Citizen Reporter
Takjub pada Kerendahan Hati Warga Jepang
SAYA sudah berada di Jepang sejak awal April 2018 untuk menyelesaikan salah satu stase yang harus dilalui selama saya
OLEH SYAHRIAL, Sp.KJ, Staf Rumah Sakit Jiwa Aceh, Mahasiswa Pendidikan Subspesialis/Konsultan Psikiatri Adiksi di Fakultas Kedokteran UI Jakarta, melaporkan dari Tokyo, Jepang
SAYA sudah berada di Jepang sejak awal April 2018 untuk menyelesaikan salah satu stase yang harus dilalui selama saya menjalankan program pendidikan subspesialis/konsultan Psikiatri Adiksi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Jakarta. Stase ini lamanya satu bulan di Kurihama Medical and Addiction Center untuk memperdalam tentang pengaruh adiksi internet, game, judi, dan alkohol terhadap kesehatan/kehidupan manusia.
Selama di Jepang banyak pengalaman yang cukup mengesankan saya rasakan berkaitan dengan sikap dan budi pekerti warga Jepang, baik di Tokyo maupun di daerah lain yang sempat saya kunjungi.
Pengalaman yang tak terlupakan adalah saat saya bertanya alamat pada seorang wanita paruh baya di Tokyo. Tampak dari Google Map jaraknya hanya 3 km dan memungkinkan bagi saya untuk berjalan kaki. Tapi sungguh di luar ekspektasi saya kalau wanita tersebut menawarkan diri ingin mengantarkan saya ke alamat yang dituju. Saya menolaknya dengan sopan bahwa saya sudah cukup jelas dan mengerti tempat yang akan dituju.
Saya jadi teringat kembali saat berada di Melbourne, Australia, tahun 2012. Saat itu saya bertanya tentang alamat juga kepada seorang mahasiswi Jepang. Dia begitu serius meluangkan waktu beberapa menit memperhatikan peta di stasiun kereta api. Ketika tidak berhasil dia merasa sangat menyesal dan memohon maaf beberapa kali sambil membungkukkan badannya.
Pada lain kesempatan di Jepang, saya bepergian ke daerah wisata pantai pada sore hari. Ada seorang pelajar yang memang sengaja mengikuti saya untuk memastikan agar saya tidak tersesat. Dia mungkin sangat menyadari kalau saya ini pendatang. Perasaannya begitu bahagia saat saya berikan dompet bordiran khas Gayo yang memang cukup banyak saya bawa dari Aceh sebagai bentuk rasa terima kasih dan untuk kenang-kenangan.
Teman saya pernah berkata bahwa orang Jepang suka mentraktir. Saya telah membuktikan hal ini dan benar adanya. Dalam perjalanan menuju Kota Chiba saya bertemu seorang pria di kapal feri. Dia sangat menyadari bahwa saya perlu didampingi ketika hendak naik cable car. Ia bahkan sekalian membelikan tiket untuk saya dan dia tidak bersedia saya ganti uangnya. Saat makan siang pria tersebut juga ingin langsung membayarkan makan saya, tapi duluan saya yang bergerak cepat. Saya takjub pada keramahan dan kebaikan hatinya. Atas kebaikannya saya hadiahkan kepadanya cincin giok yang saya bawa dari Aceh sebagai rasa terima kasih. Luar biasa senangnya dia.
Di rumah sakit tempat saya mengikuti training, saya sungguh terkesan melihat seorang psikiater berlari-lari kecil mengantar barang pasien yang terjatuh persis di hadapannya tanpa ada sedikit pun terdengar suara teriakan memangil-manggil.
Di poli rawat jalan saat sedang tidak ada pendamping, seorang profesor rela memanggil sendiri pasiennya dan menyambutnya sambil berdiri serta berjabat tangan dengan hangat. Begitu pula perawatnya tidak merasa sungkan mengepel lantai ruangan saat cleaning service sedang tidak di tempat.
Seorang psikolog bersama dengan pasien mempersiapkan arena olahraga dan membersihkannya bersama juga setelah selesai permainan. Sungguh pemandangan yang mengharukan. Saya tidak pernah sekali pun mendengar staf rumah sakit bersuara dengan nada tinggi saat berkomunikasi dengan pasien maupun sesama staf dan orang lain. Sepertinya memang demikian sikap dan intonasi suara mereka pada umumnya. Intonasi suara saya mungkin dua kali lipat daripada mereka. Hehehe.
Dalam memberikan penyuluhan kepada pasien mereka juga menyediakan penerjemah bahasa untuk pasien tunarungu meskipun hanya seorang saja.Setelah pasien adiksi dirawat selama dua bulan dan diizinkan pulang, pihak rumah sakit melakukan acara pelepasan secara sederhana. Jadi, penghargaan mereka terhadap pasien tidak hanya dalam bentuk slogan, moto, dan persiapan akreditasi rumah sakit, tapi juga kehangatan dan ikhlas mengabdi.
Menurut amatan saya, secara kasatmata kehidupan mereka pada umumnya cukup sedehana, baik dalam fasilitas tempat tinggal, pakaian, maupun kendaraan. Saya pernah beberapa kali bertemu di dalam bus dan kereta api dengan berbagai dokter spesialis saat mereka pulang kerja. Mereka sungguh sangat menikmati kendaraan umum, mungkin karena sistemnya yang sudah cukup rapi dan bagus.
Warga Jepang terlihat sangat menghargai dan mematuhi aturan, terlebih lagi yang menyangkut hak kenyamanan orang lain. Misalnya, di dalam kendaraan umum tak boleh berbicara keras, tertawa cekikikan, bernyanyi, dan lain-lain. Terlebih lagi dalam budaya antre, mereka memang sangat pantas diteladani. Mereka terkesan sangat tergesa-gesa dan tak sabaran dalam perjalanan menuju tempat kerja. Namun, tidaklah demikian dalam urusan antrean dan melayani orang.
Untuk urusan ke toilet saja mereka sangat sabar menunggu antrean, menunggu orang lain ke luar tanpa ada sedikit pun sikap yang membuat orang tidak nyaman, misalnya berteriak, menggedor-gedor, atau berusaha membuka pintu.
Kebahagiaan saya yang luar biasa adalah ketika berhasil menemukan Masjid Assalam di dekat Stasiun Kereta Okacimachi dan Masjid Kamata di sekitar Stasiun Kamata lagi-lagi atas petunjuk jalan dan lokasi dari beberapa warga Jepang yang saya tanyai.
Alhamdulillah, salah seorang profesor yang juga sebagai direktur rumah sakit akhirnya mengundang saya menjadi salah seorang narasumber pada Konferensi Internasional tentang Adiksi di Kyoto pada 9-13 September 2018. Saya anggap ini juga bagian dari kebaikan dan apresiasi warga Jepang kepada saya selaku pendatang dari Indonesia. Demikian laporan dari saya, semoga bermanfaat.