantik dan mulus).
Oleh sebab itu, pemerintah punya andil besar terhadap unit keluarga di bawah kepemimpinannya, terutama PNS. Mereka punya harta sebab gaji PNS atas jasa kerjanya pada negara. Karena merasa punya penghasilan tetap, akhirnya suami jajan di luar dengan mengabaikan hak istri. Tak jarang pula kita mendengar pejabat Aceh cari kesenangan birahi ke Medan, sebab di Aceh para pelacur dan pria hidung belang sulit bergerak.
Kegiatan haram
Dalam Islam hanya dikenal istilah pezina atau orang yang berbuat zina. Dalam bahasa Aceh lumrah disebut lonte atau sesekali kita mendengar istilah pelacur. Di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan pekerja seks komersial (PSK). Sejatinya, pelacuran itu bukan mata pencarian, namun kegiatan haram tersebut kini dianggap sebagai satu pekerjaan, karena dapat menghasilkan uang.
Umat harus sadar, istilah pelacur lebih hina dari pada PSK. Sebenarnya ada rencana lain di balik penamaan PSK. Kaum liberal dan sekular akan mencari jalan untuk menghalalkan yang haram, atau setidaknya mengurangi rasa alergi masyarakat ketika mendengar PSK, yang terkesan lebih sopan. Padahal, mereka adalah pezina, yang perbuatannya paling hina di sisi Allah dan masyarakat.
Menurut hukum negara, PSK itu sulit dipidana. Hampir tidak ditemukan ancaman pasti bagi PSK. Kembali lagi ke kasus pelacuran 2017 silam di Banda Aceh. Saat itu yang dikenakan hukum cambuk 37 kali hanya mucikari. Sedangkan enam wanita penghibur dikembalikan pada orang tuanya dengan dalih hanya sebagai korban. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengancam para germo. Dalam Pasal 296 KUHP disebutkan, “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Sisi lain, negara tidak dapat menghukum pelaku seks bebas atas dasar suka sama suka, meskipun ada bayaran seperti pelacur. Dalam Islam, baik suka atau tak suka, maka pelaku wajib dihukum. Intinya telah melakukan hubungan intim di luar ikatan sah. Kita sesali kebijakan Polresta Banda Aceh yang melepaskan para pelacur 2017. Andai tak ada delik hukum dalam KUHP, pelacur tersebut dapat diganjar dengan hukuman cambuk sesuai Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Dan semestinya qanun di Aceh harus lebih diutamakan ketimbang KUHP.
Jaga keluarga
Kembali ke peran keluarga. Setiap elemen keluarga wajib menjaga keluarganya. Anak itu amanah, didik dengan agama, jaga mereka dengan agama. Itu saja sudah cukup untuk keselamatan keluarga. Para orang tua yang hidup jauh dengan anaknya di rantau orang, cobalah mengontrol mereka dengan seksama. Teruma perempuan yang kuliah jauh di kota dan menetap di kos.
Berikan pengawasan jarak jauh bagi mereka. Anak adalah jembatan menuju surga. Bila jembatan dibangun dengan baik, berkualitas. Maka akan bisa digunakan menuju surga. Jika jembatan dibangun cilet-cilet (jelek), atau tak membangun sama sekali, maka tiada jalan bagi orang tua untuk menuju jannah.
Mungkin anak Anda baik, akhlaknya tak diragukan. Tetapi orang lain tak semua baik. Orang punya sejuta cara untuk menarik anak Anda ke dunia hitam. Perlu diketahui, menjadi mahasiswa banyak tantangan, lebih-lebih ekonomi. Ketika dompet menipis, sebagian kecil gadis-gadis kuliah yang ingin banyak uang dengan cara mudah, akhirnya terjerumus dalam lembah prostitusi.
Orang tua jangan biarkan anak gadis hidup tanpa pengawasan orang bertanggung jawab. Sering-seringlah untuk menjenguk anak di kontrakan. Perhatikan keseharian mereka di tanah rantau. Bila ada keanehan, cobalah cari tahu dan beri nasehat. Kampus hanya bertanggung jawab ketika mahasiswa di kelas. Kala mereka di kos/asrama, dosen tak tahu kegiatan mereka.
Beda dengan anak yang dititip ke dayah. Siang-malam mereka dalam pengawasan pimpinan dayah. Bahkan mereka jarang berbaur dengan lelaki. Hidup mereka sederhana, tanpa laptop, tanpa androit, tanpa motor, juga tanpa makan mewah.
Kita berharap pada pada pemilik kampus, pemimpin-pemimpin kampus, agar menjalin kerja sama dengan dayah yang berada di seputaran kampus. Tetapkan aturan bahwa setiap mahasiswa wajib tinggal di dayah untuk menjaga pergaulan mereka. Seperti dilakukan UIN Ar-Raniry yang mewajibkan mahasiswa baru untuk masuk asrama/Ma’had Aly. Walaupun hanya enam bulan, setidaknya telah ada langkah konkrit dari kampus dan rasa tanggung jawab atas generasi bangsa.