Opini
Lidah dan Hati
MENURUT catatan sejarah, Luqmanul Hakim hidup sezaman dengan Nabi Daud as. Bila Nabi Daud diberi mandat khalifah oleh Allah swt
Oleh Abd. Gani Isa
MENURUT catatan sejarah, Luqmanul Hakim hidup sezaman dengan Nabi Daud as. Bila Nabi Daud diberi mandat khalifah oleh Allah swt, maka Luqmanul Hakim dianugerahi hikmah kepadanya. Ketika ditanya; “Mengapa kamu tidak seperti Daud diberikan khalifah?” Luqman menjawab: “Biarlah Daud diberi khalifah, saya memadai dengan hikmah, karena hikmah tidak terbebani dengan tanggung jawab baik dengan umat maupun dengan Allah.”
Luqman dikenal berkulit hitam, pekerjaannya sehari-hari sebagai pengembala. Tapi, hatinya bersih, bening, sehingga menjadikan tutur katanya penuh dengan hikmah, segala keputusannya sarat dengan kebijaksanaan. Oleh sebab itu ia digelar dengan nama Luqmanul Hakim, artinya Luqman yang amat bijaksana (QS. Luqman: 12).
Nama Luqmanul Hakim, kemudian menjadi terkenal, baik pada masanya maupun sampai era sekarang ini. Namanya di samping dijadikan salah satu nama surat dalam al-Quran, yaitu surat ke-21, juga diriwayatkan dalam hadis-hadis Nabi saw, bahkan taushiyah-nya banyak diikuti umat sesudahnya.
Pada suatu hari majikannya bertanya kepadanya: “Hai Luqman, tahukah kamu, apakah sesuatu yang paling baik yang dapat kamu berikan kepadaku?” Jawab Luqman: “Ya saya tahu.” Lantas ia menyembelih seekor kibas. Diambilnya hati dan lidah, lalu diserahkan kepada majikannya, sambil mengatakan: “Ini hati dan lidah, sesuatu yang paling baik, sebagaimana engkau harapkan dariku.
Beberapa hari kemudian majikannya meminta lagi sesuatu kepada Luqman. “Hai Luqman, tahukah kamu sesuatu yang paling buruk yang dapat kamu berikan kepadaku?” Luqman mengatakan: “Ya saya tahu.” Lalu ia menyembelih lagi seekor kibas. Diambilnya hati dan lidah, kemudian diserahkan kepada majikannya, sambil berkata: “Ini hati dan lidah, sesuatu yang paling buruk yang kamu minta kepadaku.”
Majikan Luqman merasa heran dan langsung bertanya: “Aneh tingkah lakumu hai Luqman. Ketika aku minta kepadamu sesuatu yang paling baik, kau berikan kepadaku hati dan lidah. Dan ketika aku minta kepadamu sesuatu yang buruk, juga kamu berikan kepadaku hati dan lidah.”
Jangan heran, kata Luqman. “Kamu harus tahu bahwa hati dan lidah itu adalah sesuatu yang paling baik dalam setiap kehidupan, tetapi juga kamu harus ingat bahwa hati dan lidah itu pula sesuatu yang paling buruk dalam setiap kehidupan.”
Selanjutnya Luqman mengatakan: “Jika hati dan lidah baik, maka kehidupan pun akan baik. Sebaliknya bila hati dan lidah jahat, maka kehidupan akan ikut jahat pula.”
Hati yang baik dan lidah yang bersih akan membahagiakan kehidupan seseorang, sedangkan hati yang kotor akan mencelakakan, baik diri yang bersangkutan maupun orang lain.
Alangkah tajamnya pemikiran Luqman dan alangkah besarnya hikmah yang terkandung dalam ucapannya itu. Sang majikannya penuh tanda tanya, apakah ada orang-orang seperti dinyatakan Luqman itu atau semakin jauh dari contoh yang diberikannya?
Indahnya hati
Apa yang dicontohkan Luqmanul Hakim seperti disebutkan di atas, ternyata telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw, rasul yang terakhir, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang artinya: “Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya, tetapi bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hati yang baik, selalu dibersihkan dengan zikir, membaca al-Quran. Itulah hati muthmainnah, hati yang damai dan tenang, jauh dari hasad, dan berbagai virus dan kotoran godaan nafsu dan duniawi. Allah swt nanti di akhirat akan memanggil hati yang muthmainnah: “Ya ayyuhannafsul muthmainnah irji’I ila rabbiki radhiyatan mardhiyah, fadkhuli fi `ibadi wadkhuli jannati. (Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya, maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam surgaKu).” (QS. al-Fajr: 27-30).
Sedangkan hati yang ‘sakit’ dan ‘erpenyakit’, kehidupannya akan larut dengan materi dan fatamorgana duniawi yang tidak pernah henti. Bahkan, hampir tidak pernah memberikan kepuasan kepadanya, jauh dari ketenangan dan kebahagiaan.
Kalaupun mereka informasikan ke publik, menggalang persatuan, tetapi tidak lebih hanya sebatas persatuan semu, seperti diingatkan Allah: “tahsabuhum jami’a wa qulubuhum syata. (kamu kira mereka bersatu, sedang hati mereka berpecah belah).” (QS. al-Hasyr: 14). Itulah sifat dan sikap orang-orang munafik, manis di mulut tapi pahit di hati.