KUPI BEUNGOH
Komunikasi Damai Dalam Konteks Aceh dan Era Digital
komunikasi damai merupakan jembatan antara rasionalitas dan nilai kemanusiaan yang berakar pada kearifan lokal serta etika religius masyarakat
Oleh: Dr Kamaruddin Hasan*)
Dalam konteks sosial dan politik Indonesia, komunikasi damai menjadi salah satu fondasi penting bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis dan berkeadaban.
Di tengah derasnya arus informasi dan dinamika politik yang sering kali diwarnai oleh konflik kepentingan, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial, hadirnya pendekatan komunikasi damai menjadi semakin relevan.
Komunikasi damai bukan sekadar aktivitas bertukar pesan secara sopan, melainkan sebuah pendekatan etis, kultural, dan spiritual dalam membangun kesalingpahaman antara individu, kelompok, maupun institusi sosial.
Penulis menekankan bahwa komunikasi damai merupakan jembatan antara rasionalitas dan nilai kemanusiaan yang berakar pada kearifan lokal serta etika religius masyarakat.
Konseptualisasi Komunikasi Damai Menurut Kamaruddin Hasan; mendefinisikan komunikasi damai sebagai “proses penyampaian pesan yang menumbuhkan empati, saling menghormati, dan mendorong penyelesaian masalah tanpa kekerasan dalam bingkai nilai moral, budaya, dan spiritual masyarakat.”
Baginya, komunikasi damai tidak bisa dilepaskan dari tiga dimensi utama; Dimensi Etis, yaitu kesadaran bahwa setiap tindakan komunikasi memiliki konsekuensi moral.
Komunikasi bukan hanya alat untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi, melainkan sarana membangun kebaikan bersama (common good).
Baca juga: Prodi Ilmu Komunikasi USK Hadirkan Influencer Aceh, Dorong Mahasiswa Kembangkan Reputasi Digital
Dimensi Kultural, di mana komunikasi damai lahir dari penghormatan terhadap kearifan lokal seperti peumulia jamee (memuliakan tamu), meuripee (rasa kebersamaan), adat bak po teumeureuhom, hukom bak syiah kuala yang menegaskan keseimbangan antara adat dan agama.
Dimensi Spiritual, yang menekankan pentingnya kesadaran transendental. Komunikasi damai tidak berhenti pada level sosial, tetapi juga sebagai ibadah sosial yang menumbuhkan nilai kasih sayang (rahmah) dan keadilan.
Komunikasi damai harus berangkat dari niat baik (good intention), diikuti oleh tindakan komunikatif yang beradab (civil communication), dan diarahkan untuk membangun kesejahteraan sosial (social harmony). Ketiganya membentuk fondasi moral komunikasi yang berkelanjutan.
Komunikasi Damai dalam Konteks Aceh; sebagai wilayah yang pernah mengalami konflik panjang. Praktik komunikasi di Aceh tidak bisa dilepaskan dari sejarah traumatik masa lalu.
Oleh karena itu, komunikasi damai menjadi jalan penting untuk membangun kembali kepercayaan (trust building) antara masyarakat dan pemerintah, antara partai politik lokal dan masyarakat, serta antara generasi muda dengan nilai-nilai leluhurnya.
Damai bukan hanya hasil dari kesepakatan politik, tetapi juga hasil dari proses komunikasi yang berkelanjutan di tengah masyarakat.
Dalam pandangan ini, komunikasi damai berfungsi sebagai mekanisme sosial yang merekatkan identitas kolektif masyarakat Aceh melalui dialog, musyawarah, dan pemulihan nilai.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Penulis-Dr-Kamaruddin-Hasan-Dosen-Ilmu-Komunikasi-FISIP-Universitas-Malikussaleh_20251108.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.