Opini

Logika dan Imajinasi Politik

PANASNYA konstelasi politik 2018-2019 secara tidak langsung telah membuka ruang untuk menyusuri narasi

Editor: bakri
SERAMBINEWS.COM/SUBUR DANI
Partai politik peserta Pemilu 2019 

Oleh Zulfata

PANASNYA konstelasi politik 2018-2019 secara tidak langsung telah membuka ruang untuk menyusuri narasi logika politik dan imajinasi politik yang terus bergantayangan di berbagai media massa. Beragam hasil survei, riset dan spekulasi politik telah bercampuran tanpa sekat validitas. Seluruh rakyatIndonesia merasa terpanggil dan mahir untuk mengomentari dinamika politik yang dilakoni elite politik dewasa ini. Perpaduan komentar rakyat tersebut telah mendorong terbentuknya peta politik yang dibaca dan diolah oleh pengamat-pengamat politik yang tampil di berbagai forum-forum diskusi publik melalui televisi di Indonesia.

Situasi seperti ini, tentunya, menjadi pertimbangan bagi para aktor politik untuk memperkokoh politik elektoralnya. Gagasan dan sikap rakyat dalam mengomentari geliat politik 2019 akan dipengaruhi oleh pemodal dan pemain politik untuk mendapat dukungan dan simpati rakyat. Pada upaya inilah berbagai partisipasi rakyat diolah melalui propaganda yang mengandung narasi logika politik dan imajinasi politik.

Praktik demokrasi yang baik tentunya mensyaratkan peran aktif rakyat dalam membaca situasi politikbangsa. Namun, tak elok pula jika semangat dan pertumbuhan opini publik tentang politik tidak dilandasi oleh pemahaman logika politik secara valid. Sehingga tidak menciptakan kekacauan opini publik tentang konstelasi dan peta politik menjelang Pemilu yang semakin hari terus mendekati hari puncaknya.Terdapat kecenderungan bahwa kekacauan opini publik sangat erat kaitannya dengan argumentasi rakyat yang ditelurkan dari imajinasi politik tanpa diiringi logika politik.

Bersifat kontradiktif
Secara studi filsafat politik, logika politik dan imajinasi politik bersifat kontradiktif. Kualitas argumentasi yang dihasilkan melalui logika politik bersifat konkret dan rasional. Beda halnya dengan kualitas argumentasi yang dihasilkan melalui imajinasi politik yang bersifat abstrak dan penuh spekulatif. Perpaduan antara argumentasi logika politik dan imajinasi politik inilah yang menjadi bahan baku bagi proses pembentukan hasil survei, riset dan propaganda politik yang terbaca dalam perpolitikan bangsa ini.

Kita tidak mengetahui secara pasti tentang siapa sebetulnya yang mengontrol opini politik yang dominan di Indonesia, sebagian berpendapat bahwa opini politik publik dimainkan oleh penguasa media dan penguasa pemerintahan. Dan kita juga tidak tahu persis siapa pula yang berada di balik tembok kekacauan opini publik tentang politik negeri ini. Hal ini diperparah dengan maraknya klaim-klaim dan justifikasi politik yang menggiring kekuatan kelompok masyarakat tertentu.

Munculnya fenomena dan aksi tanda pagar (tagar) dalam bentuk #2019GantiPresiden yang terselip di berbagai produk-produk sandang dan papan rakyat seperti pakaian (kaos), cangkir, hingga judul lagu. Tak hanya itu, beberapa elite bangsa seperti Amien Rais juga cenderung bersemangat dalam mengelorakan propaganda tagar politik 2019 tersebut. Terlepas dari siapa dalang yang sesungguhnya di balik propaganda tagar tersebut, implikasinya secara tidak langsung telah mampu mengambil perhatian rakyat yang merasa kecewa terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sebagian spekulasi publik juga beranggapan bahwa pertarungan propaganda politik kali ini merupakan episode lanjutan dari pertarungan Koalisi Indonesia Hebat (KHI) dan Koalisi Merah Putih (KMP) oada Pilpres 2014 lalu. Lobi-lobi dan diplomasi politik sering ditampilkan media massa dalam berbagai pertemaun seremonial kenegarakan. Walaupun nama Calon Presiden 2019 belum secara resmi diumumkan, berdasarkan situasi politik kepartaian saat ini sudah dapat dipastikan bahwa calon presiden hanya diisi oleh dua nama, yakni Prabowo Subianto dan Jokowi.

Seiring dengan beberapa partai politik yang secara terang-terangan dalam mendeklarasikan calon presiden (capres) seperti PDIP dan Gerindra, terdapat pula kasak-kusuk para petinggi partai lain yang mulai lincah dalam membangun komunikasi politik guna penentukan nasib partai mereka setelah Pilpres 2019, upaya komunikasi politik inilah yang sering disebut sebgai kontrak politik laten.

Sisi lainnya, beberapa daftar nama yang diviralkan sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) juga terus diperbincangkan publik. Nama-nama seperti Mahfud MD, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Jusuf Kalla (Tempo, 22/6/2018). Pertimbangan atas siapa dan mengapa nama-nama tertentu saja yang ditampilkan dalam bursa Cawapres kali ini sejatinya hanya untuk mendongkrak daya pilih publik dalam memenangkan pasangan Capres/Cawapres yang bersaing di panggung Pemilu 2019.

Strategi pemenangan melalui pemetaan elektabilitas dan kredibilitas dari sosok yang dicalonkan dalam memenangkan suara yang sering disebut sebagai efek ekor jas (coattail effect) ini juga bukanlah suatu permainan baru dalam sayembara politik di Indonesia. Tiga periode pilpres sebelumnya telah memberikan bukti nyata bahwa strategi efek ekor jas (coattail effect of strategic) telah berhasil dalam memenangkan pertarungan politik pada masa itu.

Jangan berlebihan
Memahami arah mata angin perpolitikan Indonesia sementara ini tidak dapat beranjak atau hanya berpatokan pada perspektif logika politik dan imajinasi politik yang dimainkan oleh masyarakat kelas akar rumput (grassroots). Namun demikian, tidak pula melupakan manfaat narasi logika politik dan imajinasi politik yang sedang berkembang, karena hanya dengan narasi tersebut para elite politik dapat menabur benih strategi politik elektoral yang nantinya akan dipetik setelah koalisinya menang ataupun kalah di ajang Pemilu 2019.

Bagi rakyat, semestinya jangan terlalu berlebihan dan jangan pula terlalu menutup diri dalam menyikapi konstelasi politik. Rakyat harus berusaha bijak dalam menjalani Pemilu nantinya. Tanpa sikap bijak dari rakyat, Pemilu 2019 akan indah, namun terancam. Karena hasil prosesi politik rakyat dapat berpotensi menciptakan dua situasi negara, yakni situasi terancam ataupun tentram dalam bernegara. Rakyat akan berhadapan dengan sirkulasi lingkaran setan yang mempraktikkan politik uang (money politics), berita bohong (hoaks), ujaran kebencian (hate speech), hingga propaganda politik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).

Tampaknya objek politik elektoral Indonesia saat ini sedang berada di tangan umat Islam. Selain umat Islam sebagai pejuang mayoritas dalam mendirikan negara, di sisi yang lain umat Islam juga sebagai penganut agama terbanyak di Indonesia. Tentunya umat Islam berada pada posisi yang strategis dalam meraih suara terbanyak dalam memenangkan Presiden 2019. Namun kita tidak tahu pasti tentang sejauhmana kesadaran umat Islam Indonesia masa kini, apakah mereka bijak dalam membedakan fenomena sosial-politik di antara produk logika politik dan imajinasi politik saat ini?

Akhirnya, umat Islam Indonesia harus menjadi garda terdepan untuk menyelamatkan bangsa ini melalui Pemilu 2019 yang adil dan bermartabat. Jika umat Islam Indonesia tak mampu mengelola Pemilu 2019 dengan bijak, jangan harap bangsa Indonesia akan maju, karena hanya peran umat Islamlah Indonesia dapat merdeka atau “celaka”.

* Zulfata, S.Ud,. M.Ag., alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, penulis buku Agama dan Politik di Aceh, dan pencetus mazhab berfikir Agapolisme. Email: fatazul@gmail.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved