Kupi Beungoh
Pemuda dan Krisis Teladan: Siapa yang Layak Diteladani di Negeri yang Bising Ini?
Di media sosial, suara keras lebih cepat viral daripada suara bijak. Yang dipuja bukan lagi yang berbuat, tapi yang pandai bersandiwara.
*) Oleh: Alwy Akbar Al Khalidi
BANGSA ini sudah terlalu sering berbicara tentang “pemuda sebagai harapan bangsa”.
Namun hari ini, siapa sebenarnya yang pantas menjadi teladan bagi mereka?
Di tengah dunia yang semakin bising, di mana semua orang bisa bicara tapi sedikit yang mau mendengar, kita seolah kehilangan sosok yang bisa ditiru.
Di media sosial, suara keras lebih cepat viral daripada suara bijak. Yang dipuja bukan lagi yang berbuat, tapi yang pandai bersandiwara.
Dulu, pemuda belajar dari para perintis bangsa — dari Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, hingga Kartini. Mereka membaca, berpikir, berani menanggung risiko karena keyakinan.
Sekarang, banyak anak muda belajar dari layar gawai. Figur publik yang ditiru bukan yang berintegritas, tapi yang paling sering muncul di linimasa. Kita hidup di zaman ketika popularitas lebih bernilai daripada karakter.
Fenomena ini menandai sesuatu yang lebih dalam: krisis keteladanan moral.
Bukan karena negeri ini kekurangan orang cerdas, tapi karena terlalu banyak orang cerdas yang memilih diam di hadapan kebohongan.
Terlalu banyak orang berkuasa yang ingin dikagumi, bukan diteladani. Dan terlalu banyak anak muda yang terjebak dalam pencitraan, bukan perbuatan.
Krisis ini menjalar halus. Kita menyaksikan pejabat muda yang lebih sibuk membangun citra digital daripada gagasan publik.
Aktivis muda yang ramai di ruang maya, tapi sunyi di lapangan nyata. Semangat kritis berubah menjadi tren. Keberanian digantikan oleh keinginan viral.
Padahal, Sumpah Pemuda bukan sekadar ikrar persatuan, melainkan penegasan nilai: kejujuran, keberanian, dan tanggung jawab sejarah.
Para pemuda 1928 tidak memiliki gawai, tapi punya kesadaran sosial. Mereka tidak memiliki panggung besar, tapi suaranya mengguncang zaman. Mereka miskin fasilitas, tapi kaya idealisme.
Sekarang kita melihat kebalikannya. Banyak yang bergelar tinggi tapi berpikir dangkal. Banyak yang berbicara tentang perubahan, tapi takut mengambil risiko. Banyak yang mencintai negeri ini, tapi hanya di kolom komentar.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.