Opini
Pembuktian Zina dalam Qanun Jinayat
BEBERAPA pekan terakhir ini, media massa dan sosial banyak yang menurunkan berita tentang adanya jaringan
Oleh Al Yasa’ Abubakar
BEBERAPA pekan terakhir ini, media massa dan sosial banyak yang menurunkan berita tentang adanya jaringan pelacuran di berbagai daerah di Aceh, yang sebagiannya dilakukan secara online dan sebagian yang lain melibatkan anak-anak. Pemberitaan ini di satu segi menyesakkan dada, karena di negeri ini ternyata ada kejahatan perzinaan (pelacuran) yang mungkin sekali telah berkembang secara relatif meluas dan “canggih”. Di pihak lain adanya inisiatif masyarakat untuk melapor dan adanya tindakan nyata aparat penegak hukum untuk membongkarnya, tentu merupakan hal yang menggembirakan, yang untuk itu kita ucapkan Alhamdulillah dan terima kasih kepada semua pihak yang peduli dan terlibat.
Ada dugaan, fenomena ini mungkin saja telah berlangsung lama, karena pada masa lalu, perbuatan ini tidka dianggap sebagai perbuatan pidana perzinaan. Di Aceh, karena adanya hokum pidana berdasarkan syariat Islam dalam hal ini Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan Qanun Aceh No.7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, maka perbuatan-perbuatan tersebut telah menjadi kejahatan perzinaan dan kejahatan lain yang berhubungan dengan zina, seperti memfasilitasi dan mempromosikan perzinaan.
(Baca: Haji Uma: Hukum Dulu Pelaku Prostitusi Online, Baru Kembalikan ke Orang Tua)
(Baca: VIDEO - Temui Germo Prostitusi Online, Anggota DPR Aceh Tanya Nama Pejabat)
Qanun Jinayat disahkan pada 2014 dan berlaku efektif pada 2015. Dengan demikian isi qanun ini masih merupakan hal baru yang mungkin belum terpahami dengan baik oleh sebagian anggota masyarakat. Mengenai pengertian perzinaan, saya yakin mayoritas masyarakat telah mengetahuinya. Tetapi mengenai pembuktiannya mungkin sekali belum banyak yang tahu. Penulis merasa terpanggil untuk urun-rembug, ikut menjelaskan apa alat bukti dan bagaimana cara pembuktian agar seseorang dapat dianggap telah melakukan perbuatan pidana perzinaan.
(Baca: VIDEO - Polresta Gelar Konferensi Pers Kasus Prostitusi Online, Begini Penanganannya)
Tiga cara pembuktian
Dalam Alquran, orang yang melakukan kejahatan zina dijatuhi hukuman cambuk 100 kali, sedang orang yang melakukan kejahatan qadzaf, yaitu menuduh orang lain melakukan perbuatan zina tanpa bukti yang memadai, dijatuhi hukuman cambuk 80 kali. Secara ringkas ada tiga cara yang diatur qanun untuk membuktikan bahwa seseorang telah berzina, yaitu kesaksian, pengakuan, dan test DNA (DeoxyriboNucleic Acid).
Pertama, kesaksian yang akan dianggap sah kalau diberikan oleh orang, yang kesemuanya memberikan kesaksian atas perbuatan yang sama, yang dilakukan oleh orang yang sama, yang terjadi pada waktu dan tempat yang sama. Kalau empat orang saksi ini memberi kesaksian secara berbeda, misalnya saksi pertama melihat mereka berdua berzina pada pagi hari sedang saksi yang lain melihatnya pada sore hari, maka kesaksian tersebut dianggap tidak sah.
Begitu juga kalau seorang saksi mengaku telah melihat mereka berzina, sedang saksi yang lain hanya melihat mereka tidur bersama di dalam kamar, maka kesaksian tersebut dianggap tidak cukup sebagai alat bukti. Kalau orang yang menuduh atau aparat penegak hukum tidak mempunyai empat orang saksi yang memenuhi ketentuan di atas, maka mereka tidak boleh menuduh atau menuntut orang tersebut dengan kejahatan zina. Kalau hal itu mereka lakukan, maka para penuduh ini dianggap telah melakukan perbuatan pidana qadzaf, yaitu menuduh orang berbuat zina tanpa bukti yang sah. Mereka dapat diajukan ke pengadilan dan akan dijatuhi hukuman cambuk 80 kali.
(Baca: Pergub Hukum Acara Jinayat Memperkuat Qanun)
Kedua, adalah pengakuan, yaitu seseorang mengaku bahwa dia telah berzina. Untuk ini perlu diingat betul bahwa pengakuan hanya berlaku dan mengikat untuk orang yang mengaku. Orang yang tidak mengaku tidak dapat ditarik ke dalam pengakuan orang lain. Cara ini dapat dibedakan menjadi dua bentuk. Bentuk pertama, orang tersebut atas inisiatif sendiri, mengakui perbuatan zina yang telah dia lakukan dan meminta untuk dihukum. Dalam keadaan ini dia datang ke Mahkamah Syar‘iyah untuk membuat pengakuan bahwa dia telah berzina dan meminta untuk dijatuhi hukuman cambuk 100 kali.
Pengakuan tersebut hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Dia tidak boleh menyebut, apalagi menyeret nama pasangannya. Kalau dia menyeret nama pasangannya dan pasangan tersebut tidak mau mengaku, maka orang yang menyebutkan namanya tadi, mesti menghadirkan empat orang saksi yang telah melihat mereka berdua melakukan perbuatan zina. Kalau orang yang mengaku berzina dan ingin menyeret nama pasangannya tadi tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, maka dia dianggap telah melakukan kejahatan zina dan kejahatan qadzaf. Karena itu dia akan dijatuhi hukuman dua kali. Pertama akan dijatuhi hukuman cambuk 100 kali atas perbuatan zina yang dia mohon/akui dan kedua hukuman cambuk 80 kali karena kejahatan menuduh seseorang telah berzina (dalam hal ini dengan dirinya).
Bentuk yang kedua, seseorang yang diperiksa karena kasus khalwat atau ikhtilath mengaku bahwa dia telah melakukan zina. Dalam keadaan ini penyidik akan mencatat pengakuan tersebut dalam berita acara dan tidak perlu mendalaminya. Penyidik tetap fokus pada kasus khalwat/ikhtilath dan memberkas/mengajukan perkaranya sebagai kasus khalwat/ikhtilath. Nanti sesampai ke Mahkamah dia dapat mengulangi pengakuanya atau hakim yang akan bertanya; apakah dia tetap akan meneruskan pengakuannya. Kalau dia meneruskan pengakuan bahwa dia telah berzina, maka dia dianggap terbukti melakukan perbuatan pidana zina berdasarkan pengakuan di depan mahkamah. Tetapi kalau dia tidak mengaku atau mencabut/membatalkan pengakuannya, maka dia akan diperiksa atas kasus khalwat yang diajukan jaksa.
(Baca: Abu Tumin: Jaga Kesejukan)