Citizen Reporter

Susahnya Bersujud di Negeri Komunis

VIETNAM merupakan salah satu negara tujuan wisata di Asia. Pada musim liburan kali ini saya sekeluarga

Editor: bakri

OLEH MUSNI HAFFAS, Ketua Indonesia Offroader Aceh, melaporkan dari Vietnam

VIETNAM merupakan salah satu negara tujuan wisata di Asia. Pada musim liburan kali ini saya sekeluarga memilih negara ini untuk kami kunjungi. Selain salah satu negara komunis, Vietnam juga mempunyai sejarah panjang, karena berada sangat strategis di pintu gerbang Indocina.

Kami pun segera mencari tiket pesawat ke Vietnam, tapi penerbangan langsung ke negara ini hanya ada dari Singapura dan Kuala Lumpur. Lalu kami pilih rute Banda Aceh-Kuala Lumpur dengan AirAsia, dilanjutkan dengan Air Vietnam menuju Hanoi.

Setelah terbang lima jam lebih--belum termasuk transit di Kuala Lumpur--tepatnya pukul 14.15 Kamis lalu kami mendarat di Noi Bai International Airport. Ini awal kami melakukan perjalanan secara privat karena memang belum pernah ke negara seluas 331.688 km2 ini. Hanya 20 persen wilayah Vietnam yang dataran. Sisanya pegunungan dan dataran tinggi, berbatasan dengan Cina, Laos, dan Kamboja, berpenduduk 88 juta jiwa dengan sistem pemerintah sosialis. Satu partai tunggal komunis didirikan oleh Ho Chi Minh di sini.

Vietnam awalnya bernama Champa, negara miskin yang mengandalkan pertanian, kehutanan, dan perikanan. Ditambah lagi embargo Amerika dan Eropa sejak menang perang dari Amerika tahun 1975, nasib Vietnam lumayan terpuruk.

Negara ini mulai bangkit sejak ditemukan minyak bumi tahun 1990 dan terus bergerak hingga tahun 2000. Tahun 2004 Vietnam bahkan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat kedua di dunia dengan GDP (gross lokal produk) 7 persen.

Singkat cerita, sesampai di Noi Bai Airport, kami langsung dijemput guide (pemandu) berbahasa Inggris yang kami kenal melalui travel online. Dengan sebuah microbus kami berlima sekeluarga langsung bergerak di jalan lebar nan sepi. Kurang lebih 45 menit kami menyeberangi jembatan panjang Hanoi, ibu kota Vietnam yang dibelah oleh Sungai Hong (Sungai Merah) yang lebarnya hampir 1 kilometer.

Pusat Kota Hanoi yang padat dengan sepeda motor bebek (warga Hanoi menyebutkan scooter ), begitu semrawut tidak karuan. Pengendara umumnya tidak menggunakan helm dan berbonceng tiga, bahkan salah arah menjadi keseharian pengguna jalan di sini. “Tapi malah sangat jarang terjadi insiden,“ ungkap guide yang memandu kami.

Di Vietnam, jalur berkendara adalah sebelah kanan, seperti di Amerika Serikat dan Eropa pada umumnya.

Kami pun dibawa ke sebuah restoran berkelas di Kota Hanoi untuk makan siang. Saat itu ibu saya yang ikut serta dalam lawatan ini menanyakan apakah ini makanan halal, langsung sang guide menjelaskan bahwa di Hanoi tidak ada restoran halal. “Cuma kita bisa pesan makanan yang tidak berbahan pork (babi),” ujarnya. Ibu saya pun terdiam sampai pelayan menghidangkan makanan pembuka sup dan makanan khas laut Vietnam yang memang enak dan hampir sama dengan makanan Chiness food kebanyakan.

Seusai santap siang, kami meminta guide membawa kami ke masjid terdekat untuk shalat Asar. Si guide pun tertegun sejenak sambil berkomunikasi dengan sopir microbus. Tampak guide mencari masjid melalui Google, kemudian menjelaskan bahwa di Hanoi hanya ada satu masjid tua, letaknya di pusat kota. Kami pun setuju untuk pergi ke sana.

Setiba di masjid, dengan hanya tampak pintu gerbang yang lusuh dan halaman samping tertutup oleh baliho Partai Komunis Vietnam, kami mencoba masuk, tapi terkunci dari dalam. Setelah menunggu lima menit ke luarlah dari pintu samping warung kecil sebelah masjid seseorang berkulit hitam (etnis Afrika). Ia tampak baru selesai shalat. Melihat kami berdiri di depan pintu, dia pun menunjukkan lorong kecil sebagai akses untuk bisa masuk masjid. Begitu masuk, aroma masjid tua sebesar musala di Indonesia itu pun mulai terasa. Penuh debu dan kurang terurus. Di dalam masjid terdapat air conditioner, penyejuk udara. Tapi saat kami datang AC-nya mati karena sudah lewat waktu untuk shalat berjamaah.

Saking penasarannya, saya coba taksir luas bangunan itu saat saya antre mengambil wudhu. Tidak lebih dari 15x20 m2. Lantainya marmer kaca gelap dan hanya ada satu kamar mandi dan tiga keran tempat berwudhu. Diapit pertokoan tua. Kami pun tanpa pikir panjang langsung menunaikan shalat Asar di sini. Dalam benak saya, ini pantasnya musala, bukan masjid.

Hanoi adalah ibu kota negara Vietnam. Para duta besar negara Islam begitu banyak di sini. Saya jadi bertanya, di manakah mereka shalat berjamaah lima waktu? Juga di mana pula mereka Jumatan? Tidakkah mereka punya kepedulian terhadap rumah ibadah dalam melaksanakan syiar Islam di negeri tempat mereka bertugas? Ini pertanyaan besar bagi saya, mengingat Ho Chi Minh City atau Saigon di selatan negara ini mempunyai masjid sampai beberapa buah, karena memang sejarah negara ini ada minoritas etnis Cham -nya yang memeluk Islam. Bahkan, berkat peran komunitas masyarakat Melayu, di Ho Chi Minh sudah ada beberapa restoran halal. Sangat berbeda dengan di Hanoi yang kehidupan Islamnya jauh dari kesan berkembang.

Setiba di hotel kami rehat sejenak, lalu malamnya kami mencari kuliner khas Vietnam. Kami order misop daging sapi atau istilah mereka meesop beef, sesuai nama yang tertulis di daftar menu dalam dua bahasa, Vietnam dan Inggris. Mi putih yang terbuat dari tepung beras itu sekilas mirip bahan untuk membuat putu di Aceh. Lalu dikocok dengan air panas dan dituangkan ke dalam daging sapi segar yang diiris tipis-tipis, ditambah daun sup dan daun bawang, serta air jeruk nipis. Nah, inilah dia makanan favorit di Vietnam.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved