Opini
Pencegahan Korupsi
TRANSPARENCY International (TI) merilis pada 2017 Indonesia memperoleh indeks persepsi korupsi (IPK)
Oleh Zainal Putra
TRANSPARENCY International (TI) merilis pada 2017 Indonesia memperoleh indeks persepsi korupsi (IPK) dengan nilai 37 atau berada pada peringkat ke-96 dari 180 negara yang disurvei oleh TI. Nilai IPK Indonesia pada 2016 dan 2017 sama yaitu 37, tapi dari segi peringkat pada 2017 malah turun. Pada 2016 Indonesia berada di peringkat ke-90.
Sebagai informasi, TI mengukur IPK menggunakan skala 0-100. Nilai 0 artinya paling korup, sedangkan nilai 100 berarti paling bersih. Peringkat pertama diduduki Selandia Baru dengan nilai 89. Negara yang paling korup di dunia menurut survei TI 2017 adalah Somalia dengan nilai IPK 9, berada pada peringkat paling bawah atau 180.
Dari hasil survei TI di atas menggambarkan bahwa Indonesia belum mampu memperbaiki nilai IPK secara signifikan. Artinya, tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan masih sangat parah. Korupsi semakin mewabah dan meraja lela mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa. Pelaku korupsi semakin berani saja melakukan aksinya. Kalau dulu kita sering mendengar gotong royong massal. Sekarang sudah biasa pula kita mendengar korupsi massal di Indonesia. Seperti yang diberitakan baru-baru ini, Komisi Pembertasan Korupsi (KPK) menetapkan 19 orang tersangka korupsi APBD di Kota Malang, mencakup wali kota dan 18 orang anggota DPRD-nya (Serambi, 22/03/18).
Untuk diketahui bahwa semua ulama sepakat mengharamkan risywah (korupsi). Beberapa rujukannya adalah hadis Nabi saw, “Allah melaknat orang yang menyuap dan memberi suap.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar). Dan juga hadis Nabi saw lainnya, “Barang siapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu aku beri gajinya, maka sesuatu yang diambil di luar gajinya itu adalah penipuan (haram).” (HR. Abu Daud, Hakim dari Buraidah).
Pelaku korupsi
Ironisnya pelaku korupsi di negeri ini dominan dilakukan oleh oknum yang beragama Islam. Kondisi tersebut terjadi karena di Indonesia hampir sembilan puluh persen adalah muslim. Dan perlu dicatat bahwa tidaklah bijak kalau kita mengidentikkan korupsi dengan Islam. Karena sesungguhnya dalam ajaran Islam korupsi itu sangatlah dilarang.
Dilihat dari aspek individu pelaku, penyebab seseorang melakukan korupsi antara lain karena: Sifat tamak manusia; Moral yang tidak kuat menghadapi godaan; Penghasilan kurang mencukupi kebutuhanhidup yang wajar; Kebutuhan hidup yang mendesak; Gaya hidup konsumtif; Tidak mau bekerja keras, dan; Tidak mampu mengaplikasikan ajaran agara dengan benar.
Selain itu beberapa penyebab korupsi menurut Erry Riyana Hardjapamekas (2008) di antaranya: Kurang keteladanan dari pemimpin; Rendahnya integritas dan profesionalisme; Belum mapannya mekanisme pengawasan internal di semua lembaga; Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat, dan; Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika.
Dari tindakan represif yang dilakukan KPK selama ini, hampir 90 persen pelaku korupsi itu adalah penyelenggara negara. Mulai dari pejabat eksekutif hingga pejabat legislatif. Diperkirakan butuh waktu 150 tahun lagi, agar Indonesia bersih dari korupsi. Setelah jangka waktu itu, maka korupsi akan menjadi “binatang langka” di Indonesia. Karena “binatang korupsi” itu benar-benar telah punah dari negeri ini, maka anak cucu kita tidak tahu sama sekali tentang korupsi.
Mereka mengetahui apa itu korupsi ketika dia berkunjung ke museum anti korupsi. Kondisi demikian akan terjadi dengan catatan berbagai upaya pencegahan korupsi terus dilakukan secara kontinu. Sulitnya Indonesia keluar dari perilaku korup karena sudah ditanamkan budaya itu selama 350 tahun oleh penjajah Belanda. Mengubah budaya suatu kaum bukanlah perkara gampang.
KPK sebagai pemegang mandat pemberantasan korupsi di Republik ini, terus melakukan upaya preventif terhadap tindak pidana korupsi. Salah satunya adalah dengan mewajibkan penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (LHKPN) bagi penyelenggara negara. Seperti diketahui, penyelenggara negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam penjelasan UUD 1945. Oleh sebab itu, penyelenggara negara harus bersih, dalam artian menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
Implementasinya adalah setiap penyelenggara negara berkewajiban mengumumkan dan melaporkan harta kekayaannya melalui sarana LHKPN. Harta kekayaan yang dilaporkan meliputi harta benda bergerak, berwujud atau tidak berwujud, termasuk hak dan kewajiban lainnya yang dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh penyelenggara negara beserta isteri/suami dan anak yang masih dalam tanggungan penyelenggara negara, baik atas nama penyelenggara negera atau orang lain yang diperoleh sebelum dan selama penyelenggara negara memangku jabatannya.
LHKPN merupakan laporan yang berisi uraian mengenai harta kekayaan, data pribadi, termasuk penghasilan, pengeluaran dan data lainnya atas harta kekayaan penyelenggara negara. KPK terus melakukan inovasi terkait LHKPN ini, dengan tujuan untuk mempermudah dan meningkatkan kepatuhan penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaannya kepada KPK.
Aplikasi e-LHKPN
Selama ini bentuk pelaporan LHKPN ini masih konvensional yaitu diketik dalam format MS Excell, lalu dicetak dan dikirimkan secara manual kepada KPK melalui Kantor Pos. Berdasarkan Peraturan KPK No.07 Tahun 2016 dan Surat Edaran KPK No.SE-08/01/10/2016 tanggal 26 Oktober 2016, penyampaian LHKPN sudah bertransformasi dengan menggunakan aplikasi berbasis web (web based) yang diberi nama e-LHKPN dengan domain www.elhkpn.kpk.go.id. Metode ini efektif diterapkan pada pelaporan harta kekayaan untuk awal 2018 ini. Data langsung di-input ke dalam web dan secara otomatis tersimpan dalam server yang ada di KPK.
Penyelenggara negara wajib menyampaikan LHKPN kepada KPK pada saat: (a). Pengangkatan sebagai penyelenggara negara pada saat pertama kali menjabat, (b). Pengangkatan kembali sebagai penyelenggara negara setelah berakhirnya masa jabatan atau pensiun, dan (c). Berakhirnya masa jabatan atau pensiun sebagai penyelenggara negara. LHKPN disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak saat pengangkatan pertama/pengangkatan kembali/berakhirnya jabatan sebagai penyelenggara negara.