Opini
Antara Kemandirian dan Kemiskinan Desa
SEBAGAIN besar penduduk miskin berada di desa. Adanya Dana Desa ternyata belum mampu mengurangi ketimpangan
Oleh Ismaturahmi Suhaimi
SEBAGAIN besar penduduk miskin berada di desa. Adanya Dana Desa ternyata belum mampu mengurangi ketimpangan antara penduduk di perdesaan dengan perkotaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin Aceh pada Maret 2018 sebesar 15,97%. Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 6 penduduk di Aceh termasuk dalam kategori miskin.
Jika dirinci, persentase penduduk miskin di kota sebesar 10,44% atau 172,09 ribu orang dan di desa sebesar 18,49% atau 667,40 ribu orang. Terjadi ketimpangan jumlah penduduk miskin di perdesaan yang hampir 4 kali lipat lebih banyak dibandingkan penduduk miskin di perkotaan.
Lebih dari 90% desa di Aceh dengan sumber penghasilan utama bergerak di bidang pertanian, hampir 70% terletak pada subsektor padi. Satu hal yang dapat menurunkan kemiskinan perdesaan adalah petani sebagai subyek pertanian harus disejahterakan kehidupannya. Hal ini membuat kesejahteraan petani, atau yang sering kita ukur dengan Nilai Tukar Petani (NTP) menjadi hal yang cukup penting.
Angka kemiskinan di perdesaan yang selalu lebih tinggi dari perkotaan membuktikan bahwa dana desa yang diguyurkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat desa belum mampu menyentuh kesejahteraan petani. NTP dari Januari sampai November 2018 berada di bawah angka 100. Berarti, pendapatan petani bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan biaya produksi dan konsumsi petani.
Prioritas nasional
Terhambatnya pembangunan desa yang terlihat dari kurangnya infrastruktur yang memadai maupun masih tingginya penduduk miskin di perdesaan, membuat pemerintah mulai memberikan perhatian dengan menempatkan pembangunan desa sebagai satu agenda prioritas nasional. Tercantum pada Nawacita ketiga, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran.
Dalam hal mewujudkan kemandirian desa, pemerintah menggelontorkan dana desa sejak 2015 yang dialokasikan secara bertahap. Dana desa merupakan instrumen penting dalam mendorong kesejahteraan masyarakat. Alokasi ini terus meningkat setiap tahunnya. Mulai sekitar Rp 20,7 triliun pada 2015, hingga Rp 60 triliun pada 2017 dan 2018.
Pemanfaatan dana desa tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana, seperti jalan desa, jembatan, drainase, posyandu, dan lain-lain. Namun juga diarahkan untuk kegiatan padat karya yang melibatkan masyarakat desa. Pada 2018, sesuai arahan Presiden, 30% dari dana desa dialokasikan untuk kegiatan padat karya.
Dengan demikian diharapkan dapat menjadi tenaga pendorong bagi ekonomi rakyat untuk berkembang lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat perdesaan.
Setelah tiga tahun berjalan, dana desa terbukti mampu meningkatkan kemajuan bagi desa di Indonesia. Terlihat dari deretan pembangunan infrastruktur hingga perbaikan status desa berdasarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD).
Badan Pusat Statistik melakukan pendataan Potensi Desa (Podes) pada 2018. Pendataan ini dilaksanakan 3 kali dalam kurun waktu 10 tahun. Satu hasil dari pendataan tersebut adalah IPD yang merupakan satu indikator dalam mengevaluasi tingkat kemajuan desa. IPD dihitung berdasarkan lima dimensi, yaitu; Ketersediaan pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, transportasi, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintah.
Lima dimensi tersebut disusun berdasarkan 12 variabel dan 42 indikator. Desa dengan angka IPD di atas 75 termasuk kategori desa mandiri. Desa dengan angka IPD lebih dari 50 namun kurang dari atau sama dengan 75 termasuk desa berkembang. Sedangkan desa dengan IPD yang kurang dari atau sama dengan 50 maka termasuk desa dengan kategori tertinggal.
Berdasarkan hasil pendataan Podes 2018, dari 6.508 desa di Aceh, terdapat 3,47% desa berstatus mandiri, 84,17% berstatus desa berkembang, dan masih terdapat sekitar 12,36% yang termasuk desa tertinggal. Sebagian besar desa di Aceh termasuk dalam kategori desa berkembang dan baru sebagian kecil desa yang termasuk dalam kategori desa mandiri.
Meskipun demikian jika dilihat lagi perkembangan desa pada 2014 dan 2018, terdapat pengurangan jumlah desa tertinggal, yaitu sebanyak 1.223 desa. Tak hanya itu, jumlah desa mandiripun meningkat sebanyak 140 desa dari 2014. Dari angka tersebut, dapat dilihat bahwa IPD Aceh telah menunjukkan perbaikan status desa.
Sebuah desa yang dikategorikan mandiri adalah desa yang mempunyai ketersediaan dan akses terhadap pelayanan dasar yang mencukupi, infrastruktur yang memadai, aksesibilitas/transportasi yang tidak sulit, pelayanan umum yang bagus, serta penyelenggaraan pemerintah yang sudah sangat baik.