Jurnalime Warga
Ketabahan Masyarakat Aceh Dalam Masa Sulit
Akhir-akhir ini kita menghadapi situasi yang semakin sulit. Pelbagai persoalan muncul ke permukaan dan nyaris membuat kita berputus asa.
MELINDA RAHMAWATI, M.Pd., alumnus Pendidikan IPS Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, melaporkan dari Jakarta
Akhir-akhir ini kita menghadapi situasi yang semakin sulit. Pelbagai persoalan muncul ke permukaan dan nyaris membuat kita berputus asa. Banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), lapangan kerja yang semakin berkurang di tengah efisiensi anggaran oleh pemerintah, kenaikan harga, dan kelangkaan berbagai bahan pangan terjadi di berbagai tempat, serta sekelumit masalah lainnya yang tengah dihadapi oleh kita semua.
Saya memang tidak mengalami masa sulit inflasi tahun 1998 yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan di berbagai tempat, tetapi melalui berbagai kisah yang dituliskan, saya bisa merasakan betapa kelamnya masa itu.
Di tengah masa sulit seperti saat ini, saya masih sempat membayangkan betapa tabahnya masyarakat Aceh yang memiliki catatan tersendiri dalam menghadapi berbagai situasi sulit.
Mulai dari masa perang Belanda melawan Aceh tahun 1873, Perang Cumbok pascaproklamasi tahun 1945, terjadinya pemberontakan DI/TII di tahun 1950-an, ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sejak tahun 1989, Darurat Militer (19 Mei 2003-19 Mei 2004), Darurat Sipil pada 19 Mei 2004 hingga terjadinya musibah tsunami pada 26 Desember 2004, dan hadirnya MoU Helsinki pda 15 Agustus 2005 yang cukup banyak mengubah berbagai sendi kehidupan masyarakat Aceh.
Saat mendengarkan pelbagai cerita dari para orang tua tentang masa-masa sulit itu, mungkin bagi sebagian dari kita bak sebuah dongeng yang menyeramkan dan menyayat hati. Namun, saya akan coba sedikit mengulas mengenai salah satu nilai yang secara tersirat diajarkan pada kita semua dari sekian banyak cerita memilukan tersebut, yakni: arti sebuah ketabahan.
Sebagai contoh, saya akan coba memotret kepedihan yang dialami oleh masyarakat Aceh pada masa konflik antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Masa tersebut yang membawa mereka ke situasi sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989-1998. Dalam buku “Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer di Aceh 1989-1998”, cetakan ke-5 tahun 1999 yang di tulis oleh Al Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad, dan Yarmen Dinamika, kita dapat melihat catatan panjang dari sebuah jejak berdarah yang membasahi tanah aulia ini.
Tidak mengherankan jika dalam buku tersebut terdapat subjudul “DOM: The Killing Field Aceh”.
Dari sekian banyak kekejaman yang pernah terjadi di tanah Aceh, banyak yang menyebut kalau masa DOM adalah masa terkelam sepanjang sejarah masyarakat Aceh. Sekalipun 20 tahun lamanya berlalu, traumatik yang tinggal dalam diri mayoritas masyarakat yang hidup dan menyaksikan secara langsung pelbagai tindakan tidak berperikemanusiaan. Bahkan, stigma masyarakat Aceh sebagai kelompok separatis sekali waktu masih membayanginya.
Dari delapan bab dalam buku tersebut, saya sama sekali tidak bisa menyelesaikan satu subbab, yakni “Kekerasan terhadap Perempuan Aceh”. Keseluruhan catatan dalam subbab tersebut menuliskan tentang pelecehan seksual yang dialami oleh para perempuan yang dituduh menyembunyikan suami, anak, sanak saudara laki-laki, atau personel dari pasukan GAM itu sendiri.
Tidak hanya itu, sederet penganiayaan hingga pembunuhan yang getir terhadap para ulama dan santri membuat traumatiknya semakin mendalam, bahkan ada pula yang sudah tergolong ekstrem.
Pernah saya coba untuk berbincang santai dengan teman-teman di Anjungan Provinsi Aceh-TMII Jakarta. Untung saja mereka masih bersedia untuk berbagi cerita kelam itu, meskipun tidak secara utuh disampaikan. Teman saya berinisal MT (pria paruh baya) yang pertama menceritakan ketakutan yang ia rasakan saat dirinya masih tinggal di Banda Aceh sekitar tahun 1990-an (sebelum merantau ke Jakarta). Sirine tanda jam malam yang dibunyikan, portal dan pagar besi yang berserakan di beberapa tempat telah membuat ibu kota dari Provinsi Aceh itu nyaris hening total.
Namun begitu, tatkala dirinya merasa lapar tengah malam, rasa lapar tersebut tidak menyurutkan langkahnya untuk mencari warung makan yang masih buka. Rasa takut akan menghadapi interograsi petugas yang berpatroli kalah dengan rasa lapar dan zikir yang selalu dilantunkannya dalam hati setiap ke luar rumah. “Hanya zikir yang tidak putus dilantunkan dalam hati dan keteguhan dalam doa yang selalu menguatkan saya saat itu,” ujarnya.
Adapun teman lain—seorang pria muda yang berasal dari Idi Cut, Aceh Timur—menambahkan cerita pilu yang melekat di tengah masyarakat sekitar tentang tragedi berdarah di Krueng Arakundo. Sejak kecil, dirinya sudah terbiasa mendengar suara tembakan antara pasukan militer RI dengan pasukan GAM yang memecah keheningan malam.
“Biasanya mereka melakukan penyergapan di malam hari. Karena rumah orang tua saya dulu dekat persawahan, ditambah dengan strategi taktis pasukan GAM yang bergerilya di hutan membuat area persawahan yang mengarah ke hutan sering kali menjadi lokasi baku tembak mereka,” ungkapya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/MELINDA-RAHMAWATI-2025.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.