Opini

‘Brôh PKA Tujôh’

PEKAN Kebudayaan Aceh (PKA) ke-7 kini sedang berlangsung di Banda Aceh. Saatnya “mengesampingkan sejenak”

Editor: bakri
SERAMBINEWS.COM/RA KARAMULLAH
Gajah putih dari Kerajaan Linge (Gayo Lues) ikut memeriahkan atraksi pawai budaya PKA ke-7 di samping Masjid Raya Baiturrahman, Senin (6/8/2018). 

Oleh Dian Rubianty

PEKAN Kebudayaan Aceh (PKA) ke-7 kini sedang berlangsung di Banda Aceh. Saatnya “mengesampingkan sejenak” berbagai beda-pandang seputar biaya dan manfaat penyelenggaraan kegiatan akbar ini. Mari bersama memberikan yang terbaik untuk menyukseskan PKA VII, salah satunya berkontribusi mengelola brôh (sampah) dari kegiatan ini.

Mengapa tata kelola sampah PKA VII perlu menjadi perhatian serius? Karena setiap diadakannya sebuah kegiatan, “sampah” kerap menjadi “hasil sampingan” yang dampaknya “mahal” untuk lingkungan, sehingga tata kelola sampah tidak bisa disepelekan. Sering kita saksikan, setelah penyelenggaraan tabligh akbar, khauri gampông, shalat Idul Fitri di lapangan, pameran, dan berbagai kegiatan lainnya, tempat acara sesaat berubah menjadi “tong sampah raksasa”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online mengklasifikasi sampah dalam golongan kata benda, yang artinya “barang atau benda yang dibuang, karena tidak terpakai lagi”. Sebagai “benda mati”, sampah jelas tidak bisa disalahkan ketika tidak berada pada tempatnya. Si pemilik yang seharusnya meletakkan dengan tertib ke tempat pembuangan. Tapi seringkali, cara pandang terhadap “sampah”, menentukan cara kita memperlakukan benda/barang yang tak lagi bermanfaat ini.

Beberapa pandangan
Berikut beberapa pandangan tentang sampah, yang biasanya berlaku dalam masyarakat. Pertama, si pemilik sampah berprinsip as long as it is not in my back yard. Artinya, barang yang sudah menjadi sampah tidak boleh lagi berada di ruang kepemilikan si pemilik. Lantas harus ada di mana? Di mana saja boleh. Alhasil tidak mengherankan, bila setiap hari ada sampah yang dibuang dari jendela mobil mewah atau sampah rumah tangga dilempar begitu saja ke dalam got atau sungai. Karena mobil dan rumah si pemilik sampah tidak boleh kotor. Jalanan atau got penuh sampah? Itu tidak mengapa, karena ruang publik itu bukan ruang kepemilikan mereka?

Kedua, cara pemilik sampah mendefinisikan tentang kewajiban mengurus sampah. Anggapan bahwa “sampah bukan urusan saya” akan membentuk perilaku tak peduli. Tak merasa bersalah ketika membuang sampah sembarangan. “Kan ada petugas kebersihan. Kan mereka digaji.” Pandangan ini membuat kita tak perlu heran, bila melihat paradoks di banyak tempat. Ketika ada tulisan “Dilarang membuang sampah di sini!”, justru di area sekitar papan peringatan itulah sampah berserakan. Salah satunya di tepi jalan lingkar di Aceh Besar. Sampai saat ini, Pemerintah Aceh Besar perlu waktu dan usaha yang tidak henti, untuk menertibkan sampah di jalan raya daerah rumah Wali Nanggroe tersebut.

Ketiga, absennya kesadaran bahwa kebersihan adalah bagian dari ibadah, yang seharusnya menjadi akhlak/perilaku di luar ibadah ritual seorang muslim. Apakah kita “tahu” bahwa kebersihan adalah bagian dari keimanan? Kita pasti tahu. Apakah sudah dipraktikkan? Sudah, yaitu berwudhu’ dan menjaga kebersihan pakaian ketika shalat. Apakah sudah menjadi perilaku? Biasanya belum. Di sinilah letak perbedaan “tahu” dengan “kesadaran dan kepedulian”. “Tahu” berasal dari pengetahuan, sementara “kesadaran dan kepedulian” lahir dari pengajaran yang membentuk akhlak/perilaku.

Ali Yafie (2008) membagi proses beragama seorang muslim dalam tiga tingkatan. Pertama adalah ta’abbud, ketika seorang muslim beribadah sebagai pernyataan kepatuhan terhadap Rabb-nya. Bentuk ibadah ini adalah shalat, puasa dan haji. Kedua adalah ta’aqqul, yaitu “menggunakan otak untuk memahami ibadah”. Contoh ibadah pada tahap ini adalah adanya pemahaman, bahwa Allah memerintahkan wudhu sebelum shalat agar kita suci dan bersih ketika menghadap-Nya. Dan, ketiga, takhalluk, yaitu ketika “ibadah harus menjadi perilaku”. Bagian ini yang sering absen dari kehidupan kita. Menjaga kebersihan seharusnya tidak hanya sebatas saat shalat. Ia wajib hadir di sepanjang kehidupan, sehingga membentuk akhlak/perilaku yang senantiasa menjaga lingkungan sebagai amanah Allah SWT.

Pejuang PKA ke-7
Thung Song, sebuah kota di Thailand Selatan, adalah kota yang berhasil membalik keadaan menjadi “kota tanpa sampah”. Caranya? Hal pertama yang dilakukan adalah mengubah pandangan masyarakat, bahwa semua barang tidak berguna milik masyarakat adalah sampah yang menjadi tanggung jawab mereka. Pandangan Municipal Waste (sampah pemerintah kota), diganti menjadi Community/People Waste (sampah warga).

Perubahan pandangan ini mengubah arah kebijakan pemerintah kota (pemko). Pemko hanya bertugas mengurus “sampah” yang sifatnya berbahaya, seperti sampah dari rumah sakit dan hasil industri, yang memang butuh tata kelola paripurna. Mereka tak lagi sibuk menyediakan tong sampah, mobil pengangkut dan tempat pembuangan akhir (TPA). Masyarakat diajarkan untuk mengelola sampahnya sendiri. Hal ini terlihat di pasar terapung (floating market) di sana, tak ada sampah berserakan. Padahal yang dijual adalah berbagai jajanan tradisional khas Thailand, yang diletakkan dalam wadah yang kebanyakan beruap wadah plastik.

Untuk mengubah cara pandang tentu butuh waktu yang tidak sedikit. Dalam kunjungan belajar ke Thung Song, kepala desa yang kami wawancara mengatakan, butuh waktu lima tahun, hanya untuk mengubah cara pandang. Kuncinya dimulai dari kepemimpinan, dari sang wali kota sebagai pelopor. Beliaulah yang menginisiasi gerakan “Thung Song Tanpa Sampah”. Dalam ajaran agama Islam, model pengajaran seperti ini sudah ribuan tahun lalu diterapkan oleh Rasulullah saw, yaitu dengan keteladan.

Untuk Kota Banda Aceh, perubahan cara pandang tentang tata kelola sampah masih butuh perjuangan panjang. Dalam beberapa acara, Bapak Wali Kota masih menyampaikan bahwa sampah adalah satu indikasi adanya geliat kegiatan ekonomi. Pandangan yang beliau sampaikan memerlukan kajian yang teliti, karena cara pandang pimpinan dan jajaran pemko akan berpengaruh pada arah kebijakan tata kelola sampah di kota kita. Para pemerhati dan penggerak lingkungan Kota Banda Aceh sudah berjuang menyosialisasikan gerakan mengurangi sampah anorganik, membuat kompos, mendaur-ulang dan berbagai gerakan hijau lainnya. Tentu butuh kerja sama semua pihak agar usaha panjang ini tak kembali sia-sia.

Praktik baik
Untuk PKA VII, kita tak punya banyak waktu untuk bicara tentang perubahan cara pandang dan kebijakan pemko. Lantas apa yang instant bisa kita lakukan? Kita bisa belajar pada praktik baik yang dicontohkan AA Gym dalam Demo 212 lalu. Ketika banyak ulama besar berorasi, AA Gym dan santrinya memastikan tata kelola sampah sepanjang dan sesudah acara demo berlangsung. Beliau tahu, bahwa kalau sampah dari acara ini tidak dikelola dengan benar, maka yang akan dilecehkan adalah Islam, bukan oknum pelaku. Alhamdulillah, berkat perjuangan dan keikut-sertaan semua pihak, kita tidak mendengar pemberitaan negatif yang viral tentang sampah demo 212.

Belajar dari AA Gym, semua bisa menjadi pejuang pada PKA VII. Modalnya “tidak mahal”. Kita perlu kesadaran, kepedulian dan niat ikhlas ingin menunjukkan indahnya ajaran Islam yang rahmatan lil `alamin. Sebagai pedagang, silahkan memanfaatkan PKA VII sebagai kesempatan/peluang usaha. Hanya para pedagang perlu memastikan bahwa tersedia tempat sampah bagi pengunjung. Mari ikut bersih-bersih di sekitar tempat usaha masing-masing. Bila tidak mungkin mengurangi sampah plastik, setidaknya sampah-sampah yang dihasilkan tertib berada di tempat seharusnya.

Untuk orang tua, mari mulai dari diri kita sendiri dan mencontohkan pada anak-anak kita, untuk membuang sampah pada tempatnya. Ini adalah investasi kita untuk akhirat, dan sumbangan kita untuk kelestarian lingkungan. Pisahkan sampah plastik yang kita hasilkan, sehingga bagi yang ingin memanfaatkan sampah plastik ini sebagai sumber ekonomi, kita telah memudahkan usaha mereka. Satu lagi ladang paala terbuka untuk kita.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved