KUPI BEUNGOH
Santri Dipuji di Podium, Diabaikan dalam Kebijakan
Hari Santri terasa seperti upacara rutin tanpa makna mendalam. Santri dipuji di podium, tetapi diabaikan dalam kebijakan.
Oleh Dr. Muryali*)
Setiap tahun, tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional.
Momentum ini selalu dirayakan dengan beragam cara: spanduk menghiasi jalan dan lorong-lorong, flayer ucapan selamat dari pejabat membanjiri media sosial, bahkan beberapa kepala daerah tampil berpidato, memberi sambutan, dan menyampaikan motivasi kepada para santri. Pada hari itu, pesantren seolah menjadi pusat perhatian publik.
Namun, gema penghargaan tersebut sering berlalu tanpa bekas. Euforia seremonial cepat meredup, dan penghormatan terhadap santri perlahan memudar.
Hari Santri terasa seperti upacara rutin tanpa makna mendalam. Santri dipuji di podium, tetapi diabaikan dalam kebijakan.
Sebenarnya, jika kita menengok sejarah Aceh, jelas bahwa pergerakan dan pembangunan negeri ini berakar dari dayah.
Para santri dan ulama-lah yang membentuk fondasi arah pembangunan. Sejak masa Sultan Iskandar Muda hingga perjuangan melawan penjajahan, ulama tidak hanya mengajarkan fikih, tauhid, dan tasawuf, tetapi juga menata sistem sosial, ekonomi, dan pemerintahan yang berkeadilan.
Baca juga: Santri MUDI Mesra Samalanga Masuk 4 Besar Lomba Video Pendek Nasional, Satu-Satunya Dari Aceh
Dengan kata lain, dayah telah menjadi pusat lahirnya manusia berilmu dan berkarakter, jauh sebelum muncul istilah human capital dalam teori administrasi publik tentang pengembangan sumber daya manusia.
Tokoh-tokoh besar seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry, hingga Teungku Chik di Tiro, bukan hanya ulama, tetapi juga arsitek peradaban Aceh.
Melalui pemikiran dan keteladanan mereka, masyarakat Aceh dibentuk menjadi bangsa yang berilmu, bermoral, dan berjiwa pengabdian.
Bagi para ulama, agama bukan sekadar urusan surau, masjid, atau akhirat, tetapi menjadi panduan moral dan dasar kebijakan pembangunan negeri.
Namun, seiring berjalannya waktu, peran santri dalam pembangunan Aceh kian kabur.
Kini, santri lebih sering hadir dalam acara seremonial—diminta membuka doa atau menutup kegiatan—tetapi jarang dilibatkan dalam perumusan kebijakan strategis.
Pejabat memang kerap bersilaturahmi ke pesantren untuk menunjukkan kedekatan dengan ulama, namun sering kali hanya saat membutuhkan dukungan moral atau politik.
Para ulama jarang diposisikan sebagai mitra sejajar dalam proses pembangunan.
| Misteri Dana Abadi Pendidikan Aceh: Triliunan Rupiah yang Mengendap Tanpa Manfaat |
|
|---|
| Timor Leste dan Tantangan Pendidikan di ASEAN 2025 |
|
|---|
| Pemuda dan Krisis Teladan: Siapa yang Layak Diteladani di Negeri yang Bising Ini? |
|
|---|
| Guru Dayah OD Indrapuri Aceh Besar Ciptakan Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang Dicetak Puluhan Kali |
|
|---|
| Sumpah Pemuda, Sumpah Pejabat, dan Ritual Administrasi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.