Citizen Reporter
Kisah Peneliti Pertama Mendarat di Andaman
KM (Kapal Motor) Aceh Millenium yang berangkat dari Pelabuhan Malahayati dengan mengangkut sampel komoditas
OLEH T CUT MAHMUD AZIZ, MA, Dosen Prodi Hubungan Internasional, FISIP Universitas Almuslim Peusangan, Bireuen, melaporkan dari Port Blair, India
KM (Kapal Motor) Aceh Millenium yang berangkat dari Pelabuhan Malahayati dengan mengangkut sampel komoditas dan produk Aceh tiba dan bersandar di Pelabuhan Port Blair, ibu kota kepulauan Andaman dan Nikobar di India pada 4 Januari 2018.
Bersandarnya kapal ini merupakan momentum awal perjalanan ekspedisi perdana dalam merintis kembali hubungan kerja sama Aceh-India. Kapal yang terdiri atas satu nakhoda dan enam anak buah kapal ini menjadi titik awal terbangunnya konektivitas perdagangan barang antara Aceh dan Andaman & Nikobar.
Terbangunnya konektivitas kerja sama ini tidak lepas dari hasil kajian dan penelitian yang dilaksanakan Universitas Almuslim (Umuslim) Bireuen dan Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara. Bahkan satu bulan lalu Rektor Umuslim, Dr Amiruddin Idris MSi bersama mantan rektor Unimal, Prof Dr Apridar diundang ke India atas fasilitasi penuh oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri (BPPK Kemenlu) RI.
Keberangkatan KM Aceh Millenium dengan kapasitas 150 ton difasilitasi oleh Kemenlu RI untuk mengangkut komoditas dan produk Aceh untuk dipamerkan di Port Blair, mulai dari furnitur, kopi, kelapa, rempah-rempah, minyak nabati, kue khas Aceh, souvenir, batu split, semen, kayu hingga pasir. Semua komoditas ini di bawah koordinasi Kadin Aceh. Kedatangan KM ini disambut oleh Wakil Kepala Perwakilan RI untuk India dan Bhutan, Fientje M Suebu, bersama perwakilan Pemerintah Kepulauan Andaman & Nicobar, dan Kadin Andaman & Nikobar (ACCI).
Dua hari kemudian hadir duta besar LBBP RI untuk India dan Bhutan, Sidharto Reza Suryodipuro dalam acara pameran di Port Blair. Sebelum pengiriman sampel komoditas produk Aceh ke India, BPPK Kemenlu RI di bawah arahan Dr Siswo Pramono (Kepala BPPK Kemlu) dan Dr Arifi Saiman (Kepala Pusat P2K2 Aspasaf BPPK Kemlu) membentuk tim Market Intelligence terdiri atas tiga peneliti, yaitu Teuku Cut Mahmud Aziz MA (Umuslim), Dr Ichsan (Unimal), dan Dr Muzailin Affan (Universitas Syiah Kuala) yang bertugas mengkaji peluang kerja sama perdagangan dan jasa antara Aceh dan kepulauan Andaman-Nikobar dan Chennai.
Secara geografis Aceh dan Kepulauan Andaman & Nikobar berdekatan, sekitar 749 km atau 465 mil jaraknya jika dibandingkan dengan jarak dari kepulauan tersebut ke India daratan seperti Chennai atau Kalkuta, yakni 1.363 km atau 847 mil. Kepulauan ini berada di bagian utara Aceh, timur India, barat Malaysia, selatan Myanmar, dan berada di tengah Samudra Hindia.
Ada sekitar 570 pulau di kepulauan tersebut. Baru 38 pulau yang berpenghuni. Dapat dibayangkan, 95% komoditas dan produk bagi penduduk di kepulauan didatangkan dari Chennai yang mengakibatkan tingginya biaya angkut, terutama untuk material konstruksi.
Berhubung Aceh dekat dengan kepulauan tersebut maka Aceh harus dapat memanfaatkan peluang dan India menjadi pasar sangat menjanjikan bagi Aceh. Kepulauan Andaman & Nikobar berpenduduk sekitar 400.000 jiwa. Nama “Nikobar” memang populer di Aceh karena sering menjadi lokasi terdamparnya nelayan Aceh, lalu ditahan berbulan-bulan dan dipulangkan ke Indonesia melalui Port Blair.
Tim peneliti berangkat dari Kuala Lumpur menuju Chennai, lalu dari Chennai dengan penerbangan domestik menuju Port Blair. Banyak pilihan pesawat menuju Port Blair. Waktu tempuhnya sekitar dua jam. Ketika pesawat hendak mendarat di Bandara Internasional Port Blair, Veer Savarkar terlihat di bawah hamparan pulau-pulau dengan hutan yang lebat, pasir putih dan perairan yang mengitarinya berwarna hijau muda. Luar biasa indahnya.
Ketika turun dari pesawat kami disambut petugas bandara yang sudah tahu rencana kedatangan kami. Wajah petugas bandara ada yang seperti orang Mongol. Kami dipersilakan duduk dan ditanyai paspor. Mereka begitu ramah dan sudah tahu rencana kedatangan delegasi Indonesia ke Port Blair dalam rangka membuka konektivitas antara Aceh dan Andaman-Nikobar.
Selama di Port Blair, tim melakukan observasi lapangan dengan mengunjungi pasar tradisional seperti Sunday Market, pasar buah, dan pelabuhan.
Cita rasa makanan di Port Blair sama dengan di Aceh. Cocok dengan lidah kita, berbeda jika saya bandingkan dengan makanan di New Delhi, bumbu karinya terasa lebih keras. Mencari masjid dan restoran halal tak begitu sulit karena di sini banyak penduduk muslim. Pelayan restoran mengenakan tutup kepala. Ini menandakan bahwa restoran dan kota ini telah memenuhi standar internasional yang siap menjadi kota turis. Harga makanannya terjangkau seperti harga di Aceh.
Penduduknya ramah, wajahnya banyak yang seperti orang Aceh. Kotanya terbilang bersih. Menariknya, kami tak pernah melihat orang merokok. Suasana kotanya seperti di Sabang, banyak bangunan tua dan pohon-pohon besar nan rindang, dan penduduknya agak padat. Aktivitas ekonomi dinamis hingga larut malam, harga barang relatif murah, khususnya kain dan pakaian. Jauh lebih murah apabila dibandingkan di Indonesia. Berada di sini seperti berada di Aceh tetapi sulit kami temukan atau memang tak ada warung kopi di sini seperti di Aceh, minuman kopi tidak begitu populer, umumnya mereka minum teh dan susu.
Dari Port Blair, kami lanjutkan perjalanan ke Maldive-nya India, yaitu Pulau Havelock. Kami naik feri yang jauh lebih bagus dan besar dibandingkan dengan feri dari Pelabuhan Ulee Lheue-Balohan, Sabang. Pemiliknya seorang pengusaha ACCI, biaya tiketnya (pp) sekitar satu juta rupiah per orang. Waktu tempuh ke Pelabuhan Havelock sekitar dua jam 30 menit.